11

5 3 0
                                    

"Orang seperti kita adalah orang yang benar-benar egois, Alden."

Aku melirik Tuan Pesulap yang duduk dengan memandang lurus ke depan, menunggu aba-aba untuk dimulainya jumpa pers.

Orang seperti kita? Bukankah kesamaanku dan Tuan Pesulap hanyalah di bagian bahwa kami cinta sulap? Apa maksudnya para pecinta sulap adalah orang yang egois? Bukankah dulu ia sempat mengatakan hal serupa? Bahkan, dulu, ia juga bilang orang seperti kami begitu bodoh.

"Apa maksud Anda?"

"Tiga hal yang paling jelas dari pesulap adalah bodoh, egois, dan aneh, Alden." Ia melirikku sekilas sebelum memandang ke depan lagi. "Bodoh karena mementingkan kebahagiaan ketimbang uang. Egois karena rela berbohong pada orang yang menyayangi kita demi sulap yang—katanya—mengalir di dalam darah. Aneh karena seburuk apa pun orang memandang apa yang kita lakukan, kita tetap saja melakukannya. Benar, bukan?"

Rasanya terlalu banyak waktu yang kuhabiskan untuk mencerna perkataannya. Terasa bagaikan meraba tembok dalam kegelapan untuk menemukan saklar lampu. Tepat saat sebuah bunyi klik terdengar di dalam kepalaku bersamaan dengan munculnya cahaya, aku langsung tersenyum lebar.

"Poker face, Alden."

Aku cepat-cepat mengangguk dan memperbaiki ekspresi wajahku. Sebenarnya apa Tuan Pesulap hanya melihat dengan mata seperti manusia lain? Kurasa, jawabannya adalah tidak karena ia bahkan tak menoleh saat aku tersenyum lebar.

"Tuan," panggilku pelan setelah beberapa detik yang terasa seperti beberapa tahun, "gelar yang kita sandang itu, bolehkah aku bangga karena memilikinya?"

"Tentu. Tanpa diminta pun, sudah jelas kita bangga terhadapnya. Aku yakin itu. Karena, bila tidak, sudah sejak lama kamu meninggalkannya. Dan ... apa kamu sungguh-sungguh tak ingin ikut muncul di sana?"

Aku melihat ke arah yang dipandangi oleh Tuan Pesulap. Seorang petugas memberi isyarat, membuatku menggelengkan kepala. "Tidak, aku ingin menghindari paparan media yang terlalu banyak dan jelas. Kecepatan siaran mulut tetangga di tempat tinggalku bisa menyaingi televisi kalau perihal berita baru. Kurasa aku akan langsung pulang, tak masalah, Tuan?"

Ia mengangguk, lalu meninggalkanku sendirian.

Selesai mengganti kembali pakaian formalku dan keluar dari aula pertunjukan, mataku bertemu seorang wanita di lobi teater. Usianya mungkin sama dengan Tuan Pesulap. Tubuhnya tinggi jika dibandingkan wanita kebanyakan, sekalipun ia tak memakai sepatu hak tinggi. Rambutnya pendek sebahu, berwarna cokelat terang, nyaris bisa disebut pirang. Matanya sayu. Kacamatanya memiliki lensa yang hampir menutupi sebagian besar wajahnya.

Hal yang membuatku terpaku padanya adalah ia terus saja melirik Tuan Pesulap. Bila ia salah satu penggemar, mengapa ia tak ikut mengantre dan memilih melihat dari jauh?

"Ada yang bisa dibantu?" tanyaku pelan, yang tak kusangka mengejutkannya.

"Maaf, tapi aku tak akan mengganggu." Ia menggelengkan kepala cepat. Namun, wanita ini kembali melihat ke arah Tuan Pesulap. "Aku hanya tak menyangka dia masih hidup dan menemukannya di sini."

"Maaf?" Tak menyangka Tuan Pesulap masih hidup? Dia pernah mati? Atau pernah menghilang dan tak kembali? Siapakah nona ini? Nona atau nyonya yang lebih tepat?

Ia menggelengkan kepalanya lagi. "Kamu ... siapa?"

"Aku murid dari pesulap di aula utama—yang pertunjukannya baru selesai setengah jam lalu."

Wanita itu memandangku lama. Aku tak memakai bahasa aneh seperti yang biasa dipakai Lei, lalu apa lagi yang membuatnya sulit mengerti perkataanku? Sorot matanya terasa campur aduk, antara kagum, terkejut, dan ... sedih?

Mengapa sedih?

"Mengapa sulap yang kalian pilih? Apa indahnya sebuah ilusi?"

Kujentikkan jari, dan muncul sebuah mawar biru tepat di akhir jentikan. Siapa pun yang tahu arti mawar biru akan mengerti maksud dari trikku barusan. Itu adalah sebuah jawaban untuk pertanyaan si wanita.

Tapi, sepertinya wanita ini tak mengetahui arti mawar biru. Keterkejutan perlahan memudar dari matanya. Bibirnya seakan memaksakan senyum, tapi terlihat terlalu banyak pertanyaan dari senyumnya itu. Kerutan dahi yang bertambah karena ia mengernyitkan dahi menambah bumbu pada kesimpulan bahwa wanita di depanku bingung.

"Karena ia adalah keunikan yang indah, persis seperti mawar biru ini," jawabku pelan sambil memberikan bunga di tanganku padanya. "Semua hal di dunia ini adalah ilusi. Atau, lebih tepatnya, bisa menjadi ilusi. Bukankah untuk menghadapi kenyataan pahit dalam hidup, kita memerlukan ilusi? Bila ada ilusi yang unik sekaligus indah, mengapa kita tidak memilihnya sebagai teman hidup?"

Ia memandangku kosong. Waktu berjalan dengan perlahan, dan hanya perlu beberapa detik untukku mengetahui bahwa bukan kekosonganlah yang memandangku, karena hal yang kosong tak akan memiliki air mata.

Wanita di depanku menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibir. Tangannya mengusap pipi menggunakan saputangan. Matanya berkaca-kaca. Sedih atau terharu, mana perasaan yang benar? Batasnya terlalu tipis. Aku tak bisa membedakan arti dari mata di depanku, tak peduli seberapa dalam aku memandangnya.

"Apa kamu baru saja memberiku sebuah sihir perjalanan ke masa lalu? Beberapa tahun yang lalu, seorang anak seusiamu mengatakan hal serupa padaku. Setahuku, ia sudah tiada."

"Manusia bisa tiada. Jasanya tidak. Jasa dari mereka yang meninggal-lah yang masih hidup bersama sihir di dalam sulap. Ia akan dibawa oleh waktu, melintasi masa, tinggal di setiap generasi manusia yang ditemuinya. Apa pun bisa terjadi pada sihir tersebut, kecuali tiada."

Spontan. Perkataanku terlalu spontan, padahal perkataan itu bukan kata-kataku. Aku hanya mengulang apa yang Tuan Pesulap katakan saat dulu mengajariku. Namun, sepertinya kata-kata itulah yang membuat wanita di depanku lebih tenang. Ia menunduk dalam-dalam, tapi aku tahu ia tersenyum lega. Tangannya mengelus kelopak bunga mawar yang kuberi.

"Terima kasih," ucapnya sambil berdiri. Tangan kanannya memberi sebuah kartu nama. "Titipkan ini pada pesulap di sana. Ia benar-benar seorang pesulap yang bangkit dari kematian bila masih ingat pada nama di kartu itu. Lagi pula, kelihatannya aku orang yang memercayai ilusi karena sudah menonton pertunjukan tadi dengan rasa takjub."

Langkahnya yang menjauh membuatku hanya bisa memandangi punggung mantel berwarna cokelat susu. Aku melihat ke arah tanganku yang memegang kartu nama. Tunggu Tuan Pesulap selesai atau lain kali saja?

Aku melirik jam tangan. Astaga, aku bisa terlambat pulang lagi!

Kumasukkan kartu nama ke dalam ransel, lalu berlari menyusuri pedestrian. Jalanan masih ramai. Lampu dari bangunan dan kendaraan menjadi bintang imitasi yang menghiasi perjalananku pulang di malam yang telah larut, seperti saat aku pertama kali menonton pertunjukan Tuan Pesulap.

Tapi, kali ini aku lebih sial dari sebelumnya. Tepat sebelum aku menyentuh kenop pintu rumah, pintu langsung terbuka.

Dan, Ibu yang membukanya.

Malam ini, tak hanya interogasi yang menemuiku. Ada pengadilan yang sudah jelas akan diadakan di rumahku. Apa aku memiliki pengacara? Tidak, sepertinya tidak, tapi sepertinya tak ada jaksa juga. Setimpal. Tak ada yang membela dan tak ada yang menuduh.

Satu masalah terbesarku adalah keputusan hakim tak bisa diganggu gugat. Namun, di rumah, tak ada hukum atau undang-undang yang berlaku. Keputusan Ayah dan Ibu adalah undang-undang dari negara berbentuk rumah ini, tak peduli undang-undang tersebut dibuat mendadak atau bertolak belakang dengan aturan yang sebelumnya sudah ada di rumah.

Hukuman macam apa yang menungguku? Hukuman mati? 

-----------------

To be continued ....

End of The MagicWhere stories live. Discover now