| 08 |

644 94 7
                                    

Dalam kamarnya yang hening, Praha dapat mendengar samar-samar musik dari ponselnya yang dipasang earphone, tetapi ia abaikan di tempat tidur. Praha menyibak tirai jendelanya, melihat halaman rumahnya diterpa hujan yang kian lebat. Lama-lama tangannya mencengkeram tirai itu.

     Ia bodoh sekali.

     Tamparan itu masih betah berada di pipi Praha. Sakitnya, keterkejutannya, terpaan rasa bersalah yang terlambat datang. Seharusnya Praha tidak membentak-bentak, tidak mengancam, tidak membuatnya takut. 

     Di dalam kepala, Praha mengulang kejadian dengan Samara. Ia penasaran dengan perempuan itu, dirinya coba menyimpulkan. Praha kesal, marah, ingin tertawa, semua berakar pada hal yang sama. Ia kebingungan.

     Orang baik hati itu aneh, cuma ada di film-film. Menghadapi seseorang yang terang-terangan membahas kebaikan di depan mukanya membuat Praha kalap melakukan setiap tindakan seperti ia tengah terancam.

     Rintik air yang jatuh menderu, sebanyak itu pula Praha mencerca dirinya sendiri dalam bisu. Tolol. Dungu.

     Tentu saja ia pernah ditampar sebelumnya. Oleh wanita-wanita menyebalkan yang meminta tetap tinggal di kamar hotel ketika Praha sudah menyuruh mereka pergi, oleh perempuan-perempuan yang menganggap hubungan mereka cukup dekat dan Praha menganggap mereka tak kasat mata.

     Kali ini berbeda. Jelas berbeda.

     Jari-jarinya dingin, sakit dan kaku. Selalu begitu. Praha berpindah ke ruangan walking closet yang berada tepat di sebelah kamar, hanya dipisahkan pintu geser. Dalam rumah besar ini, ia tinggal sendiri. Satu-satunya anggota keluarga yang ia anggap dan masih hidup, ibunya, tinggal di Paris. Perancang busana yang sudah keluar masuk acara-acara fashion bergengsi di Eropa dan Amerika Serikat.

     Hitam putih, warna itu mendominasi rumah ini. Praha duduk di kursi kotak empuk tanpa sandaran, menatap pantulan dirinya sendiri di salah satu cermin lemari yang menempel di sepanjang dinding. Ia merasa kian hari, wajahnya semakin pucat. Warna-warna berlari dari wajahnya. Bahkan bekas tamparan Samara tak lagi kelihatan. 

     Mungkin ini kutukan. Semua lari darinya.

     Akan tetapi, ibunya bilang lakukanlah semua cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Mengapa tak berhasil? Mengapa hasilnya salah?

     Ibunya bilang lakukan apa pun. Tak masalah asal tercapai dan tergapai. Dia berhasil mendapatkan ayah Praha dengan nasihat itu. Mengapa tak dapat Praha lakukan hal yang sama?

     Praha memasuki kamar mandi kamar yang terhubung lewat pintu walking closet yang lain. Ia ingin mandi air hangat, lalu pergi tidur dan menghindar dari semua tuduhan yang berteriak di kepala. Namun, tubuh Praha berendam pada bathub lebih lama dari yang ia perkirakan. 

     Kata demi kata yang telah dikeluarkannya diingat satu per satu. Tubuh Praha semakin merosot, sampai air berada di batas bibirnya. Siapa orang yang bisa mendengarkannya tanpa mengernyitkan dahi? Sugi menepis segala kalimat-kalimat kasar Praha karena dia sudah terbiasa berhadapan dengan manusia, Sugi terlalu sibuk untuk memedulikan kata-kata Praha. 

     Praha mengancingkan kancing piama hitamnya dengan lambat. Tubuhnya rebah dan tertutup selimut tebal sampai ke dada.

     "I messed up again."

     Kalimat yang sama untuk ribuan hasil emosinya yang meluap-luap. Seperti ketika ia masih di sekolah dasar, memukul kepala temannya dengan raket tenis karena anak itu mengatakan Praha tak punya ayah. Seperti ketika ia memecahkan guci-guci ibunya, gara-gara wanita itu menolak menghadiri acara kelulusan sekolah menengah pertamanya. Seperti ketika ia nyaris membakar semua pakaian salah satu pembantunya yang telah mencuri barang-barangnya.

     "Or it's just me?" Praha menyamping, tatapannya menuju lampu tidur di nakas. "Menurut lo gimana?" tanyanya pada benda-benda bisu di kamarnya.

     "Hukuman apa yang akan gue dapatkan setelah membuat Samara takut?"

     Mungkin Praha akan selamanya berada dalam lingkaran sepi. Itu hukumannya.

     "Apa lagi yang akan direnggut dari gue?"

     Tak ada yang mendengarkan.

***

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram & TikTok: @princekendic

ObsesiWhere stories live. Discover now