| 10 |

635 74 11
                                    

Kahyang baru pindah apartemen. Segalanya hampir rapi, kecuali kardus-kardus berisi beberapa pakaiannya masih belum tersentuh di sudut kamar.

     Musim hujan telah datang, walau kota ini nyaris hujan sepanjang tahun. Rintik air sudah berjatuhan ketika Kahyang menjatuhkan dirinya di kursi depan mobil Sugi.

     Hari kedua masa orientasi mahasiswa baru itu sudah selesai berjam-jam yang lalu. Namun, kegiatan evaluasi adalah suatu kewajiban bagi para staf-staf panitia. Walau berada pada divisi yang berbeda, Kahyang dan Sugi duduk bersampingan selama pembicaraan-pembicaraan itu, makan kacang edamame rebus dan setengah mendengarkan kepala-kepala divisi mengutarakan apa yang kurang dan apa yang pantas diapresiasi.

     Sugi tak suka membiarkan acara dimulai terlambat dan membuat mereka pulang larut. Sehingga pembicaraan-pembicaraan itu bermula sejak sore dan selesai beberapa jam kemudian, tidak perlu diskusi sampai tengah malam karena menunggu orang-orang berkumpul dengan lamban.

     Sugi mengantarkannya pulang, sekaligus mengunjungi apartemen barunya. Kahyang tidak bermaksud membuatnya beres-beres, tetapi Sugi sepertinya alergi duduk diam sepuluh detik saja. Dia sudah mengambil kardus pakaian dari sudut dan meletakkannya di depan lemari, mempersiapkannya untuk Kahyang. Lengan kemeja putihnya digulung sampai siku, sementara jam tangan hitamnya melilit lengan Sugi dengan sempurna. Urat tangannya kelihatan menonjol. Kahyang ingat tangan itu membelai punggungnya yang polos beberapa hari yang lalu.

     Jangan salah, Sugi bukan kekasihnya. Namun, pada saat-saat tertentu, Kahyang akan menerima Sugi tidur di tempat tidurnya usai semalam melakukan hal-hal yang tidak perlu dijelaskan. Kalau meminjam istilah Samara, friends with benefits. Temannya itu tahu, tetapi tidak berkata apa-apa. Samara tidak pernah berkomentar.

     "Belum makan, kan? Di kulkas lo ada apa?" tanya Sugi setelah aku selesai memindahkan sisa pakaian ke tiap gantungan di lemari.

     "Belum belanja." Kahyang membalas seadanya.

     Sugi membuka pintu kulkas dan menemukan beberapa telur, juga sosis instan. "Mau omelet?"

     "Boleh."

     Kahyang duduk di kursi meja makan, menonton Sugi memasak untuknya. Pandangannya beralih antara gerak spatula, tangan Sugi lagi, celana licin laki-laki itu, sampai punggung tegapnya. Satu hal yang paling Kahyang sukai dari Sugi adalah ketenangannya, bagaimana laki-laki itu siap menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Cara-caranya membuat orang-orang di sekitar merasa nyaman sekaligus aman.

     "Mau tambah saus atau kecap?"

     "Nggak usah."

     Sugi menyodorkan omelet yang telah dia potong-potong, tanpa nasi karena Kahyang bahkan tidak punya alat untuk memasaknya. Barangkali hanya orang-orang yang dekat dengan Kahyang saja yang tahu dirinya tidak bisa makan makanan berbentuk besar ataupun lebar. Kalau tidak dibagi menjadi bagian yang lebih kecil, Kahyang akan merasa mual di pertengahan kegiatan makannya.

     Sementara Kahyang mulai memasukkan suapan pertama, Sugi duduk di seberangnya dan memainkan ponsel. Jemarinya bergerak cepat di atas layar, entah sedang mengetik apa dan kepada siapa.

     "Lo pulang kapan?"

     "Nunggu lo selesai makan. Kenapa?" Sugi menyempatkan diri untuk melihat Kahyang tepat di mata.

     "Nggak apa-apa." Menatap piringnya, Kahyang segera mendaftar apa saja yang ia konsumsi hari itu. Kebiasaan ini bukan sesuatu yang Kahyang sukai, tetapi berlangsung begitu saja tanpa izin. Roti gandum dengan pisang dan sedikit krim cokelat, kopi untuk mengusir kantuk setelah kelas, keripik kentang, kacang edamame yang ia makan bersama Sugi, dan sekarang omelet. Apakah ia telah makan berlebihan hari ini?

ObsesiWhere stories live. Discover now