Kompensasi Jiwa

112 15 5
                                    


Jujur, sekarang aku benar-benar takut untuk bergerak—bahkan menengok sekali pun. Di sisi lain aku sungguh ingin lari secepatnya, tetapi kakiku seperti membeku dan terpancang di permukaan lantai. Tubuh tinggi dan transparan itu masih berdiri di depanku. Meski berbatasan dengan kaca, rasanya tetap mengerikan. Bukan hal mustahil kalau dia mendadak menyorongkan wajahnya menembus permukaan bening itu. Bukankah hantu atau sejenisnya bisa menembus tembok.

Aku meneguk ludah ketika semua skenario mengerikan itu berputar di dalam kepalaku. Namun, sosok itu tidak melakukannya. Dia bahkan tidak berbicara. Meski begitu, ekspresinya terlihat ganjil seolah-olah semua kepedihan di dunia berkumpul di wajahnya.

"Ini aku, Enza. Geral."

Bisikan pelan itu membuatku menoleh ke belakang, Geral merangkul erat leherku. Berbisik di telingaku beberapa kali dan meyakinkanku untuk membawanya kembali. Geral juga masih mengumbar senyuman. Ekspresi yang kontras dengan pemilik wajah di balik cermin. Wajah pemuda itu suram dan sedih.

"Bukankah aku lebih berhak atas tubuhku?" Sebuah suara asing terdengar.

Suara ini mirip seperti yang kudengar selama ini—semenjak Geral hidup kembali. Namun, rasa suaranya berbeda dengan saat Geral yang berbicara. Ada nada ketus dan dingin di suara itu. Apa ini suara Rael sebenarnya?

"Kamu ngomong sama aku?" tanyaku sambil menatapnya.

Dia tidak menjawab, tetapi wajahnya menyiratkan kemarahan. Alisnya bertaut dan bibir mengatup rapat. Melihat wajahnya sekarang, aku jadi ingat sosok brutal dan nyaris membunuhku tempo hari.

"Enza!" Kali ini Gerak yang bicara. Pemuda itu menggeleng dan memberikan tanda kalau aku tidak perlu bicara dengan sosok itu.

"Aku akan bicara padanya, Geral. Kamu tenang saja!"

Kini aku menatap Rael yang masih ada di depanku. "Aku cuma pinjam sebentar—"

"Pinjam?" potongnya. "Maksud kamu, kamu seenaknya meminjam tubuhku lalu mengusir jiwaku dari dalam ragaku sendiri? Kok seenaknya! Memangnya kamu izin sama aku?"

Aku membuang muka, terlalu takut menghadapi kemarahan Rael. "Maaf. Aku tidak punya pilihan."

"Kamu bisa memilih buat gak ngelakuin semua ini, Enza."

"Tapi, aku gak bisa, jadi maaf."

"Aku gak terima maafmu. Jadi, bebaskan tubuhku dan lepaskan aku!"

"Rael, aku—"

Aku mendongak dan kataku terputus saat pemuda itu tidak lagi berada di depanku. Ternyata dia sudah bergerak mendekati ranjang. Ranjang tempat raganya terbaring tidak sadarkan diri saat ini. Aku terhenyak, napasku tersendat saat pemuda kini mulai duduk di atas tubuhnya sendiri. Tidak. Dia tidak boleh masuk ke tubuhnya sendiri, aku belum memilih.

"Rael, Tunggu!"

Pemuda itu kini menyeringai. Menelungkupkan badannya di atas jasadnya. Dia sepertinya benar-benar punya niat masuk ke dalam tubuhnya sendiri dan mengabaikan perkataanku.

"Tidak, tidak!" jeritku.

Aku melangkah cepat, membuka kenop pintu Aku harus mencegahnya, dia tidak boleh masuk ke tubuhnya.

"Aku mohon, Rael."

Pemuda itu menoleh. "Kamu memohon agar aku enggak masuk ke tubuhku sendiri? Lucu juga!"

"Beri aku waktu!"

"Untuk apa?"

"Untuk—"

"Memenuhi keserakahan dan keegosianmu?" ujarnya sinis, memotong semua alasan yang akan kuucapkan.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now