23

3 2 0
                                    

“Kamu kurang tidur.”

“Tebakan Anda sangat tepat, Tuan.” Aku menarik kursi dan duduk menghadapnya. Bagian belakang komputer memenuhi pandangan, membuatku tak bisa melihat wajah Tuan Pesulap. Tak ada gunanya melihat pun. Ekspresinya juga selalu berbohong. Lagi pula, kelihatannya ia sedang fokus menulisi buku catatan miliknya. “Ada apa, Tuan?”

Di atas meja, salah satu tangan Tuan Pesulap mendorong sebuah jam saku ke arahku.

Tak ada pilihan yang mengizinkanku lari. Lari dari Mode Nightmare Ibu ataupun dari keadaan Lei, tak ada pilihan itu di kenyataanku.

“Ia masih hidup sampai sekarang. Kukira waktu kakakku sudah habis.” Perkataanku terdengar seperti pertanyaan.

Terlalu banyak pertanyaan di dalam kepalaku. Apa yang terjadi pada Lei ini adalah hal baik? Atau malah hal yang sangat buruk?

Tuan Pesulap memiringkan kepala supaya bisa melihat wajahku dari balik komputer. Untuk pertama kalinya aku melihat Tuan Pesulap berekspresi seperti itu. Matanya tampak kelelahan, mungkin semalam ia juga sulit tidur. Sorot matanya redup. Tak ada senyum di bibirnya.

“Itu yang kutakutkan sejak kemarin, Alden. Apa ia baik-baik saja sampai sekarang?”

Aku mengangguk. Lei masih baik saat aku meninggalkan rumah pagi ini. Mungkin ada efek tertentu dari sihir kemarin, jadi ia merasa sedikit pusing dan lemas. Satu-satunya keanehan hanyalah ia tak memainkan biolanya, memilih berguling di dalam selimut hingga tidak ke ruang makan sewaktu sarapan.

Tapi, mengingat keadaannya, kurasa itu normal.

“Aku menjadi lebih takut ketika mengetahui tak ada yang terjadi padanya sejak kemarin hingga pagi ini, Alden.”

Jawaban Tuan Pesulap menyapu habis rasa lega dariku. Ia menunduk, memejamkan mata, seolah tengah berpikir sangat keras.

“Apa maksud Anda, Tuan?”

“Ada dua kemungkinan. Satu, kakakmu mampu memanipulasi semua sihir sehingga sihir apa pun hanya akan menipu kita yang melihatnya. Sebelumnya aku tak pernah mendengar kasus semacam itu, di mana ada orang yang melawan aturan dunia sihir, tapi kita sebagai pesulap percaya tak ada hal yang mustahil, bukan?”

“Itu kemungkinan terbaik. Bagaimana dengan kemungkinan terburuk?”

Tuan Pesulap mendongak. “Tentu saja seperti yang seharusnya. Ia akan mati dalam waktu dekat. Mungkin malaikat kematian mendatanginya mendadak, mengingat tak ada tanda apa pun yang terlihat darinya. Sayangnya, aku pun tak tahu kapan tepatnya waktu itu tiba. Mungkin hari ini, mungkin besok. Waktunya tak lama.”

“Mendadak? Anda serius?”

“Pernahkah aku berbohong padamu, Alden?”
Mata Tuan Pesulap menunjukkan betapa yakin dirinya. Walaupun mata biru yang biasa terlihat hidup itu sekarang begitu redup, aku bisa melihat ia tengah bicara jujur.

Dan, pengalamanku berkata ia tak pernah berbohong. Ini terlalu menyakitkan. Berapa lama waktu yang kumiliki? Bukankah tak ada hal yang mustahil? Melawan kematian juga bukan hal yang mustahil, bukan?

“Aku rasa akan terjadi sesuatu yang lebih besar lagi dari ini, Alden.” Tuan Pesulap menutup buku catatannya, mendorongnya ke arahku. “Kemarin aku menyuruhmu menemui orang yang memberi kartu nama itu, yaitu saat kamu yakin aku tak akan menceritakan apa pun padamu tentang julukanku. Jika saat itu tiba, bawa ini bersamamu, jangan tunjukkan isinya pada siapa pun.”

Seorang pesulap pasti memiliki buku catatan untuk menuliskan rahasia trik mereka. Buku itu tak pernah dipindah tangan secara sengaja kecuali pesulap yang memberinya mau triknya diwariskan atau dilakukan oleh orang lain. Kemungkinan untuk kedua pilihan itu sangat kecil, karena umumnya, orang-orang yang penasaran akan melihatnya tanpa izin pada pesulap pemilik buku.

End of The MagicWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu