| 05 |

932 119 28
                                    

Praha tidak bisa menahan diri untuk mengedarkan pandangan dan melihat setiap sudut apartemen Arum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Praha tidak bisa menahan diri untuk mengedarkan pandangan dan melihat setiap sudut apartemen Arum.

     Apartemen ini penuh dengan benda-benda tak penting. Kalau memang mau memajang benda sebanyak ini, lakukan dengan benar. Piring-piring antik di rak kayu cokelat tua bersebelahan dengan buku-buku yang berlainan warnanya, jadi tidak selaras. Gramofon keemasan juga diletakkan di samping kotak tisu berlapis kain merah muda.

     Praha mengernyit dan segera mengalihkan pandangan. Uang tidak selalu membeli kelas dan keterampilan.

     "Mau minum apa?"

     Seharusnya dengan suara selembut itu, rok hitam sepaha, dan kerlingan mata, Praha sudah mendekat dan mendaratkan tangan di bahu Arum. Namun, api yang biasanya berkobar untuk berlanjut ke sentuhan-sentuhan itu padam begitu saja.

     Praha ingin pulang.

     "Apa aja." Praha mendudukkan dirinya di sofa abu-abu, menyingkirkan selimut tipis biru muda yang lagi-lagi cuma jadi pajangan.

     "Oke."

     Praha melipat tangan di depan dada, sementara Arum bergerak ke dapur yang cuma dipisah oleh Byobu, partisi ruangan lipat khas Jepang dengan lukisan artistik setinggi kepala orang dewasa. Lagi, kelihatan salah tempat.

     Biasanya Praha tidak peduli dengan selera orang lain dalam menata kediaman mereka, bagaimana hotel meletakkan benda-benda seperlunya, atau pilihan pakaian orang lain. Buat Praha, bercinta kadang-kadang cuma jadi distraksi. Ia tidak benar-benar ingin memenuhi nalurinya.

     Praha mendengus dan ia mempertimbangkan diri untuk pulang saja. Namun, lalu apa yang mesti ia lakukan untuk mengalihkan perhatiannya hari ini?

     Perempuan sialan itu. Mengapa juga Praha harus memikirkan gadis aneh bernama Samara?

     Padahal, ia bisa saja memfokuskan diri pada Arum. Usai mengambil cokelat stik dari saku belakang rok perempuan itu, yang tinggal ia lakukan adalah menikmati malamnya.

     Ini seperti rahasia umum di area kampus, bukan cuma kampus Praha saja. Bila seseorang meletakkan cokelat cokelat stik di saku belakang, seseorang bisa mengambil cokelat tersebut yang sudah ditempelkan nomor dan bisa membayarnya buat senang-senang.

     "Nggak keberatan sama latte? Atau mau—"

     "Gue pulang aja." Praha memotong pertanyaan Arum begitu saja.

     "Lho, kenapa?"

     Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. "Lo tetap bakal gue bayar." 

     Praha mencapai koridor kembali hanya dengan beberapa langkah, napasnya menderu hebat bersamaan dengan tertutupnya pintu di belakangnya.

     Apa yang akan ia lakukan sekarang? Menenggak obat tidur dan melempar tubuhnya untuk terlelap dan mungkin saja terlambat bangun besok, keliling kota tanpa tujuan jelas, menonton di bioskop dengan satu kotak pop corn. Praha tidak tahu mesti memilih yang mana.

     Praha tidak punya teman yang bisa ia datangi secara mendadak dan datang dengan perangainya yang meledak-ledak ini, Sugi pasti masih di kampus—sibuk dengan kepanitiaan ini dan organisasi itu.

     Kaki kanan Praha bergerak tidak sabaran, mengetuk lantai berulang-ulang di depan pintu lift yang tak kunjung terbuka. Dalam hati, ia menyebut satu per satu kata umpatan.

     Apa yang bisa ia lakukan agar berhenti mengulang adegan pelembap bibir yang diulurkan itu?

     Apakah perempuan itu juga memikirkannya seperti Praha memikirkan Samara?

     Masalahnya, bayangan Samara dalam Praha bukan sesuatu yang membuat dadanya berdegup senang atau puluhan kupu-kupu terbang dari perutnya.

     Pintu terbuka dan Praha merasa terlempar ke dalam sebuah drama atau sinema televisi pasaran. Perempuan itu ada di dalam lift, membelalak, mengerutkan kening, menelan ludah, dan berdeham agak keras. Praha tidak menyingkir, tubuhnya yang tinggi dan tegap menghalangi Samara agar bisa keluar dengan lancar, perempuan itu sampai perlu memiringkan tubuhnya agar tidak bertabrakan bahu.

     Akan tetapi, Praha menahan tangan Samara dan dunia terasa lebih asing dari kapan pun.

     "Apa?" Samara meninggikan suara.

     "Berhenti muncul di mana-mana."

     Samara menarik tangannya dengan sekali sentakan dan melepaskan pegangan Praha padanya. "Aku tinggal di sini, kalau itu belum cukup jelas untuk kamu. Dunia bukan milik kamu, Praha."

     "Gue nggak bilang dunia ini milik gue."

     "Tapi kamu bertingkah seperti itu. Kalau kamu nggak mau lihat aku sebagai orang baik, biar kukatakan satu hal." Samara memegang bagian tangan yang dicengkeram Praha sebelumnya dan menghela napas. "Aku nggak peduli mau dianggap kayak gimana, karena aku juga nggak butuh orang aneh kayak kamu."

     Orang aneh, katanya?

     "Seharusnya kamu tetap di dalam apartemen Arum aja, senang-senang. Dipikir aku ada bahagianya ketemu kamu? Nggak sama sekali."

     "Jadi Nona baik hati mau belajar jadi jahat?"

     "Kalau itu bisa menjauhkan kamu yang nggak yakin bisa baik hati sedikit saja, nggak keberatan."

     "Nantangin?"

     "Nggak. Pergi aja sana, sebelum kupanggil keamanan."

     "Atas dasar apa? Gue juga nggak mau lama-lama ngomong sama lo."

     "Seenggaknya aku nggak nahan tangan orang ketika mulut bilang benci dengan orang itu."

     Rahang Praha mengeras. "Gue nggak bisa berhenti mikirin lo dan itu bikin gue kesal. Gue nggak mau berpikir tentang lo."

     "Salahku?" Samara mengangkat dagu. Walau dia penuh dengan konfrontasi dan amarah yang meledak-ledak, matanya siap menjatuhkan air mata.

     Praha tidak menemukan kata yang tepat untuk menjawab. "Lo yang bilang, bukan gue."

     Samara memejam cukup lama. "Oke. Apa yang bisa kulakukan biar kamu berhenti mengganggu?"

     "Gue nggak berusaha mengganggu lo."

     "Tapi aku merasa kamu mengganggu."

     "Itu bukan niatan gue." Praha melipat tangan di dada, mereka berdiri di depan lift, tanpa kelihatan berniat pindah. "Salah gue lo merasa terganggu?"

     Samara tampak berada di ujung usahanya untuk menahan tangis. "Apa yang bisa kulakukan biar kamu berhenti mengganggu?" ulangnya.

     Jujur, Praha pun tidak tahu.

     "Biarkan gue mengenal lo, biar tahu lo sama aja kayak manusia lainnya."

***

Menulis cerita dengan tokoh utama seperti Praha is such a challenging thing in my writing process, to be honest.

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram & TikTok: @princekendic

ObsesiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang