| 06 |

849 111 15
                                    

Orang aneh.

     Samara terus menggosok tangannya dengan cairan pembersih yang licin itu, entah sudah diulang tiga atau empat kali. Kulit jari-jarinya sudah mengerut menyerukan protes, tetapi tidak ada tanda-tanda Samara akan berhenti. Napasnya memberu, sosoknya bergerak gelisah di depan wastafel dan cermin kamar mandi.

     Samara menyerah, tangannya terasa perih ketika dikeringkan dengan handuk kecil. Makanan di atas meja itu hampir saja akan menjadi benda yang terabaikan, mendingin, bila Samara tidak memaksakan dirinya melahapnya. Rahangnya bergerak pelan, malas-malasan.

     Praha sungguh aneh.

     Samara tidak punya banyak pengalaman dengan laki-laki. Hubungan dengan mantan-mantan pacarnya tidak pernah bertahan lama, semuanya hampir berakhir dengan Samara dicampakkan. Katanya ia terlalu membosankan, terlalu pasif. Kisah-kisah cinta monyetnya semasa SMA juga cuma berupa memori memalukan.

     Bukan maksudnya ia berpikir bahwa Praha ingin memacarinya, Samara tidak dapat membaca pikiran laki-laki itu. Tadi adalah cara paling buruk untuk mengajak berkenalan. Samara mungkin tidak seluas Kahyang pergaulannya, tetapi ia cukup tahu membentak dan membuat lawan bicara ingin menangis bukan langkah yang tepat.

     "Aku nggak mau mengenal kamu." Samara menegaskan jawabannya, Praha menyambutnya dengan kerutan dahi lebih dalam. "Aku akan lari setiap kita ketemu, kamu nggak perlu khawatir."

     "Lo nggak ngerti!" Kala Samara pikir suara Praha tidak bisa naik lagi, laki-laki itu membuktikan sebaliknya. "Gue bilang, ketemu atau nggak, gue mikirin lo. I don't want to do that!"

     Makanan di mulut Samara kehilangan rasanya. Namun, ia memasukkan suapan baru juga. Di luar, langit sedang marah, hujan turun semakin deras. 

     "Bukan urusanku." Itu adalah balasan paling jahat yang bisa dipikirkan Samara. Ia berharap Praha akan mundur. Sayangnya, Praha adalah perwujudan kata janggal dalam hidup Samara. Ekspresi diamnya yang seperti menahan sakit, tubuh tegapnya yang seperti akan limbung, dan tatapan penuh tanyanya.

     "Sudah cukup jahat?" Giliran Samara yang meluncurkan tanya, sementara Praha mengepalkan tangan kuat-kuat. "Sekarang, lebih baik kamu pergi."

     "Why can't we just talk like a normal people?"

     Kepala Samara sakit lagi hanya dengan mengingatnya.

     "Kamu yang lebih dulu menaikkan suara." Samara berbalik lelah, sebelum tangannya ditahan lagi. "Lepas!"

     "Emang apa susahnya?"

     Samara menarik tangannya dengan sekali sentak, begitu pun Praha yang melepas tangannya tanpa aba-aba. Samara terhuyung dan jatuh, terduduk di koridor apartemen seperti barang tercampakkan. Makanannya hampir keluar ke mana-mana.

     Praha berdecak, mengeluarkan geraman kesal dan menarik Samara kembali untuk berdiri. "Kasih gue nomor lo."

     "Nggak."

     "Kasih. Gue. Nomor. Lo. Atau—"

     "Atau apa?"

     "Gue akan mencari lo terus."

     Tangan Samara kebas ketika tamparan itu mendarat di pipi Praha, membuatnya memelotot tak percaya.

     Dada Samara naik turun, oleh kata-kata tertahan dan keterkejutan yang sama dengan yang terpancar lewat sorot Praha.

     Samara menampar laki-laki di depannya ini. Tidak pernah satu kali pun Samara terpikir untuk melakukan kekerasan fisik dalam hidupnya.

     Namun, satu kalimat lolos dari bibirnya. "You scare me."

     Di dalam apartemennya, sementara rintik hujan berisik meninju-ninju kaca jendela, Samara berteriak tertahan. Ia merasakan setiap emosi, walau enggan mengenali dan menamainya.

     Akan tetapi, kini ia takut.

     Ponselnya bergetar menunjukkan pesan dari ayahnya. Dengan tangannya yang bergetar hebat, Samara mematikan benda pipih itu.

     Ia semakin takut.

***

Prince Kendic, a writer with crown.

Instagram & TikTok: @princekendic

ObsesiWhere stories live. Discover now