| 09 |

571 89 9
                                    


Sudah hampir setengah sepuluh malam dan Praha duduk di salah satu kursi penumpang kereta cepat dalam kota, dengan tangan dimasukkan ke saku long coat cokelat tuanya. Ia menjatuhkan pandangan ke pemandangan-pemandangan kabur di luar jendela, sementara titik-titik lampu berlarian di sana.

     Wajah-wajah lelah pada gerbong itu saling memalingkan muka, sementara Praha beralih memandangi sepatu kulitnya. Sepatu itu juga jadi pusat perhatiannya dalam pertemuan dengan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif yang undangannya datang beberapa hari lalu, pertemuan titipan ibunya. Wanita itu terbang dari Paris hanya untuk pertemuan itu. Dia menjemput Praha, tetapi Praha terlalu malas untuk pulang bersamanya. Menolak mentah-mentah. Tak ada rindu, meski mereka lama tak bertemu. Sosoknya cuma status.

     Bukan hanya titipan ibunya, Praha tahu. Itu juga titipan ayahnya. Sang mantan menteri negeri ini. Koneksi, orang dalam, privilege, apa pun istilahnya. Praha tidak perlu khawatir tentang karirnya nanti.

     Masa depannya cerah, Praha berpikir sinis.

     Stasiun kota utama itu terletak dengan tamja atau taman hujan, Praha turun di sana bersama beberapa penumpang lainnya. Seharusnya, ia turun di dunia stasiun lagi, tetapi Praha ingin melihat air mancur taman hujan dan meresapi kesendiriannya. Juga sisa-sisa penyesalan tentang sikapnya kepada Samara.

     Di taman hujan nyaris tidak ada siapa-siapa. Orang-orang sudah terlalu lelah dengan hari, berbondong-bondong berlari ke rumah. Praha bisa saja begitu, tetapi tidak ada apa-apa di bangunan besar itu. Cuma tumpukan teh yang menunggu waktu untuk diseduh dan setelan-setelan bisu.

     "Mama ambil flight balik besok pagi. Jadi Mama pilih menginap di hotel saja."

     Praha nyaris membalas kalimat basa-basi ibunya, tidak ada hubungannya. Jarak rumah dengan bandara tidak sejauh itu. Mereka punya sopir, tinggal pilih mobil. Pekerja-pekerja rumah tangga akan menyediakan seluruh keperluan ibunya dalam waktu singkat. Namun, dia memilih mengambil jarak, maka Praha melakukan hal yang sama. Urusan ini tidak menguntungkan ibunya, dan itulah satu-satunya alasan mengapa dia tak mau repot-repot tinggal di rumah yang ditinggalkannya untuk Praha.

     "Terserah." Balasan itu Praha suarakan, sambil berbalik hendak pulang. Sang ibu memanggilnya.

     "Kapan kali terakhir kamu bertemu ayahmu?"

     Praha memandangnya tanpa emosi. "Tidak ingat, seperti bagaimana pikirannya tentang eksistensiku."

     "Pertemuan ini hasil kerja kerasnya, Praha."

     "Oh, ya. Aku harus sangat bersyukur."

     Dan Praha meninggalkan pertemuan itu.

     Suara monoton air sedikit membuatnya lega. Praha berdiri di depan air mancur dan mengabaikan angin dingin yang mulai meniup ke arahnya kuat-kuat.

     Kapan kali terakhir ia menemui ayahnya?

     Praha tidak yakin. Entah saat ia masuk rumah sakit karena tifus dan ayahnya kebetulan berada di area tersebut, lalu datang karena pada tidurnya Praha memanggil-manggil ayah dan ibunya.

     Omong-omong, itu saat Praha masih SMP.

     Sekarang, Praha sudah tidak peduli lagi dengan kehadiran kedua orang tuanya. Setidaknya, itu yang diyakininya.

     Si bodoh. Praha menamai masa remajanya. Ia pernah mencoba segala cara agar sakit lagi, berharap ayahnya menjenguk kembali. Dia tidak datang pada masa-masa sakit berikutnya. Ibunya pun tidak.

     Padahal Praha telah melakukan apa pun untuk menarik perhatian mereka. Tidak berhasil.

     Pukul sepuluh lebih beberapa menit, itu waktu yang ditunjukkan ponselnya. Praha merasa angin malam dan percikan-percikan air di hadapannya cukup untuk hari ini. Tanpa pertimbangan apa-apa, Praha menelepon Sugi. Perlu waktu cukup lama sampai teleponnya diangkat, dengan suara parau pula.

ObsesiWhere stories live. Discover now