18

4 3 0
                                    

Dari tempat yang bisa membuatku mengidap hipotermia, pintu di sisi lorong gua membawaku berpindah ke sebuah aula tempat pertunjukan musik. Satu-satunya tempat di sini yang bercahaya karena mendapat disorot oleh lampu hanyalah panggung, seolah pertunjukannya sudah dimulai. Kursi-kursinya pun tidak kosong, tapi penonton yang mendudukinya membuatku terkesiap.

Tak ada penonton manusia di sini. Bahkan kelihatannya, hanya aku yang benar-benar manusia di tempat ini.

Semuanya adalah boneka kain seukuran manusia.

Jahitan dari sebagian besar boneka yang ditangkap mata tak bisa kubilang rapi—sekalipun aku tak bisa menjahit. Asal-asalan, seakan penjahitnya tak memedulikan jenis jahitan yang dipakai selama bisa menutup lubang-lubang yang terbuka, dan tak membuat isi dari boneka-boneka tersebut keluar.

Mata mereka terbuat dari manik berwarna hitam, terlihat sedikit berkilau karena lampu kekuningan yang menyala di langit-langit panggung. Seluruh mata tersebut terlihat kosong seakan tak bernyawa—meski kenyataannya, mereka memang tak bernyawa—tapi wajah mereka menghadap ke arah panggung. Persis seperti tengah menonton pertunjukan.

Di panggung, ada dua sosok boneka.

Salah satunya adalah boneka kain—persis seperti para penonton—duduk menghadap piano seolah memainkannya.

Sementara itu, boneka satunya adalah boneka kayu, dengan engsel sebagai pengganti sendi. Dengan ukuran sama dengan manusia normal, ia terlihat seperti manekin di toko pakaian. Ia memegang biola sewarna kayu yang mengilap di bawah cahaya lampu sorot. Biola tersebut ditopang oleh bahu, dengan bow yang menyentuh senar, tapi tak bergerak.

Mungkin senyum sang pemain biola hanya sebatas sebuah garis melengkung biasa yang digambar dengan tinta spidol hitam. Namun, intuisi yang mengatakan adanya kehidupan dari senyum tersebut membuatnya terasa luar biasa.

Mendadak terdengar suara denting piano dari arah panggung. Nada rendah yang panjang. Desir halus mendominasi dada. Not tinggi dari biola terdengar, berlawanan dengan suara piano, mulai memasuki permainannya. Bersamaan dengan bergeraknya sang boneka kayu.

Irama yang familier .... Ah! Aku tahu ini pembuka dari lagu apa.

Canon Rock, sebuah permainan gitar listrik dari Jerry C., berupa hasil diubahnya aransemen asli Canon in D karya Johann Pachabel.

Namun, bukan sekadar iramanya, permainan yang kudengar ini pun memiliki perasaan familier. Hampir setiap siang, saat aku pulang sekolah, musik ini selalu mengalun dari kamar Lei bersama musik-musik lain. Semua perasaan yang dititipkan lewat musik ... sering kali terasa berbeda setiap harinya, sekalipun lagu yang dimainkannya selalu sama.

Lagu yang bersemangat, tapi Lei memainkannya dengan perasaan campur aduk sehingga tak jarang aku merasakan kesedihan dari iramanya.

Kelegaan yang ditanamkan dalam nada rendah di bagian bridge-menuju-reff selalu terasa oleh diriku yang mendengarnya. Tapi, kecepatan bercampur nada tinggi di reff kembali membuatku merasa ada kerumitan tersendiri dari Lei yang selalu terlihat ekspresif—kecuali saat mengutarakan kesedihan.

Ayah akan mengamuk bila Lei memainkan lagu ini dengan permainan seperti ini. Jika amukannya diibaratkan menjadi badai, kurasa kota tempatku tinggal sudah rata seluruhnya karena badai tersebut.

Alasan yang kuketahui ada dua.

Pertama, lagu ini adalah permainan klasik yang diubah aransemennya. Poin pertama sudah cukup membuat Ayah marah besar. Kurasa, itu karena Ayah berpikir, apa yang akan ia rasakan bila seseorang mengubah aransemen buatannya seperti Jerry C. mengubah aransemen Canon in D.

End of The MagicWhere stories live. Discover now