Epilogue

21 2 0
                                    

Apa kabar Anda di sana, Tuan?

Berkali-kali aku mencoba masuk ke dunia sihir untuk bertemu dengan Anda, tapi tak kunjung bertemu tempat yang saat itu Anda katakan. Selalu salah. Sihir juga tak sejinak itu padaku. Aku merasa menghabiskan waktu hampir empat tahun untuk hal yang sia-sia. Tapi, itu juga berarti sudah selama itu juga Anda tak mendengar kabar tentang dunia nyata, bukan?

Ada banyak hal yang terjadi di sini. Terlalu banyak sampai aku bingung mau bercerita dari bagian mana. Tentu saja, dengan keadaan sihir telah lenyap dari dunia ini bersama dengan kepergian Anda, aku kembali menekuni sulap biasa. Dengan penggunaan yang tepat, ia bisa menjadi luar biasa, seperti yang selalu Anda ingatkan padaku.

Kabar lain yang bisa kuceritakan mungkin ... aku telah bertemu dengan seorang pesulap genius. Oh, orang-orang menyebutnya sebagai Mozart-nya dunia sulap. Aku tak mengherankan ia menyandang julukan tersebut setelah tahu ia berhasil menguasai trik tangan di usia lima tahun.

Danial namanya, Anda pernah mengenalnya?

Aku menawarkan kolaborasi satu panggung padanya, hanya sekali tampil. Dan, menariknya, ia setuju. Trik yang dilakukannya tak terasa seperti trik. Ia memanfaatkan kata Abracadabra, entahlah ia menyadari telah sadar menggunakan sihir dari kata tersebut atau tidak.

Kolaborasi dengannya membuatku nostalgia saat tampil di panggung sebagai asisten Anda. Mungkin aku tak akan pernah menyesali keputusan telah memilih menjadi asisten Danial ketimbang sebaliknya.

Aku bertemu Danial—yang kelihatannya seumuran kakakku—karena dikenalkan oleh pemilik teater kota. Mungkin aku harus lebih sering datang ke pertemuan para pesulap sehingga bisa lebih sering berbincang dengannya. Tapi, aku lebih nyaman di plaza, menampilkan sulap simpel yang membekas di hati orang-orang.

Mendengar dari pemilik teater, saat Anda melakukan pertunjukan di teaternya, Anda memberi seluruh uang tiket untuk digunakan merenovasi tempat yang sudah hampir rubuh itu. Cerita itu terasa bagai dongeng, tapi tak ada yang mustahil bagi Anda.

Lagi pula, Anda benar-benar persis seperti yang pernah Anda beritahukan padaku saat itu.
Kita adalah orang bodoh, yang mementingkan sulap demi kebahagiaan penonton, bukan demi uang, hanya karena kebahagiaan kita sudah datang dari melakukan sulap itu sendiri.

Kita adalah orang egois, yang memilih berbohong pada keluarga dan orang terkasih, dengan dalih sulap telah mengalir dalam darah.

Kita adalah orang aneh, yang tak peduli pada pandangan rendah dari banyak orang demi bisa terus bersama hal yang kita cintai itu.

Tanganku berhenti menulis. Aku menyandarkan tubuh ke kursi untuk melihat ke luar jendela. Langit tengah malam terlihat seperti lautan gelap yang tenang. Bulan yang bersinar seolah ialah satu-satunya pulau di tengah lautan itu.

Aku berdiri dari kursi sambil memperbaiki posisi kacamata di wajah. Di balik tirai merah raksasa yang terasa lembut, pemandangan yang familier mengirimi kenangan lama, membuatku menghentikan langkah sejenak.

Hawanya tak pernah berubah. Sejuk dan hangat di waktu yang sama, juga berdebu. Suara tepuk tangan terngiang di telingaku sekalipun bangku-bangku penonton itu saat ini kosong. Ingatanku merekam dengan jelas bagaimana Tuan Pesulap berdiri di tengah panggung, di bawah siraman lampu sorot. Bagaimana aku yang merasa gugup dan takut, padahal dialah tokoh utama dalam pertunjukan saat itu, semua perasaan itu seakan masih hidup di dalam diriku.

Itu beberapa tahun yang lalu. Sekarang, akulah yang berada di tengah panggung, menjadi fokus dari penonton. Aku berhasil melaluinya. Mereka bahagia. Aku berhasil menunjukkan bahwa aku adalah orang bodoh lain di Bumi.

End of The MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang