Iomallach (1)

159 27 0
                                    

Note:

Ada flashback di bagian tengah dan enggak dimiringin, semoga enggak bingun. Selamat membaca, semoga suka ^^

---------

Hari telah berganti saat aku memarkir mobil di depan kios peramal aneh—bernama Alisia—yang kutemui beberapa hari lalu. Tempat yang juga gagal kudatangi kemarin. Meski begitu, kios itu belum terbuka. Masih terlalu pagi jadi wajar saja. Selain minimarket yang beroperasi selama dua puluh empat jam, banyak toko lain yang belum buka juga. Selain itu, jalanan di tempat ini juga masih sepi.

Aku melirik bayanganku di kaca lalu menarik napas pelan, sepertinya aku pergi keluar pagi ini dengan tergesa. Wajahku terlihat pucat dan berantakan. Awalnya aku tidak mau datang ke tempat ini. Hanya saja, mimpi itu datang lagi. Mimpi soal Geral yang meminta pertolongan padaku. Mungkin pemuda itu memang tidak bahagia di sana. Entah mengapa, aku merasa harus datang ke tempat ini sebelum semuanya terlambat. Selain soal mimpi buruk yang terus-menerus datang, hari ini adalah peringatan tujuh hari kematian Geral, hari terakhir untuk memanggilnya kembali.

Jemariku meraih ponsel di dalam tas. Menarik napas kecewa saat tidak ada satu pun panggilan atau pesan baru masuk. Memangnya apa yang kuharapkan, selain Alex yang semalam mengirimkan pesan bertanya apakah aku baik-baik saja setelah dia pulang. Selebihnya tidak ada pesan masuk dari orang lain bahkan dari ayahku sekali pun. Aku kembali menjejalkan ponsel itu ke dalam tas.

Ketukan demi ketukan jariku di atas roda kemudi membuat pikiranku mulai melayang-layang. Ingatanku terbang kembali ke masa lalu. Saat mereka meninggalkanku satu persatu. Semuanya terjadi sejak tragedi belasan tahun silam. Ayah bahkan tidak ingin menatap wajahku. Katanya menatap wajah pembunuh membuatnya muak. Tidak ada sanak famili yang menginginkan keberadaanku. Sedangkan teman, aku sudah pernah bilang kala aku tidak punya hal semacam itu. Sendirian dan terasing, itulah yang kujalani. Selama ini teman, sahabat dan kekasihku hanya Geral seorang. Geral saja sudah cukup. Pemuda itu yang selalu ada di sampingku setiap waktu dan dia tidak pernah pergi, tidak memandangku dengan sinis atau menghakimi. Namun, ketika akhirnya Geral pergi rasanya aku seperti kehilangan satu-satunya hal yang benar-benar kumiliki dan kehilangan ini jadi yang terberat setelah kejadian di malam naas belasan tahun silam.

Ingatan berikutnya kembali pada malam pertama setelah kepergian Geral. Malam itu adalah salah malam terpanjang yang pernah kujalani. Aku hanya meringkuk sendirian di ranjang dan tidak berani melakukan apa pun karena suara-suara berisik dari sesuatu yang tidak terlihat mulai terdengar. Aku mencoba menghubungi Alex, tetapi kakak lelakiku itu beralasan sedang makan malam bersama Ayah jadi tidak bisa langsung mendatangiku. Aku menelan ludah kala sunyi mulai memenuhi setiap sudut rumah hingga bulu kudukku kembali bergidik. Mataku nanar menatap ke segala arah setiap kali mendengar suara. Lamat-lamat derit jendela mulai terdengar. Suara langkah kaki mulai menapak di lantai. Aku menutup telinga dengan kedua tangan. Menekuk kaki hingga pahaku nyaris menyentuh perut. Suara-suara mendesis dan saling berbisik mulai terdengar. Aku menurunkan kaki dan memelesat keluar. Aku hanya ingin secepatnya menjauh dari rumahku.

Malam itu, aku kembali ke rumah besar itu. Rumah yang ditempati oleh Ayah dan Alex saja. Kedatanganku yang tiba-tiba terdorong ketakutan hanya untuk menelan kenyataan pahit. Pintu memang terbuka. Menampilkan wajah persegi Ayah dan bibirnya yang berkedut. Namun, tidak ada keramahan di sana.

"Mau apa kau kemari?"

"Aku—"

Ya, aku gagal menemukan alasan kedatanganku. Di hadapan pria ini aku benar-benar mendadak berubah bodoh.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now