X: Kompetisi Pembawa Berbagai Emosi

8 4 0
                                    

Hari ini, aku belajar banyak tentang musik yang begitu Ayah dan Lei cintai.

Hari ini juga, aku mengetahui bahwa Ayah dan Lei memang sama-sama mencintai musik, tapi musik yang mereka cintai begitu berbeda. Kukira akan sama karena mereka sama-sama suka musik klasik.

Karpet biru beludru yang menutupi seluruh permukaan lantai menyapa begitu aku memasuki graha serbaguna di fakultas musik. Lei pernah bilang, sekalipun bagian dari fakultas musik, gedung ini sering digunakan untuk lokasi kompetisi dan pertunjukan musik lainnya. Bahkan pertunjukan umum yang tidak terikat dengan kampus ini pun sering diadakan di sini.

Pasti menjadi sebuah kebanggaan bagi kampus ini yang mendapat beragam kesempatan itu, dan kurasa, orang yang bisa berkuliah di sini pun merasa bangga terhadap kampusnya. Namun, Lei menolak tawaran Ayah mentah-mentah beberapa bulan lalu saat Lei baru lulus sekolah menengah atas. Jangan tanya aku alasannya. Dia benar-benar kakakku yang paling aneh, aku tak pernah bisa mengerti cara berpikirnya. Entahlah nanti, tapi sekarang, di usiaku yang ke-13 tahun, dia masih seperti dibungkus kaca buram yang tak bisa kulihat isinya.

Oke, kembali ke perjalanan anehku hari ini. Ini pertama kalinya aku mendatangi sebuah kompetisi musik klasik. Rupanya acara ini begitu formal, walau beberapa penontonnya juga memakai pakaian kasual.

Jujur saja, setelah melihat bangunan graha, aku langsung mengerti mengapa Ibu menolak ikut, serta menyuruhku dan Lei yang pergi. Ibu bukan penggemar musik, apalagi musik klasik. Biasanya, Ayah hanya mengajak Ibu untuk menonton pertunjukan musik apa pun. Mungkin Ibu sudah menyerah sekarang.

Kompetisi musik. Kategori biola untuk anak-anak seusiaku. Babak penyisihan.

Aku ingat udara di dalam aula pertunjukan tempat diadakannya kompetisi begitu kering, juga berdebu. Hawa yang sama dengan aula di teater kota. Perbedaan paling jelasnya terlihat pada panggung. Ada grand piano di panggung aula graha ini.

Kukira, Ayah dan Lei akan merasa senang ketika menonton. Atau, setidaknya, merasa takjub. Tapi, semua itu dugaan yang salah. Aku tak melihat perubahan ekspresi pada wajah mereka—yang duduk di kiri dan kananku.

Wajah Ayah tetap datar di balik kacamatanya, sesekali ia tersenyum. Sementara itu, berkali-kali kening Lei mengernyit ketika ia mendengarkan sambil memejamkan mata, dengan menggelengkan kepala sedikit.

"Kalian menyukai permainannya?" Aku ingat bertanya itu saat keluar dari aula. Kompetisi dibagi menjadi dua sesi, dan ada jeda istirahat di antara kedua sesi, di mana kami bisa keluar untuk menormalkan otot tubuh yang diminta duduk selama beberapa jam.

Ayah menjawab iya, tanpa basa-basi. Begitu to the point. Berkebalikan dengan Lei yang mengundur jawabannya, hingga Ayah pergi ke toilet.

"Menurutmu, apa permainan-permainan tadi bagus, Al?" Lei menyunggingkan senyum lebar. Aku mengingat ada senyum di wajahnya karena aku berani bertaruh senyum itu memiliki arti lain.

Sejujurnya, aku merasa biasa saja. Tidak, aku bukan menjelekkan permainan mereka. Aku juga ingat aku tak bisa memainkan alat-alat musik tersebut. Permainan mereka pun memang begitu rapi, aku tak mendengar ada kesalahan nada. Namun, ada sesuatu yang aneh saat mendengarnya.

"Hambar, bukan?" tanya Lei sambil memandangku sendu. "Kamu hanya belum berhasil bertemu bagian spesialnya, Al. Sejujurnya, aku pun belum menemukannya tadi. Coba dengarkan dengan hati dan kamu akan sadar bahwa setiap not terasa hambar. Orang-orang ini mengincar kemenangan dari sudut pandang kompetisi, bukan kemenangan dari sisi kebahagiaan diri. Maafkan aku, tapi ini tak pantas disebut musik."

Begitu di luar dugaan. Aku tak menyangka itu adalah jawaban Lei. Sewaktu mendengarnya, aku langsung sadar mengapa ia menunggu Ayah pergi ke toilet. Saat itu pula, aku tahu bahwa Ayah dan Lei jatuh cinta pada hal yang sama dan, hal itu berbeda di waktu yang sama.

Lei juga menjelaskan bahwa dalam kompetisi permainan biola—karena aku hanya pernah menonton yang tadi siang saja—pemenang dinilai dari ketepatan not yang tertulis di music sheet. Orang-orang yang ikut serta tentu akan memilih fokus pada benar atau tidaknya not ketimbang perasaan yang ditanamkan ke gesekan biola. Vibra[1] hanya dilakukan demi formalitas supaya not tak terasa membosankan, sehingga getarannya hanya terasa di telinga, tak sampai di hati.

Aku tak mengerti musik begitu dalam. Semua istilah musik kuketahui dari Ayah dan Lei. Mereka menyukainya—bahkan menurutku, mereka mencintainya. Persis seperti rasa cintaku pada sulap.

Karena itu, Lei memanfaatkan rasa cintaku pada sulap untuk memberikan perumpamaan. "Musik seperti sulap. Perbedaan mereka hanyalah pada melalui apa mereka memanipulasi pikiran. Musik memanipulasi melalui suara. Sulap melalui visual. Orang dibuat merasakan hal yang berbeda-beda karena manipulasi ini. Bagi orang awam, sulap begitu menakjubkan karena jarang dilihat, bukan? Bagi orang yang sudah terbiasa menilai, akan terlihat siapa yang amatir dan profesional. Tapi, bagi orang yang mencintainya, semua akan terasa indah karena mereka menerima semua kekurangan dan kelebihan dari triknya. Ia akan bangga karena ada orang yang mau mencoba belajar, atau bahkan menonton hal yang dicintainya. Ia juga akan marah ketika ada yang menjelek-jelekkan atau mengolok-oloknya. Bagiku, musik pun sama seperti itu. Dalam hatiku, kemarahan mendominasi karena telah mengolok-olok permainan musik menjadi kumpulan not biasa. Tapi, kamu sebagai pesulap pasti lebih tahu perihal poker face, bukan?"

Aku tak tahu apa yang membuatku ingat secara rinci perkataan panjang dan anehnya Lei. Apa karena ia menggunakan sulap sebagai contoh? Entah, aku tak tahu. Yang kutahu, selama ini Lei memakai poker face. Pada siapa saja, atau terhadap apa saja, jangan tanya aku. Lei tidak pernah mengatakannya.

Bahkan lanjutan perkataan Lei masih kuingat. "Maaf, Al, aku hanya kecewa seseorang memperlakukan musik sampai seperti ini. Padahal, kemampuan manipulasi pikiran ada di setiap hal. Karena itulah, sudut pandang dan persepsi orang akan berbeda-beda, meski sebenarnya sedang membicarakan hal yang sama."

Sejujurnya, aku tak mengerti maksud perkataan Lei. Mungkin karena aku tak mengerti, otakku memutuskan mengingatnya supaya bisa kucari tahu artinya lain kali.

Sempat kutanyakan pada Lei, mengapa ia mau menonton padahal tahu akan seperti ini. Ia bilang, ada sedikit perbedaan dalam kompetisi kali ini. Benar, ini kompetisi baru, dan tak biasanya para peserta biola bermain menggunakan piano pengiring di babak penyisihan.

Ekspresi Ayah lebih datar, jadi tak bisa kubaca. Melihat senyum yang beberapa kali terlihat saat Ayah mendengarkan permainan biola orang-orang, kelihatannya ia suka dengan permainan yang Lei sebut sebagai "kumpulan not biasa".

Namun, ekspresi Lei ... jelas menunjukkan kekecewaan. Aku masih tak mengerti mengapa, tapi karena menurut Lei, musik dan sulap itu sama .... Kurasa, sedikit banyak, rasa kecewa itu tersampaikan padaku.

Setidaknya, Ibu menjadi salah satu yang bersyukur. Ia tidak perlu tidur sambil duduk karena menonton kompetisi.

--------------

Footnote:

[1] Vibra, vibrato atau getaran adalah teknik dasar dengan menambahkan aksen getar supaya terdengar lebih indah dan bervariasi. 

--------------- 

To be continued ....

End of The MagicWhere stories live. Discover now