| 11 |

524 62 12
                                    

Hari itu kelewat panas dan Samara tahu hujan akan turun dengan deras nanti

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Hari itu kelewat panas dan Samara tahu hujan akan turun dengan deras nanti.

Samara dan Kahyang duduk di salah bangku kayu di taman kampus. Kahyang menanggalkan outer rajut ungunya, meninggalkan kaus tipis yang sebenarnya ingin dia lepas juga. Di pangkuannya ada iPad dan Kahyang kabur ke sini, dengan alasan pekerjaannya di hari terakhir orientasi kampus ini tinggal memastikan postingan pasca ospek tinggal diunggah tanpa revisi berarti.

"Mau, dong." Kahyang berkata sambil melirik kotak bekal Samara, isinya potongan-potongan stroberi dengan sedikit gula halus.

Samara memasukkan satu ke mulut sebelum menyodorkan makanannya itu. "Kayaknya kamu mau disamperin." Kalimat itu keluar setelah melihat sosok jangkung dengan almamater kebanggaan mereka mendekat. Langkahnya panjang-panjang.

"Siapa?" Kahyang menaikkan sebelah alis, sebelum akhirnya menoleh dan melihat Sugi tinggal beberapa langkah lagi mencapai mereka. "Oh. Kenapa?"

Sugi menyunggingkan senyumnya yang terkenal itu ke arah Samara, tetapi sekejap kemudian sudah fokus pada Kahyang lagi. "Semua panitia diharap kumpul di aula, biar nanti pas closing langsung bisa perpisahan sama maba dan nggak bikin ngaret evaluasi terakhir."

Seraya membereskan barang-barangnya dengan menjejalkannya sembarangan ke tas, Kahyang berkata, "Mau di sini aja?" Pertanyaan itu ditujukan kepada Samara.

"Iya." Samara menjawab singkat. Selain karena ia bukan bagian dari panitia orientasi mahasiswa baru ini, Samara juga tak mau mengganggu waktu Kahyang dan Sugi berdua yang singkat itu.

Samara tidak lugu ataupun buta. Lagi pula, sepertinya semua orang juga tahu ada apa-apa antara Kahyang dan Sugi. Memang biasanya begitu, yang terlibat langsung tak pernah menyadari. Samara tahu Kahyang dan Sugi beberapa kali tidur bersama, yang mana bukan urusannya, sebenarnya. Kahyang sudah cukup umur untuk dikomentari soal kehidupannya dalam sisi itu.

"Oke. Kami duluan ya, Samara." Sugi pamit dan mengangguk ke arahnya, Samara mengangguk juga meski tanpa suara.

Apa yang akan ia lakukan di sisa hari ini? Pertama-tama, Samara mesti mengumpulkan artikel yang dicetak lewat penanggung jawab mata kuliahnya. Dosennya yang ini masih kolot, padahal buat Samara tugas begini lebih baik dikirim via e-mail saja.

Jadi Samara melenggang di koridor gedung dekanat. Gedung itu punya bau khas, bau kopi. Samara menghirup bau itu dan melongok ke dalam ruangan dosen-dosen program studinya. Ia segera mendapati penanggung jawab matkulnya itu tengah menyortir tugas-tugas di depan meja yang kosong.

"Belum telat, 'kan?" tanya Samara basa-basi.

Steven, si putih berisi dengan kacamata tanpa gagang itu menggeleng. "Belum. Makasih, ya."

"Makasih juga."

Sebelum Samara berbalik, Pak Hartanto, dosen kolot itu datang dan mulai membanjiri mereka dengan kalimat yang tidak pernah tetap topiknya. Samara terpaksa harus mendengarkan, diam di sana untuk lima belas menit ke depan dan segera pamit begitu dosen kurus kering itu mengambil jeda minum air.

ObsesiOnde histórias criam vida. Descubra agora