10

5 3 0
                                    

Aku menghela napas dalam-dalam sambil mengintip ke balik tirai. Udara dingin membuat dadaku merasa sedikit tertusuk. Kakiku terasa gemetar oleh rasa gugup. Sebelum merasa tubuhku akan terjatuh, aku cepat-cepat kembali ke kursi tempatku seharusnya menunggu. Orang-orang lalu lalang, memiliki kesibukannya masing-masing di belakang panggung ini.

Sebuah sentuhan terasa di bahu, membuatku mendadak menoleh. Tuan Pesulap. Ia tampak begitu tenang. Apa ini memang hal biasa baginya?

"Mengapa aku merasa ada yang salah dengan hal ini, Tuan?"

"Karena kamu belum terbiasa, Alden. Akan ada saatnya ketika kamu merasa bahwa hal yang kamu geluti adalah sebuah kesalahan besar. Aku yakin kamu pernah merasakannya saat mempelajari trik sulap. Pertanyaanku adalah, apa kamu akan berhenti ketika merasa seperti itu?"

"Tidak. Aku tak akan berhenti. Terbesit rasa ingin berhenti pun tak kuturuti."

"Kamu pernah merasakan perasaan itu sebelumnya. Kamu ingin berhenti, dan kamu bertahan. Kurasa, kamu bisa melakukannya sekali lagi, atau berkali-kali lagi ... asalkan ada keinginan di dalam dirimu. Ini bukan masalah bisa atau tidak, tapi masalah mau atau tidak. Kalau kamu tak ingin dan merasa tak sanggup, bagaimanapun juga, kamu tak akan pernah bisa. Kamu pernah mendaki gunung?"

"Belum."

"Berarti kamu tak tahu mengapa pemandangan di puncak gunung indah, ya?"

"Bukankah ia memang indah?"

"Ia memang indah, tapi karena kamu telah melakukan perjalanan berat menuju puncaknya, pemandangan yang kamu lihat akan menjadi lebih indah dari kenyataannya. Tapi, cobalah melarikan diri dari jalanan berat itu. Kamu tak akan menemukan pemandangan yang sama indahnya, sekalipun kamu ke puncak menggunakan helikopter."

Melarikan diri? Bukankah itu alasan Lei mencari dunia impiannya, di mana tiada hiruk pikuk dunia? Aku memang sudah menjelaskan itu pada Tuan Pesulap, tapi .... "Apa maksud Anda, aku harus meyakinkan kakakku supaya membatalkan niatnya?

Ia menoleh ke arahku. Tak berbicara. Matanya yang berwarna biru terlihat bercahaya. Bibirnya tersenyum, tapi bukan senyum yang membuat tenang. Itu adalah senyum yang membuatku khawatir.

Apa? Apa yang disembunyikannya?

"Kamu pasti mengerti arti perkataanku. Bila kamu tak mengerti, tunggulah. Suatu saat nanti, akan ada waktu di mana kamu mengerti."

Menunggu? Aku tak yakin punya waktu selama itu sampai ulang tahun Lei, bila memang keinginan Lei-lah yang dimaksud oleh Tuan Pesulap. "Jika Anda memintaku membuatnya berhenti memiliki keinginan itu, beri aku solusinya. Beri aku cara supaya aku bisa menghentikannya. Menyuruhku membuatnya berhenti tak akan bisa membuatnya benar-benar berhenti."

"Kamu bisa berhenti berusaha kapan pun, bukan? Bukankah kakakmu sudah melupakannya?" Tuan Pesulap menoleh ke arahku. Matanya memandang seperti elang yang berusaha mengasihani mangsanya. Bulu kudukku meremang karenanya, atau ... karena perkataannya sendiri? "Alden, kamu berjanji pada dirimu sendiri untuk mengabulkan keinginan yang pernah dikatakan oleh kakakmu. Ia hanya sekali mengatakan itu, dan kamulah yang merasa ingin mengabulkannya."

"Bukankah itu tugas kita sebagai pesulap? Tak ada penyihir dengan tongkat sihir di dunia nyata selain kita, Tuan. Aku tahu, aku juga manusia yang hanya bisa melakukan semampuku, tapi aku ingin mengabulkannya. Bila untuk bisa diajari oleh Anda membuatku merasa harus menembus batas kemampuanku, mengapa aku tak bisa melakukannya dua kali?"

Ia tersenyum lebar, lalu tertawa. Tawa paling keras yang kudengar dari Tuan Pesulap. "Kamu benar-benar seperti seorang anak yang kukenal. Keras kepala, dan suka memutar perkataan."

End of The MagicWhere stories live. Discover now