6

24 14 62
                                    

"Di sini?" Aku menurunkan tas di lantai tangga, tapi tak berminat melepas jaket. Sekalipun tak aula teater ini tak digunakan untuk pertunjukan, kelihatannya pendingin udara pasti dinyalakan.

Tuan Pesulap tengah mengangkat sebuah kursi dari belakang panggung, meletakkannya sekitar dua atau tiga meter dari sebuah meja. Di atas meja tersebut, terlihat sebuah spidol, dek kartu, dan topi tinggi milik Tuan Pesulap.

"Benar, untuk sekarang, kamu akan belajar di sini."

"Bagaimana Anda mendapatkan izin?" Kunaiki tangga ke atas panggung sambil membawa buku catatan yang kubawa di tas.

"Aku dan pemilik teater ini bersahabat baik, ia membiarkanku menggunakannya. Baiklah, silakan duduk, Alden. Kita mulai sekarang? Hal pertama yang paling penting dalam sulap adalah memainkan kepala penonton." Tuan Pesulap berdiri di sebelah meja, mengambil topi tinggi, menunjukkannya padaku. "Kamu tahu prinsip dari salah satu trik mudah ini, bukan?"

Aku mengangguk, lalu menunduk untuk menulis penjelasannya pada buku catatan di pangkuanku. Tepat saat aku selesai menulis satu kata, buku itu bergerak menjauh dariku, seakan sebuah magnet kuat menariknya. Magnet ... buku? Cepat-cepat aku mendongak, dan aku langsung tahu siapa magnet bukuku. Tuan Pesulap.

Bagaimana bisa? Ia tak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri.

Ia menutup buku yang entah sejak kapan ada di tangannya tanpa membaca sedikit pun tulisan di lembarannya. Tepat saat aku berdiri untuk mengambilnya, ia menjauhkan buku itu. "Satu perintah untukmu sekarang. Catat berdasarkan ingatan. Kau boleh mencatat setelah pelajaran berakhir."

Rasanya susah payah bagiku menelan ludah, tapi entah mengapa tetap kupaksakan untuk melakukannya. Aku mengangguk, memilih menurut dan kembali duduk.

Tuan Pesulap terlihat menimbang sesuatu saat ia kembali memandangi topinya. Telunjuk tangan kanannya teracung ke udara. "Bagaimana kalau kamu menjelaskan triknya padaku dengan memeragakannya?"

Sebelum aku sempat menjawab, ia mengulurkan topi tinggi padaku. Kupandangi topi berwarna putih di tangan. Dalam 14 tahun hidupku ini, dan setengah di antaranya untuk bersekolah, belum pernah aku diminta untuk menjelaskan pada guruku sendiri tentang bidang yang diajarkannya.

Tuan Pesulap meletakkan sebelah tangannya di bahuku. Ia tak bicara apa pun, tapi aku tahu ia tengah memintaku berdiri dari kursi. Aku berdiri dan berjalan ke belakang meja tinggi—tempatnya berdiri sebelum mengambil kursi tempatku duduk beberapa detik yang lalu.

Topi di meja memiliki hawa aneh. Darahku mendadak berdesir, dan bulu kudukku meremang. Hanya sekejap, lalu hawa itu menghilang.

Kumiringkan topi untuk menunjukkan isinya pada Tuan Pesulap. Kosong. Topi tersebut kutegakkan kembali. Kuambil spidol dari meja dan mengetuknya pada pinggiran topi untuk menjadi fokus perhatian penonton. Tanganku dimasukkan ke topi, sambil mengeluarkan bola yang sedari tadi tersimpan di lengan bajuku. Saat aku mengeluarkan tangan yang menggenggam bola dari topi, bola tersebut akan terlihat seakan baru diambil dari dalam topi yang tadi kosong.

Tuan Pesulap menepuk tangan.

Kumasukkan bola ke dalam topi, lalu mengopernya kembali pada Tuan Pesulap. Ia menerimanya sambil berdiri, mempersilakanku untuk duduk. Tapi, ia tak beranjak ke balik meja. Tuan Pesulap masih berdiri di depanku, memiringkan topi tingginya padaku supaya aku bisa melihat isinya. Kosong dan gelap.

Tuan Pesulap mengulurkan topi itu mendekati tanganku. "Kamu bukan penonton, Alden. Kamu adalah muridku. Ambil, periksa dengan teliti. Bukankah tadi kau memasukkan bola ke dalamnya?"

Benar. Aku memasukkan bola ke dalamnya, tapi mengapa aku tak melihat apa pun? Ke mana perginya bola itu? Apa Tuan Pesulap telah melakukan sihirnya?

End of The MagicWhere stories live. Discover now