Heavy

118 21 0
                                    


Geral sepertinya sudah benar-benar tenang sekarang. Pemuda itu tidak lagi mengamuk atau semacamnya. Ya, mungkin Geral sama seperti diriku yang harus membiasakan diri kalau sosok asing itu adalah kekasihku. Aku yang terus meyakinkan diri kalau jiwa di dalamnya adalah jiwa Geral. Hanya saja dia ada di dalam tubuh yang berbeda. Aku saja belum terbiasa, jadi bisa kubayangkan kalau Geral lebih kaget dariku.

Aku hanya berharap dia lebih tenang—meski tidak secepatnya. Hanya saja, aku tidak bisa mencari bantuan paramedis atau ahli kejiwaan atau apa pun sekarang. Aku hanya bisa mengusahakan semua ini sendirian. Mungkin aku tidak bisa buka toko hari ini. Geral sepertinya perlu seseorang untuk ada di sampingnya. Geral bisa mengamuk kapan saja dan aku sendiri belum tahu cara menangani pemuda itu.

Dia benar-benar berubah, Geral yang kukenal selama ini tidak sebrutal itu. Namun, aku masih mencoba memahami semua perubahan ini. Separuhnya tentu karena salahku. Manusia mana yang tidak histeris kalau terbangun di tubuh orang lain. Jadi, aku harus bisa menempatkan diri dan melihat semua ini dari sudut pandangnya. Meski tidak sepenuhnya paham setidaknya aku bisa memberinya perhatian.

"Kamu lapar? Mau makan?" tanyaku membuka obrolan setelah terdiam lumayan lama sejak cermin pecah tadi.

Dia menggeleng lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku menaruh pantat di tepian ranjang dan menyentuh lengannya. Sesaat kemudian dia berjengit. Ada gelenyar nyeri saat dia melakukan ini, Geralku bahkan tidak mau disentuh.

"Apa aku bikin kamu sedih?"

Pemuda itu menggeleng sekarang. Dia tampak menelan ludah dan bibirnya terlipat.

"Kalau begitu, kenapa?"

"Aku hanya masih belum terbiasa dengan wajah ini," ucapnya tanpa menatapku. Sepertinya dia benar-benar berhati-hati saat mengucap kata-kata itu.

"Percayalah, lama-lama akan terbiasa. Sama seperti aku yang lama-lama terbiasa dengan kamu yang kembali ke sini."

"Kamu bisa jelaskan, bagaimana bisa aku tiba-tiba ada di sini?"

Mendengar pertanyaannya membuat napasku tercekat. Pertanyaan yang pasti akan terlontar, cepat atau lambat. Geral pasti mengingat kalau sebenarnya dia sudah mati.

"Aku hanya diberi tahu kamu akan kembali," kilahku berbohong.

"Tapi, bagaimana bisa? Aku tahu kalau seharusnya aku tidak ada di sini." Suara Geral memburu. "Ini bukan tempatku."

"Kata siapa? Kamu memang seharusnya ada di sini, tempatmu memang ada di samping aku, Geral," kataku mencoba meyakinkan.

"Tidak, Enza. Bukankah aku sudah mati?"

Geral sekarang menoleh dan menatapku. Matanya menyorot tajam seakan mata itu alat pemindai sementara wajahku adalah barcode barang. Aku menarik napas panjang. Apalagi yang bisa kusembunyikan sekarang.

"Kalau kamu mati maka kamu tidak akan di sini."

"Itu dia, Enza. Aku tidak paham kenapa mendadak aku ada di sini."

Aku mengembuskan napas berat kemudian memutar bola mata. "Anggap saja kamu diberi kesempatan kedua!"

Geral sepertinya dia tidak bisa terima menerima penjelasanku begitu saja. "Tapi, ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sekarang aku bernapas, jantungku berdetak dan sekarang aku di dalam tubuh orang lain. Bertemu denganmu, seharusnya aku tidak ada di sini. Jelaskan padaku, Enza!"

"Lebih baik kamu tidak tahu. Kurasa itu yang terbaik buat kamu, buat kita."

"Aku hanya butuh penjelasan!" Geral kini menyentuh dada dan mengembuskan napas panjang. "Ini sakit banget, Za. Jadi, setidaknya beritahu aku apa yang terjadi!"

One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang