| 13 |

358 57 9
                                    

Kalimat ayah adalah cinta pertama bagi seorang anak perempuan adalah omong kosong paling besar bagi Samara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalimat ayah adalah cinta pertama bagi seorang anak perempuan adalah omong kosong paling besar bagi Samara.

Di kantin departemen manajemen yang besar dan selalu berisik, ia duduk di kursi paling pojok. Seharusnya di depannya ada Kahyang, tetapi perempuan itu tertahan di dekat kulkas minuman bersama Sugi sejak lima menit yang lalu. Entah apa pembicaraan mereka, sepertinya seru. Mereka seperti berada dalam dunia sendiri bila sudah berdua.

Walaupun belum masuknya masa-masa magang resmi sesuai jadwal jurusannya yang dijadwalkan pada semester enam, Samara mengambil pekerjaan-pekerjaan freelance dari beberapa penerbit buku. Kebanyakan berupa marketing promosi buku terbitan mereka. Cari-cari pengalaman saja, juga biar portofolionya nanti saat lulus tidak kosong-kosong amat.

Samara menggulir layar, lupa apa judul buku yang diangkat dari utas sosial media terkenal. Ia sudah membaca sinopsis lengkapnya, memutar bola mata saat membaca tagline ceritanya--Ayah adalah cinta pertama setiap anak perempuan, dan mencatat beberapa ide pemasaran usai menyelesaikan daftar tokoh dan ciri-ciri mereka.

Sejujurnya, Samara merasa kebingungan untuk membuat poin soal menonjolkan tokoh perempuan di buku ini. Walau tema utamanya adalah hubungan ayah dan anak perempuan, tokoh utama gadis SMA itu tidak punya ciri khas yang menonjol. Segala keunikan malah dimiliki tokoh utama laki-laki, lawan jenis gadis itu. Seakan-akan si penulis lupa tokoh perempuan perlu dibuat sedemikian rupa dan terlalu fokus pada male lead hanya karena pembaca ceritanya kebanyakan perempuan.

Kadang-kadang dalam pekerjaan seperti ini, ia tidak perlu realistis. Kebanyakan malah melebih-lebihkan, biar menarik perhatian. Samar menulis bahwa kisah antar anggota keluarga ini bisa menjangkau semua pembaca karena siapa saja bisa terhubung pada inti ceritanya, padahal Samara tidak. Seorang ayah bukan pahlawan untuknya.

Tokoh laki-laki tampan yang jatuh cinta kepadanya, selalu ada, menerima segala kekurangan, sempurna bagai dewa Yunani dan tetek bengek remeh lainnya juga tidak ada. Namun, ditulisnya juga bahwa Sean, nama tokoh laki-laki itu adalah laki-laki idaman dan bisa membuat semua orang jatuh cinta.

Kesempurnaan itu menyeramkan karena tak pernah ada, cuma bayangan muluk-muluk manusia saja.

"Eh sorry, tadi diajak ngobrol Sugi." Kahyang duduk kembali di depannya, kali ini mencopot ikat rambut yang semula melilit helai-helai indah itu.

"Nggak apa-apa." Balasan itu diucapkan tanpa emosi.

"Oh ya, katanya kemarin lo semeja sama Praha?" Kahyang memang tak suka basa-basi.

Samara menatapnya sekilas, lalu membuka pesan dengan editor buku yang sedang ia susun materi promosinya ini. "Iya. Hujan. Dia neduh juga."

"Dia naksir lo, ya?"

Samara menyipit. "Jangan aneh-aneh. Lagian, kamu tahu dari mana soal dia semeja itu?"

"Sugi." Kahyang meminum teh tawarnya. "Mereka kan, berteman. Praha yang cerita."

"Nggak ada yang istimewa dengan duduk satu meja di kantin, kok."

"Oke." Kahyang mengibaskan rambut. "Let's see."

"Apa?" Samara agak keki. Banyak hal soal Praha mengingatkannya pada Ayah.

Tubuhnya yang tinggi besar, derap kakinya nyaris tak bersuara, dan beberapa hal yang tak mungkin Samara sebutkan satu per satu.

"Nggak ada yang tahu, 'kan?"

Samara tidak merespons.

Kala Samara tengah menyusun poin terakhir untuk menjelaskan bahwa merchandise melimpah buku ini hanya bisa didapat pada periode pre order pertama, Sugi bergabung di meja mereka.

"Praha nanyain lo, Samara."

"Kan," seru Kahyang, lebih cepat dari setiap respons yang hendak Samara tunjukkan. Kerutan kening, mengerjap tak percaya, semuanya kalah cepat.

"Nanyain apa?"

"Lo hari ini ke kampus atau nggak, gue bilang nggak tahu. Well, dia nggak secara eksplisit tanya seperti itu. Dia nanya gue bakal ketemu Kahyang atau nggak, tapi Praha 'kan, nggak mungkin nanyain Kahyang. Mereka nggak saling kenal."

"Kami juga nggak saling kenal." Nada Samara kering, bercampur heran yang masih tersisa.

"Dia ingin mengenal lo, gue rasa," kata Sugi tanpa tedeng aling-aling.

Samara diam saja, Praha memang pernah mengatakan itu. Namun, cara dia menyusun kalimat dan tatapan tajamnya itu terarah ke Samar menimbulkan arti yang sama sekali berbeda.

Samara membaca ulang berkas berisi seluruh materi promosi buku sebelum dikirim via email. Tidak ada yang kurang, tanpa salah pengetikan, dan enak dibaca karena sudah dikelompokkan sesuai tanggal dan temanya. Jadi, Samara mengirim email itu dan mengonfirmasi pengiriman via pesan. Sudah diterima, jadi untuk hari ini pekerjaannya selesai. Ia tinggal menunggu feedback bila si penulis dan penerbitnya ada ide lain atau menginginkan perubahan.

"Oh, hai." Kahyang menyapa seseorang, biasanya temannya yang tak Samara kenal dekat. Sehingga untuk beberapa saat, ia tidak berminat mengangkat kepala. Si penulis punya ide baru promosi yang agak rumit dan Samara mesti mencernanya karena ia tidak mengerti semua istilah fandom idol Korea Selatan.

"Hai." Sapaan itu untuk Samara.

Samara mengernyit, menoleh dan mendapati Praha duduk di sebelahnya. Rasanya, laki-laki itu kelihatan semakin pucat setiap kali mereka bertemu. Bibirnya kering, rambutnya agak basah, entah hujan-hujanan atau baru mandi. Namun, dia wangi sekali. Wangi kayu manis sekaligus musk.

Mau tak mau Samara membuka mulutnya juga. "Hai."

Praha sepertinya menyadari tatapan Samara sempat tertuju pada bibirnya. Maka sekejap kemudian, dia sudah mengeluarkan sesuatu dari saku mantel putih gading yang dia kenakan. Sebuah pelembap bibir.

"Pemberian lo dulu," ucapnya.

Samara tidak tahu harus membalas apa, jadi dia berdeham.

Saat menatap ke seberang pun, pada Kahyang dan Sugi, keduanya diam seribu bahasa.

Pemberian lo dulu. Samara kira Praha sudah membuangnya, mengingat dia begitu defensif hanya karena diberi pelembap bibir secara cuma-cuma.

Pemberian lo dulu. Samara kira Praha sudah lupa.

Samara niatnya hanya mencuri-curi pandang, tetapi kala ia melihat ke arah Praha, ada satu hal pada mata laki-laki itu yang terasa mengganggunya.

Awalnya ada kesakitan pada netranya, bercampur harapan dan pertanyaan. Samara tidak tahu mengapa, ia bukan pembaca pikiran. Akan tetapi, ketika Samara menoleh, kelegaan meliputi mata cokelat kopi Praha.

Mereka saling menatap sampai keduanya sama-sama memalingkan muka.

***

In a break time in my office so I tried to write. Enjoy.

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram & TikTok: @princekendic

ObsesiWhere stories live. Discover now