| 03 |

1.1K 135 19
                                    

 "Lo lagi di mana, deh? Kok agak berisik?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo lagi di mana, deh? Kok agak berisik?"

     Praha menggigit wafer cokelatnya, sementara tangan kirinya menempelkan ponsel ke telinga. Kemeja putih lengan panjangnya yang kebesaran agak tertarik ke belakang gara-gara ditiup angin.

     "Tamja."

     Area yang jadi pusat kota ini berukuran cukup besar, meski danau yang ada dalam taman ini berukuran lebih dari setengahnya. Taman hujan, namanya. Kota ini mendapatkan hujan lebih sering dari kota-kota lainnya. Mungkin akhir bulan ini mereka akan mendapatkan rintik pertama.

     Di depan danau dan pohon-pohon besar yang daunnya lebat dan berisik, ada sebuah air mancur yang tak bisa dibilang kecil. Praha berdiri di salah satu sisi, memandangi air yang terus berjatuhan, juga gerak air di permukaan. Selain air mancur, taman hujan punya area berlari dan sepeda, juga halaman rumput untuk duduk-duduk walau lebih sering dibuat basah.

     "Ngapain?" Sugi di seberang sepertinya tengah memasuki ruangan, suara pintu berderit menyusul langkahnya.

     "Nyantai aja. Lo ngapain telepon?"

     "Ibu lo tanya apakah undangan buat makan malam bareng kementrian nanti udah lo terima. Lo nggak jawab apa-apa di chat-nya."

     "Udah gue baca, centang duanya berubah jadi biru."

     "Kenapa pesan ibu lo nggak dibalas?"

     "Malas."

     Praha tak suka perangai ibunya, wanita setengah baya yang suka berlebihan itu. Seakan-akan dalam hidupnya cuma ada satu perintah: jadilah dramatis pada setiap kesempatan. Kalau dekat-dekat dengannya, Praha sering memutar bola mata.

     "Lain kali dibalas."

     Praha mematikan telepon, ekspresinya tidak berubah. Satu-satunya yang konstan berubah darinya adalah dahi yang mengerut dan rileks kembali. Matanya menatap tak bergairah lagi pada air mancur yang tak pernah berhenti berfungsi sejak dibangun jauh bertahun-tahun lalu.

     Sejak kecil, Praha sering disebut sebagai kotak merah. Ia dipenuhi amarah-amarah pada banyak hal. Fakta bahwa ia masih hidup ketika ia terbangun di pagi hari, absennya posisi seorang ayah dalam keluarga kecilnya, dan orang-orang yang berusaha jadi seputih tokoh utama sinetron televisi.

     Termasuk gadis berpipi bulat, bibir kering, dan macam orang sakit bernama Samara.

     Dia itu sebenarnya apa? Badan amal? Praha tak butuh belas kasihan hanya gara-gara mereka sama-sama punya bibir yang tengah kering. Hal sesepele itu. Praha tak suka cara Samara berkata seperti menyalahkan dirinya karena orang-orang di sekitar Praha tidak sebaik dia.

     Wafer cokelat itu sudah Praha habiskan. Kemasannya ia masukkan sembarang ke saku, tak peduli nanti meninggalkan noda atau tidak. Bukan ia yang akan mencuci pakaian-pakaiannya.

     Seharusnya sore ini diisi suara-suara yang menenangkan buatnya. Taman hujan seperti area yang terisolir dari mana-mana, padahal letaknya ada di tengah kota. Tempat ini menawarkan ketenangan buat mengakhiri kepenatan sejenak.

     Suara jepretan kamera bukan salah satunya.

     Praha mendengus, tidak menyembunyikan kejengkelannya. Matanya mendelik, yang ia temui adalah perempuan yang sudah seharian ini ia maki-maki dalam hati.

     Samara mengambil gambar air mancur sekali lagi dan suara jepretan nyaring itu membuat Praha langsung membuka mulutnya. "Nggak bisa di-silent ponsel lo?"

     Samara menoleh, melihat Praha dari kepala ke kaki, lalu ke atas lagi. Dia tidak membalas, tetapi bergeser sebanyak tiga langkah menjauh dari Praha.

     "Kenapa pindah kayak jijik gitu?"

     Praha tersinggung.

     "Kamu nggak ingat percakapan kita terakhir? Bersikaplah seperti kita nggak pernah ketemu."

     "Tapi nggak perlu bertingkah seperti gue ini wabah penyakit!"

     Samara menyipit, dia kembali memotret dan suara jepretan kamera dari ponselnya itu Praha dengar sampai tiga kali lagi.

     "Ngapain nyalain suara kamera begitu di tempat umum, sih? Berisik!"

     "Ponselku bukan urusan kamu."

     Praha rasanya akan meledak sebentar lagi.

     "Rusak sore gue karena ketemu lo di sini."

     "Aku juga nggak mau ketemu kamu lagi."

     Setelah mengatakan kalimat itu, Samara meninggalkan Praha dan mencapai sisi barat air mancur.

     Praha yang berada di sisi utara mendengus, masih penuh api dalam dadanya. "Kurang jauh!" serunya.

     "Kalau di bagian selatan, nanti aku lihat kamu. Nggak, terima kasih."

     Itu masuk akal dan Praha ingin melemparkan dirinya ke danau saat ini juga. 

     Seharusnya ia meninggalkan tempat ini, karena sudah tidak menenangkan lagi. Namun, Praha terpaku melihat kelakuan Samara yang mengabadikan banyak hal dengan kamera ponselnya.

     Manusia itu asing dan tak pernah bisa Praha pahami.

***

Prince Kendic, a writer with crown.
Instagram/TikTok: @princekendic

ObsesiWhere stories live. Discover now