Aku menyusuri air mancur, berdiri membelakanginya supaya berdiri berhadapan dengan dua perempuan yang memiliki wajah serupa. Berbeda dari gaya berpakaian dan potongan rambut saja. Sepertinya, mereka adalah gadis kembar. Merekalah orang yang—kedengarannya—hanya membawa satu koin, sehingga mereka harus memilih siapa yang membuat permintaan.

"Boleh kupinjam koin itu?" Kedua perempuan itu memandangku lama setelah mendengar pertanyaanku. Akhirnya mereka saling pandang. Kelihatannya mereka ragu. "Aku bisa menggandakannya."

Salah satunya mengernyitkan kening. Ia masih meragukanku. Ah ... "Aku akan mengganti koinmu bila gagal. Aku janji."

Gadis satunya memberiku koinnya. Wajahnya masih terlihat ragu, tapi melihat bagaimana ia memberi koin itu padaku, sepertinya ia penasaran apa yang akan terjadi.

Dalam sebulan pertama ini, aku mempelajari cukup banyak sihir selain menghilangkan benda. Seperti menggandakan benda dengan meniupnya ketika digenggam—yang berhasil membuatku sesak napas dan dada sakit semalaman. Katanya, semakin banyak hasil dari penggandaan benda itu, waktuku menerima sakitnya pun akan bertambah lama.

Ada pula sihir memunculkan benda yang kuinginkan, dengan taruhan kepalaku. Seminggu aku sakit kepala karenanya. Setiap aku membuka mata, rasanya semua benda di depanku berputar. Napasku tak bisa diatur. Duduk saja sudah membuat kepala pusing, apalagi berdiri. Sayangnya, berbaring pun hanya menimbulkan perasaan serba salah karena berbaring telentang, miring, atau tengkurap juga tak berhasil mengurangi sakit kepalaku.

Dan, sekarang, aku akan melakukan kedua sihir itu sekaligus, ditambah satu sihir yang baru kupelajari.

Kuterima koin dengan tangan kanan, memindahkannya ke tangan kiri dan menggenggamnya erat. Perlahan kutiup tangan kiri, di mana tersimpan koin di sana. Napasku terasa sesak. Ini tandanya.

Saat tangan kiriku dibuka, koin yang semula hanya sekeping telah menjadi tiga keping. Senyumku semakin lebar saat kedua perempuan di depanku terkesiap karena melihat koin di tanganku. Mereka bersorak.

Beberapa orang mulai mendekat untuk ikut menonton.

Ada anak yang kehilangan permen di barisan depan. Pasangan yang ingin melihat merpati beterbangan pun ada di antara kerumunan berbentuk setengah lingkaran di sekelilingku.

Aku mengulurkan tangan pada kedua anak kembar di depanku. "Silakan ambil masing-masing satu."

"Lalu, yang satunya?" tanya salah satu gadis setelah tangannya menggenggam satu koin.

"Untuk permainan." Aku melempar koin yang tersisa di tangan ke udara. Dengan cepat kuangkat kedua tangan—yang kosong—hingga setinggi kepala untuk menangkap koin tersebut. Kepalaku mulai berat. Napasku masih belum normal. Aku harus bertahan. Inikah yang dirasakan Tuan Pesulap setiap melakukan pertunjukan? 

Aku memandang si gadis kembar, juga pada orang-orang di belakang mereka yang ikut menonton. Tanganku terulur di depan tubuh. "Sekarang, ada di mana koin terakhir itu?"

Beberapa menunjuk tangan kanan. Sisanya menunjuk tangan kiri.

Kubuka kepalan tangan kiri. Empat buah permen. Suara tepuk tangan meramaikan keadaan. Kembali kukepal tangan berisi permen tersebut. Saat dibuka kembali, telapak tanganku sudah kosong.

Aku melirik singkat pada anak di barisan depan. Dia terlihat senang, dan menarik-narik tangan ibunya, tapi langsung kecewa saat aku menghilangkannya. Wanita yang semula terlihat terkejut itu menunjuk singkat ke arahku. Wajahnya memelas saat memandang anaknya. Tak terlihat kecewa, tapi tak membawa anaknya menjauh.

Saat kubuka kepalan tangan kanan, suasana mendadak hening, tergantikan oleh suara bisik-bisik. Orang-orang di barisan depan terlihat kebingungan melihat apa yang ada di tanganku.

End of The MagicDär berättelser lever. Upptäck nu