15

4 3 0
                                    

Bis sudah melaju, meninggalkan halte. Namun, dalam keadaan sekarang, aku tak bisa memandangi pemandangan dengan tenang seperti sebelumnya. "Lei. Jelaskan."

"Ini kelima kalinya kau mengatakan itu padaku selama setengah jam terakhir, Al." Lei, yang baru saja akan memakai headphone-nya, mengembuskan napas panjang. Ia membiarkan headphone tergantung di lehernya, dan terdiam.

Aku bodoh sekali menunggunya menjelaskan. Sejak kapan kakakku mau menjelaskan sesuatu supaya aku tak bingung?

Pepohonan berlari melawan arah dengan bis. Awan meneteskan airnya, menciptakan jejak pada jendela bis. Tetesan-tetesan air tersebut berlomba satu sama lainnya, mencari pemenang—yang jatuh paling duluan. Sayangnya, pohon yang berlari ataupun perlombaan tetesan air tak berhasil membuatku mengalihkan isi pikiran.

Gesekan biola elektrik mengalun di telinga, diiringi tabuhan cajon dan petikan senar gitar, padahal otakku hanya mengulang kenangan yang terekam. Berbagai lagu populer dimainkan oleh berbagai alat musik, dengan biola sebagai fokus utama dari suaranya. Sesekali diiringi suara percakapan, atau bahkan tawa.

Tak banyak bintang dari bidang musik di sana. Bahkan jari dari satu tanganku cukup untuk menghitungnya, sekalipun Lei sudah termasuk ke dalamnya. Tapi, mereka mengajari banyak orang di dalam rumah itu—meski bagiku, itu bukanlah "mengajari".

Itu adalah "saling belajar".

"Dalam keadaan terdesak, otak manusia secara tak langsung menciptakan banyak jalan keluar yang sebelumnya dikesampingkan oleh manusia tersebut. Secara sadar ataupun tidak, manusia takut mati, Al. Manusia akan mencoba mencari cara untuk bertahan hidup di dunia yang selalu mengharapkan uang ini. Beberapa di antaranya adalah dengan mengemis dan mengamen. Oleh karena itu, tak jarang pengamen menyanyikan lagu yang mereka ciptakan sendiri, dengan suara yang juga terdesak. Tapi, aku mengapresiasi mereka, Al, terutama mereka yang mau berkembang dan belajar. Aku hanya tak ingin mereka ditekan oleh seni, yang seharusnya mengalir bebas. Mereka belajar karena mereka mau. Mereka bermain musik karena mereka mau."

Aku menoleh ke arah Lei yang barusan berbicara. 

Matanya tampak lelah, memandang kosong ke depannya. Senyumnya begitu lemah, dan ... nyaris tak bisa disebut senyuman. Ekspresinya bercerita padaku, hingga aku bisa merasakan pisau tak terlihat tengah menusukku.

Kepalaku dipenuhi gaung dari teriakan keputusasaan, yang bahkan tak memasuki telinga untuk bisa terdengar. Itu bukan teriakanku. Itu adalah teriakan yang disampaikan ekspresi Lei.

"Kamu menyembunyikan semua ini dari Ayah? Ini alasan Ayah marah besar waktu itu?"

"Tentu saja. Ayah hanya melihatku berbicara singkat dengan mereka, dan dia sudah mengamuk. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila ia tahu aku ikut pertemuan semacam ini. Mungkin akan ada tsunami bergelombang besar yang menghancurkan rumah."

Tawanya terdengar seperti tawa sungguhan. Bukan tawa yang dibuat-buat, tapi ... apa yang ditertawakannya? Diri sendiri?

"Musisi yang pertama kali kamu temui adalah pencetus perkumpulan itu, Al. Dia mengenalkanku dengan para pemusik lain, mungkin sekitar beberapa bulan lalu. Karena lagu pop jauh lebih dikenal masyarakat ketimbang lagu klasik, tentu saja itulah lagu yang diajarkan pada para pengamen."

Ia tersenyum. Lemah, tapi kali ini, aku yakin ia benar-benar tersenyum.

Lei persis sama sepertiku. Kami selalu menyembunyikan apa yang kami benar-benar suka. Aku menyembunyikan sulap dari Ibu. Untuk Lei, ia bukan menyembunyikan musik dari Ayah. Ia menyembunyikan komunitas para pengamen, juga kenyataan bahwa ia menentang cara pandang Ayah pada musik.

End of The MagicWhere stories live. Discover now