Part 10 100 days of babysitter

210 30 0
                                    

    Renata menatap megah kamar yang sudah di persiapkan para asisten di rumah Arjuna, kamar itu begitu besar dengan ruang wadrope sendiri. Barang-barangnya pun sudah di susun rapi ke dalam lemari dan meja. Renata duduk di atas kasur yang lembut dan empuk.

    “Kalo kaya gini, gue bisa betah tinggal di sini sampai kapan pun. Bener-bener kaya raya tuh si raja Firaun, pantes punya gedung segede gunung. Mana barang-barangnya mewah lagi, wah kalo di jual bisa buat beli sawah,” ucap Renata sambil memegang barang-barang mahal di kamarnya.

    “Permisi bu, apa ibu butuh sesuatu?” seorang ibu-ibu berpakaian asisten berdiri di depan kamar Renata.

    “Enggak ada, bi. Panggil aja mbak, saya masih muda kok.”

    “Mbak?”

    “Mbak itu, sama kaya mbok di sini.”

    “Ooh, baik mbak Renata. Kalo ada apa-apa, panggil saja lewat telepon di saluran enam. Saya permisi,” ucap bibi itu yang kemudian pergi dari kamar Rena.

    Renata kembali menatap kamar dengan takjub, dan baru saja dia ingin membaringkan tubuhnya di atas kasur, tiba-tiba Andreas masuk ke kamarnya dan ikut berbaring di atas kasur. Renata mendengus kesal dan meremas selimut dengan keras.

    “Aunty!” teriak Andreas di dekat kuping Renata.

    “Hem.”

    “Aunty seneng nggak tinggal di sini?” tanya Andreas dengan senyum yang lebar dan penuh antusias.

    “Kenapa?”

    “Pokoknya, sekarang aunty yang jagain Andreas, ke mana-mana.”

    “Apa? Maksud lo gue jadi baby sitter gitu?” Renata bangkit dari tidurnya.

    “Iya. Gantiin miss Sesil.”

    “Gue nggak mau.”

    “Ya udah kalo aunty nggak mau, nanti Reas pecat aunty dan bilang ke papa kalo aunty udah marahin Reas dan emang mau culik Reas,” Andreas bangkit dari tidurnya dan berdiri sambil menatap Renata dengan tajam.

    “Bisa-bisanya lo ya? Hah, bapak karo anak ora ana bedane, ngawe susah wae, iso edan aku nang kene,” umpat Renata menggunakan bahasa jawa.

    “Ngomong apa sih? Gimana aunty, mau enggak?” Andreas berdiri dan menatap Renata sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.

    “Lima hari aja?” ucap Renata.

    “Dua ratus hari.”

    “Sepuluh hari?”

    “Seratus lima puluh hari.”

    “Dua puluh hari!” Renta masih menawar.

    “Seratus hari, atau dua ratus hari? final!” ucapnya dengan serius.

    “Oke deal, seratus hari.”

    Renata menarik tangan Andreas dan berjabat tangan dengan wajah yang masih kesal. Sedangkan Andreas malah berjoget ria, dan tertawa di bawah penderitaan orang. Renata benar-benar tidak bisa berkutik, jika dia menolak permintaan Andreas maka dia akan kembali dirugikan. Pertama dia akan dipecat, kedua dia akan dilaporkan ke polisi lagi, ketiga dia akan di usir dari rumah ini dan akan menjadi gembel, dan keempat, dia akan masuk ke rumah sakit jiwa karena stres.

    "It's Not FINE!" ucap Renata dengan putus asa.

**InF**

    Di malam hari yang dingin, Renata terlihat berdiri di balkon ruang keluarga sambil menatap sekitar taman di depan rumah Arjuna. Kerlap-kerlip lampu yang terpasang di air mancur tampak menggoda dan cantik, siapapun arsitek rumah ini pasti dia sangat hebat.

    Di saat Renata tengah menikmati suasana malam pertamanya di rumah Arjuna, dari arah pintu gerbang dia melihat seseorang tengah berdiri sambil celingak-celinguk seperti mengintai, Renata terus memandang orang itu sampai seseorang datang dan kembali merecoki hidupnya.

    “Aunty! Ngapain di sini?” teriak Andreas.

    “Bisa nggak sih, lo kalo ngomong nggak usah teriak, bisa budek kuping gue,” ucap Renata dengan kesal.

    “Nggak bisa, Reas seneng soalnya aunty sekarang tinggal di sini.”

    “Gue di sini cuma sementara, sampai kontrakan gue selesai di bangun.”

    “Kontrakan itu apa?” tanya Andreas dengan bingung.

    “Oh iya, gue lupa, lo kan anaknya orang kaya, lo mana ngerti apa itu kontrakan. Kontrakan itu rumah sewa,” ucap Renata dengan menyindir, dia benar-benar sudah muak dengan Andreas.

    “Sewa itu apa?”

    “Hah, makasih, pertanyaan lo membuat gue sadar betapa miskinnya gue selama ini,” ucap Renata dengan dramatis seperti di senetron.

    “Aunty kok sedih? Aunty lapar?” tanya Andreas dengan mata yang berbinar dan wajah yang berubah menjadi polos.

    “Enggak. Gue lagi meratapi hidup gue yang berubah semenjak gue ke Bali dan ketemu lo sama bokap lo.”

    “Aunty nggak suka ya sama Reas?” tanya Andreas dengan sedih dan matanya kembali berkaca-kaca.

    Renata terdiam dan melihat Andreas yang kembali memperlihatkan sisi cengengnya. Renata menghela nafas dan mengusap wajahnya. Andreas memang cengeng dan sombong, tapi dia masih kecil, pasti dia seperti itu juga karena ayahnya yang tidak pernah mendidiknya. 

    Seharunya Arjuna memperlihatkan sisi positifnya pada Andreas agar di tiru, bukannya selalu bersikap dingin, sombong dan dominan. Andreas membutuhkan figur seseorang yang baik, supaya Andreas bisa menirunya.

    “Lo ngapain nangis?” Renata berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Andreas.

    “Reas sayang sama aunty Rena! Jangan benci Reas,” ucapnya sambil menangis.

    “Kenapa lo sayang sama gue? gue kan bukan siapa-siapa lo?”

    “Aunty, Aunty nggak kenal Reas, bukan siapa-siapa juga, tapi aunty udah peduli sama Reas waktu di pantai. Aunty minta Reas pulang biar nggak di bawa wewegombel, padahal kita baru bertemu.”

    Renata terdiam dan menatap Andreas yang menangis sambil mengusap matanya. Renata ikut dilema melihat anak kecil yang sudah kehilangan ibu sejak kecil, tidak di perdulikan oleh ayahnya, dan selalu merasa kesepian, Andreas anak yang baik, bahkan peringatannya waktu di pantai itu pun masih Andreas ingat.

    “Ya udah nggak usah nangis. Gue nggak benci kok sama lo.”

    “Kalo sama papa?” tanya Andreas yang membuat Renata menaikan satu alinya.

    “Nggak. Nggak salah, gue benci banget,” ucap Renata yang kemudian dilanjutkan oleh batinnya.

    Di saat aku dan Andreas tengah mengobrol di balkon lantai dua, dari arah gerbang ada mobil hitam yang berhenti. Gerbang terbuka secara otomastis dan mobil itu masuk, lalu terparkir di depan air mancur.

    Renata kembali berdiri dan melihat siapa pemilik mobil itu, ternyata dia adalah Arjuna Adi Candra, orang paling dingin dan kaku yang pernah Renata temui. Andreas segera berlari masuk ke rumah dan turun ke lantai satu untuk menemui papanya.

    Renata pun mengikuti Andrea, tapi dia hanya berjalan santai. Sesampainya di lantai satu, dia melihat Andreas yang diabaikan oleh Arjuna. Andreas berdiri di depan pintu dengan wajah yang sedikit murung, sedangkan Arjuna berjalan menuju lift.

    Arjuna benar-benar tega dengan anaknya sendiri. Darah dagingnya sendiri saja diabaikan, bagaimana dengan orang luar? Pantas Renata selalu mendapat perlakukan yang buruk.

    “Kalo nggak mau punya anak, nggak usah nikah,” ucap Renata dengan keras sambil melirik ke arah lift.

    Arjuna napaknya mendengar ucapan Renata, tapi pintu sudah terlebih dahulu tertutup dan membawanya ke lantai tiga. Renata mendenkati Andreas dan mengantarnya ke kamar.

📖📖📖
Welcome to the world of It's Not FINE!
The sixth story by senjasaturnus

Jangan lupa VOTE FOLLOW SHARE AND COMMEN

It's Not FINE! [Completed]✓Where stories live. Discover now