12

3 3 0
                                    

"Alden, jawab Ibu, ke mana kamu pergi sampai pulang larut seperti sekarang?"

Aku memandang lurus ke depan, menatap langsung ke dalam mata Ibu. 

Aku ... takut. 

Ibu tampak seperti hakim yang menggendong ular di bahunya. Bagiku, ular tersebut adalah mesin pendeteksi kebohongan. Seakurat apa ia, aku tak tahu dan tak ingin mencari tahu.

Saat ini juga, aku kembali mengingat perkataan Lei saat ia dimarahi Ayah.

"Memang lebih baik diam saja."

Satu kalimat itu terlalu berfungsi untuk saat ini. Ia mengartikan dua hal—di kepalaku. Pertama, Lei tak akan turun, seperti yang kulakukan saat ia dimarahi Ayah. Kedua, lebih baik aku diam saja saat ini.

Pesan yang selalu kuingat dari Tuan Pesulap adalah jangan pernah menundukkan pandangan ketika seseorang menuduhmu, entah tuduhan tersebut benar atau tidak. Menundukkan kepala atau menghindari pandangan lawan bicara mengartikan bahwa aku mengaku salah dan akan menurutinya. Bukankah itu sama saja dengan telah membuka topengku? Poker face-ku akan runtuh seketika.

Karena pesan itu pula, aku tak bisa melihat ekspresi Ayah yang duduk di meja makan—kurang lebih tiga meter di sebelah kiriku. Ayah tahu aku berurusan dengan sulap. Apa responsnya?

"Al, kau sudah pulang?"

Aku dan Ibu langsung menoleh ke arah Lei yang turun dari tangga. Ia melihatku dengan wajah yang menunjukkan senyum lebar. Seolah tak ada pengadilan yang tengah terjadi di sini—atau mungkin ia tak melihat adanya pengadilan.

Lei berjongkok di sebelahku, mengambil ransel dari punggungku. Ia membuka ritsletingnya, dan mencari sesuatu di antara barang-barang yang ada di tasku. Tangannya keluar membawa sesuatu—aku berani bertaruh bahwa ia memang memegang sesuatu. Apa yang dikeluarkannya dari tasku?

Ia mengembalikan tasku yang ritsletingnya sudah dirapatkan kembali. Setelah mengatakan, "Terima kasih sudah mengejutkanku lebih dari yang kuinginkan," ia menepuk pundakku—entah mengapa, karena aku tak tahu apa yang sedang dilakukannya—dan pergi menaiki tangga.

"Leiro, kemari."

Panggilan dari Ibu membuat Lei batal menaiki tangga lebih tinggi dari dua undakan. Ia berbalik, tak melangkah mendekat ataupun menjauh dari undakan tempatnya berdiri. "Iya, Bu?"

"Benda apa itu?" Ibu mengulurkan tangannya, padahal Lei masih jauh dari posisinya. "Biar Ibu lihat."

Lei melangkah mendekat. Rasanya detak jantungku semakin cepat. Benda apa yang sebenarnya Lei ambil dari tasku? Bagaimana bila rupanya benda itu memiliki hubungan dengan sulap, walau hanya 0,1%?

Tangan Lei meletakkan sesuatu di atas telapak tangan Ibu yang sedari tadi terbuka. Jantungku terasa mencelos begitu melihat benda yang Lei letakkan.

Rosin? Rosin untuk bow biola? Sejak kapan benda itu ada di tasku?

Jaga ekspresi dan sikapmu, Alden. Lei baru saja menyelamatkanmu dari hukuman mati.

"Apa ini?" tanya Ibu sambil mengernyitkan kening.

"Rosin. Digosok pada bow supaya tak licin ketika dimainkan."

"Ibu tahu itu. Maksud Ibu, mengapa ini ada di tas Alden?"

"Alden bertanya apa yang bisa dilakukannya untuk membantuku. Saat kukatakan padanya tentang untuk membelikan rosin baru saja, ia malah mencari rosin yang pernah kutunjuk di majalah. Padahal aku tahu tidak mudah mencarinya." Lei menoleh ke arahku, yang sedari tadi memandanginya bicara. "Akan kuganti uangmu. Harganya tidak murah, bukan?"

Kurasa, aku sudah mengerti skenarionya. "Hei! Itu pembayaran di muka untuk hadiah ulang tahunmu sebentar lagi. Mengganti uangku membuat statusnya sebagai 'hadiah' menghilang!"

"Aku tak pernah memintamu ke kota sebelah untuk membelinya, mentang-mentang di sana tempat terdekat yang menjualnya. Bersyukurlah kau sempat mengejar bis terakhir pukul sebelas tadi. Rosin biasa pun sudah lebih dari cukup, Al. Sudah berapa kali kubilang, alatnya akan mengikuti kemampuan—"

Sebelum Lei selesai bicara, Ibu sudah memotongnya sambil memandangku tajam. "Alden! Kota sebelah? Sampai tengah malam? Mengapa kau tak pergi dari siang hari? Mengapa kau tak mengajak seseorang untuk menemanimu?"

"Aku pergi dari siang, tapi tersesat di jalan." Jawabanku membuat Ibu terlihat kehabisan kesabaran, juga stok kalimat dari mulutnya. Ia memandangku lama, dan saat aku mengatakan maaf, ia menggelengkan kepala dan masuk ke kamarnya.

Setelah mengatakan maaf sekali lagi, aku berjalan menaiki tangga dengan perlahan. Lei masih bicara sesuatu tentang rosin yang—katanya—kubeli. Langkahku lunglai, tanpa perlu dibuat-buat. Di kamarku, aku langsung menutup pintu, dan bersandar padanya. Aku mengembuskan napas lega yang begitu panjang. Drama tadi ... apa benar-benar seperti drama? Atau terlihat seperti sungguhan?

Aku berjalan mendekati kasur, dan tepat sebelum aku merebahkan tubuh di atasnya, baru kusadari bahwa ada kertas yang terlipat di kasur. Kertas putih di atas kasur berwarna cokelat gelap benar-benar warna yang begitu kontras, dan aku tak menyadarinya hingga tadi.

Saat kubuka lipatan kertas, sebuah pemantik jatuh ke pangkuanku. Mungkin sebelumnya terselip di dalam kertas.

Al, kuharap kamu mengerti dengan jelas skenario drama yang kulakukan. Jangan sampai ada ketidaksinkronan dari jawaban yang diberikan. Kalau kamu tidak mengerti, berpura-puralah tersandung dan menabrak pintu kamarku saat kamu keluar dari kamarmu sendiri. Itu tanda untukku. Aku akan menyiapkan catatan lain berisi skenario lengkapnya. Bila aku tak mendapat tanda darimu, aku akan menganggap kau sudah mengerti sepenuhnya.

Selalu ada waktu yang tepat untuk mengetahui setiap hal, termasuk waktu Ibu untuk mengetahui betapa keras kepalanya dirimu. Kurasa bukan sekarang. Entah kapan, berdoalah waktu itu datang di saat kau sudah siap. Ah, tadi aku memasukkan pemantik saat melipat kertas ini. Bakar kertas ini setelah membacanya.

Aku mengambil karton, yang kemudian kuletakkan di atas lantai sebagai alas. Di atasnya, aku membakar kertas pesan dari Lei. Tepat sebelum api menyentuh jariku, aku sudah menjatuhkan kertas itu ke atas karton. Kertas pesan tersebut telah berubah menjadi abu yang begitu ringan, dan aku hanya memandanginya lama.

Skenarionya sudah kumengerti sepenuhnya.

Lei memintaku membeli rosin. Ia pernah menunjukkan sebuah rosin—yang katanya—bagus di sebuah majalah. Aku pergi membeli rosin tersebut di kota sebelah sebagai kejutan ulang tahun untuk Lei. Aku tersesat, sehingga pulang larut.

Baiklah, sepertinya itu sudah skenario paling benar. Aku berutang lagi pada Lei yang sudah mencetuskan skenario tersebut.

***

"Aku akan pergi ke perpustakaan kota. Akan kuusahakan pulang sebelum makan siang." Tanpa sempat mendengar apa yang dikatakan Lei ataupun Ibu, aku sudah keluar dari rumah.

Perpustakaan kota terletak di seberang plaza, yang berarti tepat di jantung kota. Fasad bangunan yang terkesan kuno terlihat kontras dengan interior modern. Terdiri dari beberapa lantai, yang tiap lantainya memiliki jenis buku berbeda. Tujuanku ada di lantai dua. Buku umum dan koran lama.

Aku tak memberi alasan pada Ibu dan Lei, tapi kurasa mereka berpikir bahwa aku kemari untuk menyelesaikan tugas. Tidak sepenuhnya salah, walau tujuan utamaku bukanlah itu.

Tempat ini pasti menyimpan arsip dari koran lama. Aku membutuhkannya. Aku ingin mengetahui berita yang pernah ada tentang Tuan Pesulap. Rasanya, perkataan wanita kemarin benar-benar mengganjal pikiranku.

Bangkit dari kematian.

Apa yang membuatnya merasa Tuan Pesulap bangkit dari kematian? Bisakah Tuan Pesulap melakukannya? Apa benar pesulap yang bangkit dari kematian itu adalah Tuan Pesulap?

Tak ada hal yang mustahil bagi seorang pesulap, terutama Tuan Pesulap. 

----------------

To be continued ....

End of The MagicWhere stories live. Discover now