16

3 3 0
                                    

Tuan Pesulap akhirnya mendongak, melepas pandangan dari set play card di depannya. Mata birunya terasa seperti kolam air jernih. Wajahnya dihiasi senyum tipis seperti biasanya. Omong-omong soal seperti biasanya, pakaiannya juga seperti biasa. Kemeja putih dengan rompi hitam. Apa dia tidak pernah ganti baju?

Argh! Alden, lupakan itu. Kau telah menghilangkan Lei!

Ia menundukkan kepalanya lagi, melakukan riffle shuffle pada dek kartunya. Aku baru saja akan mengulang perkataanku ketika ia berucap, "Jangan lupa poker face-mu, Alden. Dalam keadaan sepanik apa pun, tetap jaga ekspresimu. Wajahmu tampak seperti sapi yang diganggu lalat tepat di depan wajahnya saat berjemur."

A-ah ... ya ampun, aku kehilangan kata-kata. Wajahku seperti ... sapi?

Kali ini Tuan Pesulap menambahkan hindu shuffle pada deknya. Tangannya begitu gesit saat melakukannya.

"Kamu baru saja bertanya cara mengembalikan kakakmu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari dek kartu. "Kukira aku sudah mengajarkan caranya padamu, dan kamu pun bisa mempraktikkannya."

"Tapi, Tuan, saat aku melakukannya, kakakku sudah tak ada di sana! Tadi dia ada di panggung teater kota. Aku sudah mengembalikannya dan dia tak kem—"

"Rendahkan suaramu, Alden." Ia sudah meletakkan play card-nya di atas meja, mengambil buntelan kain dari bawah meja tersebut, lalu berdiri. Sebelah tangan Tuan Pesulap yang membawa kain memberi isyarat padaku untuk mengikutinya, sementara tangan yang satunya mengambil jaket berwarna hitam.

Aku berlari kecil mengikutinya keluar dari bengkel sulapnya. Angin berembus kencang. Namun, wajah Tuan Pesulap seakan diukir di atas batu karang. Ekspresinya tak berubah, sekalipun sesekali ia memejamkan mata untuk menghindari debu yang ikut terbawa angin.

"Kamu ingin kakakmu kembali, bukan, Alden?" tanya Tuan Pesulap sambil terus berjalan, yang langsung kujawab dengan anggukan cepat. 

Ia melirikku sekilas, lalu melanjutkan, "Ada satu cara, yaitu kamu menariknya kembali dengan cara manual, alias kamu bertemu dengannya. Panggung aula utama teater kota, bukan? Dari sana, aku akan memindahkanmu supaya lebih mudah menelusuri jejaknya. Ada beberapa hal yang harus kamu perhatikan, Alden. Satu, mengirimmu menyusul kakakmu memiliki arti yang sama dengan mengirimmu ke negeri yang dibayangkan kakakmu saat kamu memindahkannya. Sebaiknya kamu tahu seperti apa negeri tersebut, karena aku tak menyarankanmu tersesat mengingat hal lain yang harus kamu perhatikan."

Astaga! Tuan Pesulap terlalu suka mengulang kata yang sama, membuat pendengarnya bingung dengan perkataannya, dan kepalaku dalam keadaan ruwet. Terlalu banyak kata mengirimmu, kakakmu dan memindahkan. Untunglah aku bisa menangkap inti perkataannya.

Negeri yang dibayangkan Lei .... Entahlah. Jujur saja, aku tak tahu. Lei yang terasa ceria dan aneh itu masih asing. Selama ini aku mengira sudah mengetahui cara pikirnya, tapi sekarang aku merasa tak pernah mengertinya sedikit pun. Tapi, demi bisa membawa kakakku kembali, aku rela berbohong dengan memanfaatkan sulap yang sangat kucintai. "Kurasa aku tahu akan seperti apa tempat tersebut."

"Begitu. Hal kedua yang harus kamu perhatikan adalah tempat dan waktu untuk kembali. Jubah yang kuberikan padamu, bawalah. Jubah itu akan menjadi caramu untuk kembali. Perihal waktu kembali, ingatlah bahwa waktumu tak banyak. Semakin lama kamu di dalam sana, waktu hidupmu akan terkikis pula dan umurmu akan semakin pendek. Perihal tempat kembali, karena setiap kamu berpindah di dunia sihir sama dengan berpindah di dunia nyata, usahakan kamu kembali di tempat yang aman bila tak bisa ke panggung aula teater. Jangan sampai kau kembali tepat di tengah jalanan atau di keramaian."

Kali ini terlalu banyak kata kembali, tapi aku tetap mengangguk. Kami berbelok ke kiri tepat di persimpangan. Aku bisa melihat lampu yang mengelilingi papan nama teater di sisi kiri. Karena langit gelap oleh awan mendung, lampu-lampu tersebut menyala lebih awal—di mana biasanya dinyalakan setelah malam tiba.

End of The MagicWhere stories live. Discover now