| 01 |

2K 182 30
                                    

 "Lo udah dengar katanya Arum ngamar sama Pak Wibowo buat nilai naikkin UTS?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo udah dengar katanya Arum ngamar sama Pak Wibowo buat nilai naikkin UTS?"

    "Hush!" Samara memelotot dan mengedarkan pandangan ke minimarket yang ada di area kampusnya itu. "Hati-hati kalau ngomong."

    "Udah banyak yang tahu juga." Kahyang tidak menurunkan nada bicaranya. "Semester kemarin juga gitu bukannya? Tapi gue lupa nama dosennya siapa."

    Samara merapikan rambutnya yang agak bergelombang, merasa tidak nyaman sendiri. "Tapi nggak ngomongin orang di tempat umum kayak gini, Kahyang."

    Kahyang menatap sahabatnya yang kini mengambil biskuit selai stroberi dari rak dengan tatapan bosan. "Ini namanya menganalisis tingkah laku individu via diskusi grup."

    Samara pura-pura tidak mendengar dan bergerak ke bagian tempat skin care dan make up biasa berada. Kahyang masih bergerak mencari cemilan untuk pengganjal perut setelah kelas pagi hari ini. Kahyang yang ceroboh dan suka sembrono itu bangun kesiangan pagi ini. Datang ke kampus tanpa sarapan dan tidak mandi, hanya sempat mencuci muka. Dia tetap wangi dengan parfum belasan jutanya itu.

    Kondisi ekonomi keluarga Samara tidak jauh berbeda dengan Kahyang. Bila keluarga Kahyang secara turun temurun punya bisnis retail, perusahaan keluarga Samara sudah dikenal di bidang produksi pakaian olahraga. Hanya saja, buatnya membeli parfum seharga ponselnya masih terlalu berlebihan. Ia lebih suka menggunakannya untuk menambah koleksi sepatunya.

    Samara menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, agak membungkuk mencari produk yang dicarinya. Samara punya kebiasaan buruk mengelupas lapisan-lapisan kering bibirnya bila gugup. Akibatnya, bibirnya jadi sering berdarah. Pelembap bibir adalah salah satu benda terpenting baginya, tetapi ia kehabisan stok di apartemen.

    Hanya ada pelembap bibir yang termuat dalam jar, bukan stik. 

    "Masih nyari?" Kahyang mendekat, gerak-geriknya agak tidak diperhitungkan bila dalam keadaan seperti ini, sehingga dia sempat menyenggol payung di ujung rak dan membuatnya jatuh.

    Begitu memang kalau tidak hati-hati setiap saat.

    "Nggak ada yang stik," jawab Samara, sedikit jengkel.

    "Yang dalam jar aja."

    "Nggak suka apply lip balm pakai jari, rasanya kurang bersih."

    "Coba tanya kasir."

    Samara berjalan dengan gayanya yang biasanya, tertata dan—kalau menurut orang-orang di sekitarnya—anggun. Berkat didikan ayahnya yang keras dan tanpa ampun, ia rasa. Kasir memberitahunya bila stok pelembap bibir dalam bentuk stik yang satuan belum datang, tetapi di konter kasir ada bundle dua lip balm stick.

    Itu lebih baik lagi, jadi Samara segera membayar belanjaannya. Kahyang setengah berteriak dia masih mencari-cari barang, entah apa. Jadi, Samara keluar dari minimarket kampus dan menghampiri kursi di luar.

    Samara mengambil kaca kecil dari tasnya, juga membuka kemasan pelembap bibir, mengambil salah satu dan segera mengaplikasikannya ke bibir. Meskipun tidak langsung membuat bibirnya lembap, setidaknya terasa lebih baik.

    Kelas selanjutnya masih akan dimulai tiga puluh menit lagi. Samara memandang ke arah lalu-lalang mahasiswa-mahasiswa universitas yang mengkhususkan diri di bidang ekonomi dan bisnis ini. Samara sendiri terdaftar dalam program studi manajemen, sekarang ia semeter tiga.

    Minimarket kampusnya bersebelahan dengan kedai kopi terkenal. Masih ada kantin utama yang biasa menampung beberapa ratus orang sekaligus, tetapi baik Samara maupun Kahyang belum mau makan makanan berat.

    Suara seseorang batuk-batuk datang dari kursi luar di sebelahnya. Samara menoleh dan segera melihat laki-laki tengah merokok, kantung matanya agak gelap. Dia jelas kelihatan kurang tidur. Rasanya Samara pernah melihatnya dan sekarang ia tengah berusaha mengingat-ingat namanya.

    Oh, ya. Itu Praha. Mahasiswa bisnis digital, masih satu angkatan dengannya. Ada dua hal yang membuatnya cukup terkenal. Pertama, nilai kumulatif dua semesternya sempurna, sesuatu yang jarang terjadi pada kampusnya. Kedua, alasan paling standar, penampilannya menarik.

    Mungkin kantung matanya itu hasil tidur larut untuk belajar. Selain keadaan kantung matanya memprihatinkan, laki-laki itu juga perlu bertemu alat bernama sisir, rambutnya agak berantakan. Bibirnya juga, kering pecah-pecah seperti milik Samara pagi hari tadi.

    Tadinya laki-laki itu fokus menatap layar ponselnya, sekejap kemudian dia mendongak, mempertemukan matanya dengan pandangan Samara yang ternyata belum terputus sejak tadi. Raut mukanya tidak enak dilihat. Tidak ramah, siapa-siapa bisa terintimidasi oleh netra tajam itu.

    Laki-laki itu bertanya dengan ketidaknyamanan yang jelas tampak pada wajahnya.

    "Mau lip balm?" Samara mengulurkan satu pelembap bibir ekstra miliknya.

    Praha memandang uluran tangannya dengan ekspresi yang membuat Samara tersinggung. Praha menatap uluran tangannya seperti sesuatu yang menjijikkan.

    "Bibir kamu. Kering," ucap Samara pada akhirnya. Mungkin laki-laki ini perlu dihadapi dengan kata-kata. "Pakai ini, biar nggak kering."

    "Gue tahu." Praha akhirnya berbicara, nadanya sama tidak ramahnya dengan wajahnya. "Kenapa mau ngasih?"

    "Yang kubeli isinya ada dua."

    "Gue nggak kenal lo."

    "Aku juga tidak kenal kamu."

    "Kenapa mau nawarin barang cuma-cuma begitu?"

    "Memang ada salahnya berbagi kebaikan sama orang asing?"

    Rasanya mereka sedang berada dalam kompetisi saling menatap. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibir masing-masing. Sama-sama rapat, sama-sama membiarkan kesibukan hari itu menggantikan pergulatan kalimat yang bisa saja terjadi di antara keduanya.

    "Ya udah, sini."

    Lip balm dengan kemasan merah muda itu kemudian berpindah tangan.

    Sebelum Samara bisa melihat Praha memakai pelembap bibir pemberiannya, Kahyang menghampiri dan keduanya segera meninggalkan tempat itu. 

    Akan tetapi, perihal Praha tidak berhenti begitu saja.

    "Lo tadi ngobrol sama Praha?"

    "Tadi kukasih lip balm, bibirnya kering. Kenapa?"

    Kahyang membuka kemasan biskuitnya. "Nggak gimana-gimana, cuma menurut gue anaknya aneh."

    "Aneh?"

    "Well, bukan aneh." Kahyang membutuhkan beberapa saat untuk menemukan kata yang tepat. "Agak ansos gitu, orangnya. Setahu gue, temannya cuma si Sugi."

    Kalau Sugi, Samara kenal. Dia tipe mahasiswa yang orang-orang sebut anak organisasi.

    "Nanti juga nggak ketemu dia lagi," kata Samara.

    Sedikit yang dia tahu bahwa kata-katanya tidak diamini semesta.

***

A new story, a new journey.

Rencananya, cerita ini akan diunggah setiap hari Sabtu. What do you think?

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram/TikTok: @princekendic

ObsesiWhere stories live. Discover now