Teori Reinkarnasi

207 31 0
                                    


Alex memelukku lagi setelah aku membuka mata pagi ini. Dia juga menjelaskan semua hal terjadi semalam. Sekarang aku masih bertanya-tanya sebenarnya peristiwa semalam sampai separah apa karena ingatanku sepertinya tidak bisa dipercaya. Meski begitu aku tetap diam. Walaupun pria itu juga mencoba mengajakku berbicara beberapa kali sejak aku bangun, tetapi aku enggan menjawab.

Jantungku berdebar kencang saat aku menoleh dan menemukan kalau bajuku yang sobek di bagian bahu. Ternyata sobekan kain yang kudengar semalam itu nyata, semua itu membuatku menggigil. Aku buru-buru menarik selimut yang menutup tubuh bagian bawahku. Mataku pada pahaku yang menyembul sedikit karena gaun tidur yang kukenakan nyaris robek sampai pinggang.

"Ke—kenapa ini—bi—"

"Bukan apa-apa, Za. Bukan apa-apa." Alex menyahut sambil buru-buru menutupi pahaku dengan selimut.

"Bukan apa-apa gimana?" tanyaku.

"Dengar, belum terjadi apa-apa semalam. Saat aku datang, mereka baru—ah—"

Alex tidak melanjutkan kata-katanya karena sekarang mengepalkan tangan dan menonjok permukaan ranjang. Napasnya memburu sementara wajahnya memerah, sepertinya dia benar-benar marah sekarang. Aku langsung bangkit berdiri dan menarik kerah bajunya.

"Katakan apa yang mereka lakukan!"

"Lebih baik kamu enggak tahu," katanya sambil membuang muka. Kelopak matanya terlihat turun dan bibirnya melipat.

"Aku berhak tahu!" pekikku sambil mengeratkan cengkeraman.

Alex menarik napas. "Mereka menciumimu."

"Apa?"

"Iya, saat Kakak datang kamu sudah pingsan dan salah satu dari mereka menciummu."

"Mereka hanya menciumku? Kakak yakin?" tanyaku tidak percaya.

"Iya. Kakak yakin. Memangnya kamu pikir mereka akan melecehkanmu?" tanyanya memburu. "Karena bajumu sobek?"

Aku meneguk ludah. Tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Entah mengapa rasanya aku mengalami de javu dengan semua cecaran Alex barusan. Seakan-akan aku pernah mengalaminya. Tetapi, aku sendiri tidak yakin dengan ingatan aneh ini.

"Za, kamu dengar aku, kan?"

"Lalu?" gumamku nyaris tanpa suara.

"Tidak ada yang terjadi karena polisi sudah datang."

Kali ini aku menatapnya lekat-lekat. "Memangnya aku bisa percaya omong kosong semacam itu? Semua hal bisa terjadi saat Kakak belum datang, kan?"

Alex kini memandangiku. "Kamu boleh lihat hasil visum dan kamu akan tahu kalau aku enggak bohong."

Cengkeramanku terlepas dan aku buru-buru mengusap bibirku dengan tangan. Rasanya bibirku kotor sekarang dan aku harus membersihkannya. Sementara air mataku mulai jatuh menuruni pipi. Kenapa hal seperti ini selalu terjadi padaku? Kenapa?

"Hentikan!" Alex menarik tanganku.

"Enggak, enggak ini harus dibersihkan," tolakku.

"Kamu akan terluka," sahutnya sambil menarikku kembali dalam pelukan. "Tenanglah, tidak ada yang terjadi. Kamu bisa percaya pada Kakak, kalau mereka berani menyentuhmu lebih dari itu aku sendiri yang akan membunuh mereka."

Tangisanku kembali pecah dalam pelukan Alex. Hidupku memang tidak pernah berharga baik di mataku sendiri atau di mata orang lain, akan tetapi kenapa hal semacam ini terus terjadi? Memangnya aku harus sampai jadi abu atau sejenisnya hingga semua hal mengerikan ini bisa berhenti?

One Thousand DaysHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin