About Last Night

95 20 10
                                    


Gerakan jarum jam menimbulkan bunyi teratur. Sementara itu, jantungku malah berdebar tidak karuan. Aku mengitung dari satu sampai seratus, berharap agar aku selamat bahkan ketika hitungan itu mencapai titik yang kutentukan.

Harapanku terkabul karena bahkan ketika hitunganku menyentuh angka lima ratus, Geral sama sekali tidak menyusul. Pemuda itu bahkan tidak menggedor pintu atau semacamnya. Sejujurnya, suasana di luar sana malah hening. Sayangnya keheningan itu malah lebih mencekam.

"Enam ratus delapan puluh, enam ratus delapan puluh satu," gumamku dengan suara pelan.

Keheningan itu masih menyiksa karena tidak ada suara apa pun bahkan ketika hitunganku terus berlanjut sampai sepuluh kali kelipatan seratus. Tidak terjadi apa pun. Aku juga tidak tahu sekarang pukul berapa karena aku bersembunyi di celah antara lemari dan tembok. Lokasi yang menurutku paling aman. Aku akan bisa melarikan diri dengan melompat dari jendela kalau Geral mendobrak pintu. Sedangkan kalau Geral muncul dari jendela maka aku bisa memelesat langsung ke pintu. Begitu teorinya, entah kalau realiasinya nanti.

Untuk berjaga-jaga aku juga memangku kotak kayu yang biasanya kugunakan sebagai wadah kosmetik. Mungkin benda ini tidak dapat dikategorikan sebagai senjata, tapi setidaknya aku ingin merasa lebih aman.

Aku terus berhitung sambil sesekali melirik ke pintu. Suasana masih sesunyi sebelumnya. Tidak ada suara yang terdengar. Seperti sebelumnya, kamar ini sangat hening. Sayangnya keheningan ini terasa mencekik karena debaran jantungku tetap saja tinggi. Namun, keheningan itu berakhir belasan detik berikutnya ketika daun jendela menjeblak terbuka. Aku tersentak dan nyaris terlompat dari posisiku.

"Ah, sial!"

Daun jendela itu masih bergerak pelan dan memukul-mukul tembok. Aku berdiri sambil menggigit bibir. Banyak gagasan buruk mampir ke dalam pikiranku. Apakah Geral yang membuka jendela ataukah bukan? Ataukah ada angin sampai daun jendela terbanting begitu?

Aku sendiri memilih tidak berlama-lama larut dalam kebingungan. Apa pun alasannya, harus diperiksa secara langsung. Untuk itu aku berdiri dan langsung menengok ke luar jendela. Tidak ada apa pun. Bahkan halaman rumahku di bawah sana masih sepi dan gelap seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin memang bergerak karena angin karena benda ini masih bergetar.

Setelah memastikan semuanya aman. Aku mengulurkan tangan untuk menutup jendela. Sengaja tidak menguncinya agar aku tetap punya opsi lain kalau ingin melarikan diri. Aku kemudian kembali ke pojok lemari dan menunggu dengan cemas.

Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Tetapi, sekarang aku bisa menarik napas lega karena sinar matahari telah menembus tepian birai jendela. Hantu pun pasti akan berpikir ulang untuk menampakkan diri di siang hari. Aku merenggangkan tubuh dan hendak berdiri ketika suara ketukan terdngar dari pintu.

Suara ketukan itu membuat jantungku mungkin melewatkan satu atau dua kali detakan. Aku tidak menjawab dan memilih menajamkan telinga untuk memindai situasi. Kalau Geral memang masih belum sepenuhnya sadar maka aku harus melarikan diri. Aku melirik ke arah jendela, mungkin sekarang saatnya aku melompat.

"Enza?" Suara Geral terdengar dari balik pintu. "Apa kamu sudah bangun?"

"Belum, ya?" katanya lagi. "Kalau begitu aku keluar duluan ya, Za."

Ludah besar-besar menuruni tenggorokan sementara tanganku mencengkeram kotak kayu di pangkuan semakin erat. Jantungku kembali berdetak cepat. Aku menoleh ke arah jendela, aku harus siap melompat kapan saja. Aku membuka pintu dan memilih dia untuk menunggu. Anehnya, suara Geral tidak terdengar lagi. Geral bahkan terdengar berjalan menjauh. Meski begitu, aku tidak langsung keluar, aku memilih menunggu karena aku tidak bisa percaya begitu saja pada kata-katanya.

Setelah melewatkan sekitar lima belas menit dalam diam, aku berjalan keluar dari kamarku. Mataku memandang sekeliling. Hening. Tempat ini kosong. Lalu, aku bergerak ke kamar Geral, selimutnya sudah terlipat rapi. Pandanganku tertuju pada nakas. Pecahan vas itu telah menghilang. Mungkinkah Geral yang membersihkan semua pecahan kaca? Apa dia mengingat kejadian semalam? Lalu, Geral ke mana?

"Tunggu, Geral tadi mau keluar kan, katanya? Keluar ke mana?" Aku memiringkan kepala. "Jangan-jangan?"

Oh, tidak, ini buruk.

Aku buru-buru berlari keluar. Pengalaman semalam masih membuatku bergidik. Sandal tidurku bergerak licin di anak tangga, tetapi aku tidak peduli. Kakiku tergelincir pelan tapi aku masih terus berlari. Napasku memburu dan jantungku memukul-mukul dengan kencang. Aku hanya harus menyusulnya. Aku harap dia tidak melukai orang lain.

Sesampainya di depan rumah, aku langsung bergerak melintasi halaman. Mataku nanar menatap jalanan yang mulai ramai di depan rumah. Aku mempercepat langkah. Sial, kenapa sih aku pakai nunggu segala?

Kalau sekarang, Geral pasti sudah jauh. Namun, langkahku terhenti kala aku melihat pintu toko bunga terbuka. Toko bunga itu milikku dan berada tepat berada di samping rumah. Apa mungkin Geral di sana?

Aku buru-buru mendatangi tempat itu. Suara lonceng berdering nyaring saat pintu berderit terbuka. Setelahnya, aku langsung masuk dengan langkah panjang.

"Enza?"

Langkahu seketika terhenti. Geral ternyata benar-benar ada di dalam toko. Wajahnya muncul di balik kumpulan bunga krisan putih yang bergoyang. Tangannya yang panjang sedang mengangkat pot berisi puluhan tangkai bunga itu. Geral menaruh pot di dekat pintu masuk sebelum sekarang menatapku.

"Ke—napa kamu di sini?"

"Ya, kenapa lagi? Kan aku mau bantu kamu," tanya Geral kebingungan.

"Bantu aku?" Aku membeo dan menunjuk diriku sendiri.

"Iya dong. Memangnya kenapa kalau aku bantu?"

"Ya, bukan apa-apa sih?"

"Nah. Jadi, bukan masalah, kan?"

"Iya sih."

Aku terdiam beberapa menit setelahnya. Benar-benar kebingungan menyusun kata-kata. "Soal semalam—"

"Semalam apa?" potong Geral cepat.

"Kamu enggak ingat?"

Geral kini menatapku lekat-lekat. Manik matanya eboninya menusuk tajam. Pemuda itu tersenyum samar. "Aku inget kok, Za."

Ketika bibirnya tertarik lebih ke atas membentuk seringai, seketika aku bergidik. Bulu kudukku meremang dan aku bersiap untuk melarikan diri. Aku bergerak mundur ketika Geral kini bergerak mendekat dengan bibir yang masih menguntai senyuman. Jantungku nyaris mencelat ketika Geral mengulurkan tangan ke arahku.


One Thousand Daysजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें