26

3 1 0
                                    

Wanita yang memberi kartu nama saat pertunjukan Tuan Pesulap adalah seorang desainer interior. Setidaknya, begitulah yang tertulis di kartu nama.

Baiklah, waktunya berpindah ke hal lain. Nanti saja meneleponnya. Aku belum tahu harus mengatakan apa.

Aku mengambil kertas yang terlipat di meja, bersebelahan dengan kartu nama. Tanganku gemetar saat membuka lipatan kertas, tapi mataku langsung membaca isinya tanpa diminta.

Alden, kau yang membaca ini pertama kali, bukan? Baiklah, ini waktunya pelajaran terakhir dariku.

Yang kamu lihat sebelum aku menghilang adalah sihir untuk membatalkan kematian.

Hanya berlaku untuk kematian yang sudah berada di depan mata, seperti yang dialami kakakmu. Lebih tepatnya, transfer waktu. Aku memberi waktu kehidupan yang ada di darahku pada kakakmu melalui jam waktu kehidupannya. Memang tak perlu menuangkan seluruh darah ke permukaan jam, tapi tetap saja butuh jumlah yang tidak sedikit.

Ingat saat aku mengatakan untuk tidak salah memakai jam? Ini alasannya.

Perlu ditekankan satu hal. Aku tidak sepenuhnya mati. Aku hanya kehilangan waktu di dunia nyata, dan otomatis dipindahkan ke dunia sihir. Hanya sihir ini yang memindahkan mereka-orang-orang yang memberi waktunya pada orang lain-ke dunia sihir secara otomatis, bukannya mati dengan "normal".


Risiko dari sihir ini tentu saja ada.

Sihir yang ada di dalam diriku hilang sepenuhnya dari muka bumi. Sihir ini adalah sihir terakhir yang bisa kupakai. Sayangnya, maafkan aku, Alden, inang utama dari sihir-sihir itu berakhir padaku dan belum diteruskan. Seharusnya kamu yang meneruskannya, tapi sepertinya tak sempat. Entahlah sihir apa yang sudah ada pada dirimu. Apa pun itu, bila masih ada, jaga ia. Ia adalah bagian dirimu.

Seperti biasa, pikiran berpengaruh. Lebih lengkap lagi, alasanmu melakukannya ikut serta juga pada hasil. Apa alasanmu melakukan sihir ini? Ia yang akan menentukan gagal atau tidak. Bila gagal, waktuku pindah ke tubuh kakakmu, tapi tak membuatku pindah secara otomatis. Oleh karena itu, aku memintamu berjaga-jaga seandainya aku gagal.

Perlukah aku memberitahu niatku?

Saat kubilang kamu mirip anak yang ingin kujaga, aku sedang bicara jujur. Pernahkah aku berbohong padamu? Iya. Aku pernah. Hanya sekali dalam ingatanku. Yaitu saat aku mengatakan bahwa aku ingin bertemu dengan anak itu kembali. Tapi, bukankah itu berbohong pada kakakmu ketimbang padamu?

Bagaimana kamu berlari ke belakang panggung mengingatkanku pada anak itu yang melakukan hal sama. Alasannya pun simpel sepertimu.

Ibunya terbaring di ranjang rumah sakit. Tak ada hiburan untuknya selain burung merpati yang terkadang mengetuk jendela kamar tempatnya dirawat.

Anak itu ingin menampilkan sulap paling hebat yang pernah ada untuk ibunya. Ia yakin, untuk bisa melakukannya, ia harus belajar dari pesulap paling hebat juga. Tak lama sejak itu, ibu si anak tiada. Dengan cara normal. Tapi, tetap saja ada kekosongan di dalam diri anak itu, dan aku tak tahu harus mengisinya dengan apa.

Aku hanya tak ingin kamu merasakan hal yang sama dengannya. Itu alasan utamaku. Selebihnya hanya alasan tambahan. Semacam bonus.


Pelajaran sihir dariku selesai. Ini yang terakhir. Mungkin lain kali aku hanya menceritakan pengalamanku. Mari kita lihat nanti. Semoga beruntung.

Ah, hampir lupa. Apa pun masalahmu dengan ibumu, atau orang lain, siapa pun itu, jangan pernah lari. Hadapi. Jangan benci ia. Kamu akan menyesal sendiri kalau ia sudah pergi meninggalkanmu.

End of The MagicWhere stories live. Discover now