| 14 |

622 59 23
                                    

Samara sedang tidak ingin diajak bicara, jadi dia pura-pura mengerjakan pekerjaan menyusun materi promosinya lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Samara sedang tidak ingin diajak bicara, jadi dia pura-pura mengerjakan pekerjaan menyusun materi promosinya lagi.

Tidak ada yang perlu ditambahkan, Samara mengganti font dan ukuran tulisannya, lalu kembali ke pengaturan semula. Benar-benar tak ada perbedaan signifikan. Ia sempat berpikir untuk menuangkannya ke dalam bentuk slide presentasi, tetapi Kahyang melontarkan pertanyaan ke arahnya.

"Samara, ada kenalan gue yang nyari asisten social media specialist. Masih mahasiswa pun boleh daftar, kira-kira lo tertarik nggak?"

Samara mendongak, mencoba mengabaikan tatapan Praha ke arahnya. Sugi menghadap ke arah lain, tengah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

"Kok ditawarin ke aku? Kamu nggak nyoba?"

Kahyang menggeleng. "Gue mau rehat dulu, Papi juga udah ngajak gue belajar lebih serius sistem usaha dia. Lo 'kan, sekarang bantu yang penerbit itu, siapa tahu mau ambil yang ini. Part time dan nggak nine to five, kok. Soalnya jadi asisten aja, setahu gue sih bisa daring kerjanya. Asal cepat merespons aja."

"Ada requirements atau dokumennya nggak? Kamu juga belum sebut ini perusahaan apa, by the way."

"Oh iya, lupa. Brand kecantikan. Tadinya fokus di body care, tapi sekarang lagi mau ekspansi ke skincare. That's why mereka perlu hire asisten, karena baru dan biar lebih keurus. Dokumen persyaratan dan terms and condition-nya gue kirim lewat email, ya."

Samara mengangguk tanpa sadar, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Ia hampir lupa Praha ada di sana sampai suaranya menyapa telinga Samara.

"Lo ambil part time?"

Mata bulat Samara mengerjap, kini mereka saling memandang lagi. "Iya," jawabnya singkat. Bingung juga harus merespons seperti apa, ia tidak tahu apakah Praha tengah berusaha berbasa-basi saja atau memang ingin tahu.

"Kenapa?"

Nada bertanyanya aneh sekali, itu yang pertama Samara pikirkan. Tidak seperti cara bertanya teman-temannya yang mengharapkan jawaban seperti ia sudah ambil part time atau magang awal-awal agar lebih banyak pengalaman.

"Kenapa?" Samara membalik pertanyaan itu.

"Iya, kenapa?"

Barangkali untuk menyibukkan dirinya sendiri. Agar tidak memikirkan senyap dan ruang-ruang sepi di seluruh tempat yang pernah Samara kunjungi, agar ia melupakan ayahnya dan menerima kekosongan dengan berdiri sendiri, agar ia tidak kepikiran melompat dari balkon apartemennya setiap hari.

"Buat mengisi waktu. Aku nggak ikut kegiatan apa-apa di kampus." Begitulah kalimat yang akhirnya keluar dari bibir penuh Samara.

"I see." Praha berdeham.

Diam lagi. Samara membuka email dari Kahyang dan berusaha melupakan percakapan tadi. Untungnya, Sugi sudah selesai dengan teleponnya.

"Kayaknya lo kelas bentar lagi," katanya pada Praha. "Gue juga mau ketemu orang dekanat."

Praha berdiri pelan-pelan, seperti tidak rela. Wajahnya yang memang murung itu semakin gelap.

"Kami duluan, ya." Sugi lebih dulu mengacak rambut Kahyang, mendapat serangkaian protes. Praha hanya mengangguk tak kentara, lalu mengikuti langkah Sugi.

"He is definitely into you." Kahyang berkomentar setelah sekian lama.

"Itu lagi bahasannya?" Samara mendesah tak berminat.

"Dia nggak akan ngeliatin sebegitunya kalau nggak naksir." Kahyang mulai dengan teori-teorinya. "Dia ngeliatin lo sedalam dan selama itu."

"Nothing special about that."

Kahyang menggerak-gerakkan tangan, seperti tengah memutar sesuatu. Dia selalu begitu kalau kesulitan menjelaskan sesuatu. "Gue nggak tahu kata yang tepat buat ngegambarinnya gimana. Dia liat lo kayak seseorang lagi menyelesaikan suatu puzzle."

"Dia penasaran?" tebak Samara tanpa antusiasme berarti.

"Iya, itu."

"Nanti juga pergi kalau bosan." Samara benar-benar tidak tertarik soal didekati pria atau menjalin hubungan. "Ada masanya, sebentar lagi pindah ke yang lain. Biasanya 'kan, laki-laki begitu."

"Well, gue nggak bisa menjamin soal itu." Kahyang akhirnya tidak terdengar setegas tadi.

"Satu hal yang pasti, aku nggak tertarik naksir dan ditaksir siapa-siapa. Jadi kalau kamu ada niatan atau keinginan jadi mak comblang dadakan, mendingan kubilang dari sekarang kalau usaha kamu akan sia-sia."

"Sorry."

"Nggak apa-apa," jawab Samara tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop-nya. "Makasih soal tawaran ini, nanti kupikir-pikir lagi."

Hidup Samara sudah cukup rumit, ia tak memerlukan kehadiran satu orang laki-laki lain untuk membuat dunianya makin membingungkan dan bikin jungkir balik.

***

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram & TikTok: @princekendic

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang