Coincidence

66 17 2
                                    


Hari sudah mulai gelap, aku mengunci toko dan berjalan kembali ke rumah. Aku sendirian karena Geral lebih dulu pulang sejak tadi sore. Dia bilang sedikit pusing. Saat kusentuh keningnya agak panas, sepertinya dia demam. Untuk itu, aku memaksanya untuk istirahat saja di rumah.

Geral sebenarnya menolak dan memilih untuk menemaniku. Namun, akupun bersikeras agar pemuda itu beristirahat. Aku juga berpesan untuk langsung menghubungi kalau dia merasa tidak baik-baik saja atau kondisinya makin memburuk. Pemuda itu mengiyakan sebelum pergi dari toko. Geral juga berpesan agar aku tidak menutup toko. Katanya dia baik-baik saja.

Namun, sekarang aku tidak yakin kalau Geral baik-baik saja karena ketika aku sampai di depan rumah, mataku langsung jemuran pakaian yang masih tergantung lemas. Entah pemuda itu ketiduran atau memang masih sakit hingga lupa mengangkat cucian yang sudah kering.

Sebelum masuk ke rumah, aku mengangkat jemuran yang dicuci Geral. Terlepas dari Geral yang sakit, sebenarnya akus sedikit senang saat tahu kalau dia tidak hanya mencuci bajunya sendiri, tetapi membereskan pakaian milikku juga.

"Duh, kamu pengertian banget sih!" gumamku sendiri sembari meraih satu kemeja putih terakhir lalu menaruhnya di keranjang.

Kemeja ini sepertinya yang dipakai semalam. Saat aku meraih kemeja itu dan menarik bagian lengannya. Mataku membesar saat melihat lengan kemeja itu sobek. Bekas sayatan melintang di bagian lengan kanan. Bekas sayatan itu tidak teratur seolah itu bekas gigitan binatang buas. Bercak darahnya sudah menghilang, meski begitu aku bisa memperkirakan satu hal. Kemeja ini sobek karena digigit anjing atau sejenisnya. Mungkinkah ini artinya Geral benar-benar membunuh binatang malang itu semalam?

Ah, ini tidak mungkin. Aku buru-buru menggeleng dan mencoba menepis semua pikiran buruk itu. Lagi pula, aku tidak harus terus-menerus berprasangka, aku menanyakan semua ini padanya. Ya, aku akan bertanya sekarang juga.

Dengan tekad baru itu, aku buru-buru membereskan sisa pakaian yang belum diangkat dari jemuran. Setelah itu, aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Menaruh keranjang pakaian itu di atas meja yang ada di dekat mesin cuci. Aku kemudian berlari naik dengan kemeja sobek itu agar bisa menanyakan hal ini padanya. Saat sampai di atas, pintu kamar Geral terbuka. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung melongok ke dalam. Geral kini tengah terbaring di atas kasurnya.

"Geral!" panggilku. "Kamu tidur?"

Suaraku sudah cukup keras, anehnya pemuda itu tidak menjawab. Geral juga masih tidak bergerak dari posisinya, sepertinya tertidur nyenyak sekali. Aku bergerak mendekat. Geral bergumam pelan, tampaknya dia mengigau. Jemariku menyentuh keningnya, panas menyengat telapak tanganku. Rambut pemuda itu tampak lepek karena berkeringat. Tubuhnya juga panas. Pemuda ini sepertinya sedang sakit.

"Geral, kamu dengar aku?" tanyaku sambil menyenggol lengannya. Geral menggeliat tapi tidak membuka mata. "Sayang!"

Saat pemuda itu tidak menjawab, aku langsung membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Tanganku menjelajah lengan pemuda itu. Menyingkap kaos lengan panjang yang menutup hingga siku. Aku terperangah, bekas luka segar menempel di lengan dekat sikunya. Dari bentuk lukanya, ini jelas bukan luka sayatan. Lukanya lebih mirip luka cabikan binatang. Aku menutup mulut, rasanya tidak ada penjelasan lain untuk luka ini.

Suara geraman Geral membuatku tersentak. Sekarang giginya terdengar saling beradu karena badannya mulai menggigil lebih hebat. Mungkin bekas gigitan ini menyebabkan infeksi atau bisa jadi anjing itu menularkan rabies.

"Tunggu ya," kataku sambil menarik selimut hingga menutupi lehernya.

Aku jelas tidak akan bisa membawa Geral ke mana pun. Ke rumah sakit juga mustahil di lakukan karena ak harus menjelaskan identitas orang lain. Meski kalau misalnya kondisinya memburuk maka aku tidak punya pilihan lain. Aku membuka ponsel untuk mencari tahu soal menangani pasien yang mungkin terluka karena gigitan anjing dan memiliki potensi terkena rabies.

Setelah mendapatkan jawaban soal pertolongan darurat yang bisa kulakukan kalau di rumah, aku langsung ke dapur. Aku langsung mengambil baskom dan mengisinya dengan air bersih. Aku memilih air hangat karena Geral sedang demam jadi disiram air dingin mungkin bisa membuat demamnya memburuk. Selain air, aku juga membawa sabun dan menyiapkan obat penurun demam yang sudah dilarutkan ke dalam air.

Setelah menyiapkan semuanya, aku mencuci tangan Geral yang terluka dengan air bersih. Aku juga menggosokkan sabun di sana, katanya itu pertolongan pertama yang bisa kuberikan pada pasien. Ketika merasa lukanya sudah bersih, aku mengusapnya dengan handuk. Tidak berhenti di sana, aku juga membersihkan lukanya dengan alkohol dan membubuhkan obat luka.

Meski begitu, Geral masih mengigau. Tentu saja, lukanya memang sudah dibersihkan, tapi demamnya memang belum turun. Aku menyentuh keningnya dan mulai mengompresnya menggunakan air dingin.

"Geral, apa kamu bisa bangun?"

Namun, Geral masih belum menjawab seperti sebelumnya. Ini sudah bisa ditebak. Geral sangat sakit sekarang jadi mungkin pemuda itu benar-benar tidak sadar.

"Aku bantu minum obat ya, sayang," kataku lagi.

Aku langsung membuka mulutnya dengan sendok. Sayangnya cairan obat itu terus saja mengalir keluar. Kalau memaksa, aku takut dia akan tersedak jadi memilih pelan-pelan. Setelah cukup lama, obat itu akhirnya habis juga—meski banyak juga yang tumpah dan menempel di tisu daripada masuk ke dalam mulutnya. Kusentuh keningnya, panasnya belum juga mereda. Dia masih saja terdiam. Namun, deru napasnya yang teratur membuatku yakin bahwa dia masih hidup.

"Kamu akan baik-baik saja." Aku mengusap rambut Geral yang berkeringat.

"Lis—" Geral tiba-tiba menggeram.

"Apa?" Aku terhenyak.

"Lisia—"

"Siapa itu Lisia?"

Aku berusaha keras mengingat semua hal yang berkaitan dengan kata Lisi ini. Lisia pasti sebuah nama, tapi siapa. Aku tidak ingat Geral pernah menyebutkan nama ini sebelumnya.

"Lisia—Alisia!"

"Alsia?" Kini aku membeo.

Keningku berkerut, mungkinkah dia Alisia yang kukenal. Alisia, si pemanggil arwah. Mana mungkin, lagi pula Geral tidak mengenalnya. Jadi, Geral pasti tidak akan menyebut nama pemanggil arwah itu.

"Tidak ada kebetulan di dunia ini."

Suara Alisia kembali terngiang di telinga. Tapi, mana mungkin. Kalau Geral tidak mengenalnya maka mungkinkah jasad ini yang mengenalnya? Makanya nama itu disebut saat tidak sadar. Tapikan, pemilik nama Alisia tidak hanya satu orang di dunia ini. Bisa jadi aku salah.

"Ini enggak mungkin, kan? Aku salah, kan?" tanyaku lebih pada diri sendiri ketimbang pada Geral.

Mataku kini menatap pemuda itu. Semua gagasan berkecamuk di dalam benakku. Kalau memang tidak ada kebetulan dalam semua ini. Pemuda ini juga bukan kebetulan menjadi jasad untuk jiwa Geral. Dia juga bukan secara kebetulan mengikat janji denganku. Alisia memilihku juga bukan kebetulan.

Lalu, yang terpenting dari semua ini. Mungkinkah kematian Geral juga bukan kebetulan? Kecelakaan yang membuat mobil Geral terjun ke jurang juga suatu hal yang direncanakan. Aku menutup bibir, mungkinkah Geral itu dibunuh?

Eh, bisa jadi kan?

Semua ini mungkin saja terjadi.


One Thousand DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang