I was Hurt Too

85 18 2
                                    

Aku membuka mata. Mengerjap beberapa kali saat menatap langit-langit kamar. Selimut menutupi tubuhku hingga leher. Aku menoleh ke segala arah, tetapi suasana sepi. Masalahnya adalah, sejak kapan aku ada di kamar ini? Kalau Geral yang membawaku ke kamar tidur, lalu pemuda itu pergi ke mana?

"Geral?"

"Za!"

Aku buru-buru menoleh ke arah datangnya suara. Namun, bukan sosok Geral yang kutemukan di sana, melainkan Alex. Kakak lelakiku itu muncul dari balik pintu. Lelaki itu kini berjalan mendekat. Kok Alex bisa ada di sini? Sejak kapan datangnya? Dan kalau Alex ada di sini, maka di mana Geral sekarang?

"Enza, kamu sudah bangun?" kata Alex sambil bergerak mendekat.

"Kok Kak Alex ada di sini."

Alex mengembuskan napas berat. "Aku tadi mampir karena ada klien di sekitar sini. Tapi, apa yang kutemukan. Kamu melukai dirimu lagi. Sebenarnya kamu kenapa sih, Za? Apa kita perlu ke psikiater lagi?"

"Luka apa?" kataku mencoba mengalihkan topik obrolan. "Aku enggak melukai diri sendiri kok."

Alex tidak memberikan sanggahan, pria itu malah menunjuk bagian atas bahuku. "Kamu pakai apa kali ini? Gunting?"

"Itu—aku—"

Aku tergagap dan mendadak tidak siap untuk mengatakan apa pun. Sekarag aku terlalu bingung untuk merangkai kata-kata saat serangan panik mulai menyerang. Aku tidak bisa menjelaskan kalau semua ini ulah Geral. Toh, tidak ada gunanya aku membela diri dengan mengatakan yang sebenarnya.

"Sepertinya aku harus menjauhkan semua benda tajam dari jangkauanmu, Za." Alex tersenyum lembut.

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Lagi pula, aku tidak bisa mengiyakan keinginan Alex.

"Lalu apa yang kamu lakukan pada kakimu sampai berdarah seperti itu? Wajahmu juga, itu kenapa sih?" cecar Alex lagi.

Aku menyentuh pipiku. Ada perban yang ditempel di pipiku. Mungkin perban itu sudah dibubuhi obat luka makanya tidak lagi perih. Tidak, bukan perban atau pipi yang harus kukhawatirkan sekarang. Aku harus tahu keberadaan Geral sekarang juga. Kini aku menatap ke segala arah untuk mencari keberadaaan pemuda itu.

"Kamu ini lihat apa sih, Za? Hei!" Alex menangkup wajahku. Dia mengerutkan kening dan menuntut penjelasan. "Enza, kamu dengar Kakak, kan?"

"Geral."

Kata-katanya nyaris tanpa suara itu terlepas begitu saja. Aku mengigit bibir, sial aku keceplosan. Bagaimana ini?

"Oh, Enza." Alex malah menarik kepalaku dan menempatkannya di pelukan. "Jangan sedih lagi, ya!"

Bukan, maksudku Geral yang masuk ke tubuh asing itu. Geral yang telah kembali dari kematian. Aku ingin menjelaskan, tetapi tidak ada manfaatnya semua penjelasan itu, Alex mungkin akan menganggapku gila.

"Tadi Geral bersamaku dan—"

"Enza, Geral sudah meninggal dan kamu sendirian sejak aku datang." Alex menarik tubuhku menjauh dan menatapku dalam-dalam.

"Sendirian?"

"Ya, kamu tertidur di bak mandi. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa."

Oh, Tuhan. Kalau aku sendirian, maka itu artinya Geral sudah pergi. Jika dia menghilang maka dia bisa saja melukai orang lain. Tanganku terkulai lemas sementara kepanikan kembali menjalar. Bagaimana kalau Geral melukai orang lain?

Tidak, tidak, aku harus mencegah semua ini terjadi. Semua usahaku memanggil jiwanya akan sia-sia kalau dia sampai membunuh orang. Kalau semua hal buruk itu terjadi, Geral bisa masuk penjara. Kalau sampai Geral diperangkap di balik jeruji besi maka pupuslah semua harapanku untuk bersamanya. Aku menggigit bibir. Masalahnya, apa yang bisa kulakukan sekarang dengan Alex yang ada bersamaku?

"Enza!"

Suaranya mengagetkanku. "Y—ya?"

"Kamu masih bisa dengar Kakak, kan?"

Aku mengangguk meski itu hanya pura-pura karena aku sama sekali tidak mendengar apa pun yang dia ucapkan. Aku bahkan yakin tidak ada suara yang masuk ke dalam telingaku sekarang. Untuk saat ini, aku hanya ingin tahu soal Geral. Selebihnya aku tidak ingin banyak berpikir.

"Za, kamu dengar Kakak, Kan? Sejak kapan kamu jadi seperti ini?" Alex menggoyangkan tubuhku dengan tidak sabar. "Kamu masih melakukannya bukan? Sejak kapan kamu mulai lagi?"

"Apa lagi sih, Kak?" tanyaku masih mencoba berkelit.

"Ritual bak mandimu itu."

"Apa?"

"Jangan duduk di bak mandi untuk melukai dirimu sendiri lagi seperti dulu!" titah Alex.

"Enggak kulakuin kok itu. Kakak salah paham."

"Meski salah paham atau bukan, kakak ingin kamu menghentikan ritual bak mandi keramatmu itu mulai sekarang."

Aku hanya mengangguk.

"Kamu janji kan, Za?"

Aku terdiam lagi. Kepalaku tertunduk dan panas mulai mengaliri wajah. Aku menggigit bibir dan mencoba menahan air mata yang mungkin akan jatuh. Jemari-jemariku saling terpilin dan gemetar.

"Enza!"

"Iya, Kak. Iya, iya, iya," pekikku tidak sabar. Kali ini air mataku jatuh saat satu persatu kenangan di masa lalu kembali berputar di pelupuk mata.

"Kakak enggak maksa kamu, Enza. Ini semua demi kebaikanmu sendiri. Kamu paham, kan?"

Lagi-lagi aku tidak menjawab. Ingatan di dalam benakku kini sedang berputar ulang. Semuanya berawal dari kecelakaan itu. Hal buruk yang membuatku menemukan kenyamanan di tempat yang katanya tidak tepat. Bak mandi itu seolah memberikan perlindungan. Saat aku berlari ke dalam toilet dan membenamkan diri di dalam bak mandi yang penuh air. Aku sesak napas, tetapi aku bisa lupa semua hal yang menyakitkan. Karena aku tahu pasti bahwa aku tidak dicintai dan tidak pernah diharapkan di mana pun aku berada. Kalau aku bicara, semuanya selalu salah dan aku hanya berakhir terluka. Aku terluka sendirian.

Aku paham kenapa Ayah membenciku. Aku juga mengerti kalau aku hanyalah sebongkah beban tak berguna makanya satu persatu semua orang meninggalkanku. Mereka tidak ingin ikut terseret dan tenggelam bersamaku. Kalau aku ingin menghibur diri sendiri, maka aku akan bilang kalau aku memang sendirian sejak awal. Selalu begitu dan tidak pernah berubah. Beberapa tahun bersama orang lain bukan berarti kesendirian itu hilang begitu saja.

"Oh, Enza. Maafkan Kakak," kata Alex sambil menepuk kepalaku. "Aku akan ada buatmu jadi kamu gak perlu ke bak mandi lagi. Kamu ngerti, kan?"

Aku masih membisu Tubuhku gemetar dan tidak bergerak dalam pelukan Alex. Tanganku terkulai di kedua sisi tubuhku dan sama sekali tidak ingin membalas pelukannya bahkan saat dia menepuk kepalaku perlahan. Rasanya aku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Bayangan demi bayangan hadir di dalam kepala. Ketika semua suara yang muncul selalu dipenuhi tudingan dan hujatan. Tentang semua hal yang salah, tentang aku yang katanya membawa sial.

"Kamu ingat saat kita masih kecil, Za. Aku, kamu dan Geral!" katanya tiba-tiba.

Pikiranku melayang kembali ke masa kecil. Masa ketika aku, Alex dan Geral masih bersama. Ya, kami berjanji kala itu kalau kami akan selalu bersama. Akan tetapi, satu orang telah pergi untuk selamanya. Satu orang telah melarikan diri ke langit terlebih dahulu.

Ah! Iya, Geral. Ke mana dia?

Aku larut dalam kenangan hingga benar-benar melupakannya. Aku buru-buru bangun dan menepiskan pegangan Alex.

"Enza tunggu! Kamu mau ke mana?"

"Aku mau cari Geral."

"Ya, Tuhan, Enza. Kakak mohon sadarlah!"

Aku mengabaikannya. Setelah lepas dari pelukan Alex, aku langsung memelesat keluar dari ruangan. Harus menemukannya sebelum kakak laki-lakiku tahu.

Aku baru sampai di anak tangga terbawah ketika pintu terbuka. Geral muncul dari balik pintu. Pemuda itu tersenyum padaku. Namun, suara langkah kaki dari atas mulai terdengar. Alex kini bergerak mendekat.

Ini buruk. Benar-benar buruk. Mereka kan sahabat dekat, jadi Alex akan langsung mengenalinya. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now