Det Första Steget (2)

226 39 2
                                    

Jarum jam mulai bergerak ke angka dua saat aku kembali ke rumah dengan pick up kosong. Aku membanting tubuh di sofa setelah menenggak satu gelas penuh air mineral. Setelah itu, aku menyandarkan kepala ke punggung tempat duduk itu. Bibirku langsung mengulum sedikit senyuman ketika memikirkan fakta kalau aku telah mulai bekerja hari ini. Aku sudah membersihkan toko dan membuang bunga yang tidak layak jual lalu memesan bunga-bunga segar tinggal membayarnya esok pagi.

"Aku hebatkan, Geral. Sekarang aku kuat dan tidak menangis lagi," bisikku sambil menahan air mata yang mulai menyundut di sudut mata dan mengancam untuk menetes. Aku menunduk dan menatap jemariku yang saking memilin di atas pangkuan. "Meski tanpamu."

"Iya, kamu hebat sayang!" Suara Geral membelai lembut telingaku.

Suara itu membuatku terkesiap. Aku langsung mencari sosok Geral dan tidak menemukannya. Padahal tadi aku jelas-jelas mendengar suaranya.

"Geral, kamu di sini? Jawab aku! Aku mohon!"

"Iya, iya, Sayang. Aku di sini." Suaranya kembali terdengar. Kali ini bahkan disertai dengan pelukan. Pemuda itu mengulurkan lengannya dari belakang dan merangkulku, kepalanya menunduk hingga kami bersitatap sesaat.

"Geral?" Bibirku mulai gemetar. "Ini benar-benar kamu, kan?

"Iya, siapa lagi?" sahutnya sambil terkekeh pelan.

Dia menggeser kepalanya lebih dekat kepadaku. Aku bisa mencium aroma tubuhnya lalu mencecap manis bibirnya kala bibir itu menyapu milikku. Lengan panjangnya terjulur melewati bahuku. Pemuda mengangkat kepala untuk menghentikan ciuman singkat itu lalu dia tersenyum. Aku kecewa dengan durasi kecupan yang super singkat itu, tetapi kekesalanku sirna kala dia juga ikut mengulum senyuman.

"Aku cinta kamu, sayang kamu, Enza," bisiknya.

"Aku juga."

"Cium aku lagi!" pintaku.

"Lagi?" tanyanya. Kelopak matanya sedikit melebar, tampak terkejur. Namun, pemuda itu tersenyum beberapa detik setelahnya. "Tentu."

Dia menundukkan kepala lagi hendak menciumku untuk yang kedua kalinya hari ini. Saat kami kembali bersentuhan, satu ingatan memukul benakku. Bukankah seharusnya Geral tidak ada di sini? Aku ingat dia sudah meninggal. Aku juga ingat jasadnya yang terbaring di peti mati. Semua kejadian ini tidak benar dan ganjil.

"Sebentar, Sayang," ucapku.

"Ya? Kenapa?"

Aku tidak menjawab dan memilih buru-buru melepaskan diri tepat ketika Geral mengangkat kepalanya. Aku menatap lengan kekar yang kini melingkari dadaku. Buru-buru beranjak berdiri setelahnya untuk menoleh serta menatap wajah manis Geral yang kini berdiri tepat di belakangku. Sial, sosoknya terlihat benar-benar nyata. Geral memakai setelan kemeja biru muda dengan celana abu-abu. Pemuda itu tersenyum manis sekarang. Aku ingat kalau sudah meninggal. Akan tetapi, dia tampak nyata dan hidup.

Oke, cukup galaunya. Mungkin aku hanya harus memastikan kalau semua ini nyata. Aku melangkah ke depan, ingin lebih dekat dengannya. Takut setipis apa pun jarak akan membuatnya menghilang. Senyuman masih merambati bibirnya. Tanganku bergerak untuk menyentuh wajahnya. Aku terkesiap kala tanganku tidak menemukan apa pun. Bukan hanya itu, senyuman pemuda itu tiba-tiba menghilang. Tubuhnya juga seolah menyatu dengan angin. Geral lenyap begitu saja seakan-akan tidak pernah ada di sini.

Tidak, tidak, ini pasti bohong. Geral yang kulihat barusan itu nyata. Aku menatap ke segala arah sambil terus menyebut namanya.

"Geral! Geral! Sayang!" Suaraku bergema di dalam ruangan. "Kamu di mana?"

One Thousand DaysOù les histoires vivent. Découvrez maintenant