25

2 2 0
                                    

Lei memejamkan mata. Terlihat tenang. Seperti orang yang sedang tidur. Entah sejak kapan ia tertidur. Apa ia tak melihat saat Tuan Pesulap memudar—secara harfiah—barusan?

Apa ia tahu sesuatu?

Aku mengambil kertas yang ditinggalkan Tuan Pesulap di kursi dan melangkah keluar dari kamar Lei. Kulempar jubah dan kertas di atas kasur kamarku, lalu menuruni tangga.

“Di mana teman Leiro tadi?” tanya Ibu dari arah dapur.

“Pulang lewat jendela. Ia kelihatan buru-buru. Ia menitipkan mantelnya padaku, memintaku mengantarkannya lain kali. Ia juga memintaku menyampaikan salam pada Ibu.” Kuambil mantel dari gantungan mantel di ruang tamu dan buru-buru kembali ke kamarku sebelum Ibu menanyakan lebih banyak lagi.

Mantel, jubah, kertas yang terlipat, dan kartu nama. Semua benda itu ada di depanku yang sedang duduk di kasur kamar. Rasanya seperti sedang menyiapkan sebuah trik sulap. Aku berbaring di kasur, dengan semua benda itu di sisiku.

Aku tak sedang ingin melakukan sulap.

Aku ... hanya ingin berbaring dan tak melakukan apa pun.

***

“Alden.”

Aku yang tengah berbaring membalikkan tubuh untuk melihat ke arah pintu.

Ayah.

Hal yang berbeda. Biasanya, Ibu atau Lei yang memanggilku. Atau, lebih tepatnya, Ibu seorang yang memanggilku semenjak Tuan Pesulap pergi.

Tak ada sedikit pun rasa ingin untuk menjawab Ayah. Tapi, tak sopan rasanya bila aku langsung membalikkan tubuh lagi. Aku hanya memandang kosong padanya. Seperti yang biasa kulakukan kalau Ibu memanggilku.

Aku tak tahu apa yang Ibu ketahui dan tidak, tapi apa pun itu telah membuat Ibu tak mengomel. Belakangan ini, setiap ia memanggil, dan aku tak menyahut, ia akan pergi begitu saja. Ia yakin aku pasti akan tetap keluar.

Benar, aku keluar. Mengambil sarapan dan langsung pergi begitu saja ke sekolah. Pulang, kembali berbaring di kamar. Tugas sekolah ... lupakan. Aku hanya perlu menyontek.

Ayah melangkah masuk, membuatku ingat kembali bahwa kali ini, Ayah yang memanggilku. Ia mendatangi jendela kamarku untuk membuka gorden. Aku tak ingat matahari begitu menyilaukan seperti ini. Aku menarik selimut untuk menutupi wajah, tapi Ayah menahan tanganku.

“Ingat ini sudah hari apa, Alden?”

“Aku ... tak tahu.”

“Berarti intuisi hibernasimu lebih buruk dari yang dimiliki hewan-hewan saat berhibernasi. Mereka tahu waktu yang telah mereka habiskan untuk tidur.” Ayah duduk di pinggir kasur. Telunjuknya bergerak, memberi isyarat untukku bangun. Aku duduk, dan Ayah meneruskan kata-katanya. “Kamu seperti mayat hidup. Bahkan lebih buruk dari mayat hidup.”

“Perkataan Ayah waktu itu benar. Tentang badai besar itu—” Suaraku tertahan di tengah kalimat.

“Tak apa. Lei sudah cerita. Temanmu meninggal.”

Meninggal? Itukah kata yang paling tepat untuk kepergian Tuan Pesulap? “Ia akan kembali.”

Ia pasti akan kembali.

Ah .... Apa benar begitu? Apa benar Tuan Pesulap akan kembali? Bukankah Tuan Pesulap sendiri yang mengatakan untuk tak menunggunya? Apa aku hanya menciptakan ilusi lain supaya tak merasa kehilangan?

End of The MagicWhere stories live. Discover now