Kebimbangan

170 25 0
                                    


Setelah sekitar tiga puluh menit perjalanan, kios Alisia sudah terlihat. Namun, keraguan memenuhi benakku. Banyak pertanyaan berjejal di sana. Apakah aku melakukan yang benar? Apakah memanggil jiwa orang yang sudah mati itu adalah keputusan yang tepat? Di atas semua itu, apakah hal semacam ini memang bisa dan memungkinkan untuk dilakukan?

Ah, tidak, memanggil orang mati itu tidak benar. Rasanya hal itu juga tidak mungkin terjadi. Tayangan televisi itu belum tentu benar. Semua hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tetapi, tidak ada salahnya mencoba karena hal semacam ini mustahil dilakukan.

"Berhenti di mana, Kak?"

Pertanyaan itu membuatku tersentak dan menyadarkanku dari lamunan. Aku buru-buru mengamati jalanan sembari menelan ludah yang menuruni tenggorokan. Jemariku yang basah kini saling memilin di atas pangkuan.

"Depan sana saja, Pak!" pintanya.

Sopir itu mengangguk dan menurunkanku di tepi jalan, sekitar seratus meter dari ruko milik Alisia. Namun, aku tidak langsung mendatangi tempat itu. Pertanyaan lain kembali berjejal di dalam pikiran. Kalau memang memungkinkan untuk memanggil orang mati kembali ke dunia maka akan ada banyak kuburan tergali dan jiwa-jiwa orang mati yang berkeliaran di dunia ini. Iya, semua ini pasti hanya kabar bohong saja.

Hanya saja, bagaimana kalau itu mungkin dilakukan? Bagaimana kalau aku bisa bertemu dengan Geral lagi?

Ah, tidak, tidak, itu bodoh. Tidak mungkin.

Jemariku mengepal sementara aku menggeleng beberapa kali. Setelah taksi itu bergerak pergi, aku memesan taksi lagi. Mobil yang kupesan datang lima menit setelahnya. Aku kembali naik ke dalam mobil. Aku menoleh ke belakang sebentar sementara taksi terus melaju dan mungkin aku tidak ingin lagi ke sana. Rasanya ini keputusan yang tepat. memanggil Geral kembali, mungkin keputusan terkonyol yang akan kuambil. Menghidupkan mayat mungkin akan jadi keputusan aneh. Sudahlah, pulang ke rumah saja dan mencoba untuk melanjutkan hidup.

Taksi mengantarkanku ke rumah. Gerbang depan masih terbuka sedikit dengan garis kuning polisi melintang di depan serta di depan pintu. Aku melangkah masuk dengan mengangkat pita kuning yang melingkari pagar ke atas. Ketakutan seketika menyergap ketika melihat ruang tamu yang berantakan dengan banyaknya benda yang terguling di segala arah. Aku bergerak ke atas dan kerusakan di lantai dua juga sama parahnya. Rumah ini belum dibersihkan seperti yang diklaim Alex.

Bibirku terlipat sementara debaran jantungku menanjak naik di dalam dada. Kurang ajar sekali gerombolan perampok melakukan ini padaku, pada rumahku. Aku membuka pintu dan pemandangan mengerikan menyambut. Semua barangku berserakan di lantai, celana dalam dan baju saling tumpuk di dekat ranjang bercampur dengan barang-barang lain.

Jemariku dengan cepat menarik semua baju yang berserakan dan memasukkannya ke dalam keranjang. Semua kain ini harus dicuci. Mataku terantuk pada kemeja flanel berwarna hot pink yang terselip di bawah ranjang. Baju terakhir yang dibelikan Geral. Ah! Baju terakhir. Dadaku sesak jika memikirkannya. Aku meraih benda itu sebelum memasukkannya ke keranjang bersama baju yang lain.

Semua hal ini seharusnya tidak terjadi jika saja Geral ada. Seharusnya dia ada saat ini untuk melindungiku. Paling tidak akan ada untuk membantuku membersihkan semua ini atau mengatakan padaku kalau semua ini tetap akan berakhir baik-baik saja. Air mataku mulai jatuh satu persatu. Ke mana semua orang di saat seperti ini. Alex bahkan tidak ada, apalagi Ayah. Pria paruh baya bahkan tidak sudi menatapku sejak tragedi malam itu. Semua orang meninggalkanku begitu saja, aku sendirian. Aku menarik napas berat dan mencoba untuk meyakinkan diri sendiri kalau semua ini bisa dilewati dan aku akan baik-baik saja.

Matahari sudah turun di ufuk barat kala aku membuang semua benda yang rusak ke tempat sampah di depan. Rumah sudah lumayan bersih saat ini. Seperti yang dikatakan Alex kalau tidak penjahat berusia belasan, selama bersih-bersih aku tidak menemukan satu pun pecahan kaca. Jadi orang yang kulihat malam itu mungkin memang hanya khayalanku saja.

"Benarkan kata Tante, Za?"

Aku mendongak menemukan ibu bertubuh gemuk kini berdiri di hadapanku. Tetangga sebelah rumah yang terlalu ingin ikut campur segala hal, senang berkomentar dan paling jago menyindir di lingkungan ini.

"Soal apa ya, Tan?"

"Maling."

"Iya," ucapku lirih meskipun sungguh aku benci mengakui. Orang semacam ini yang menyebalkan, sudah tahu masalah orang lain masih sibuk untuk bertanya.

"Seharusnya kamu ikut ayahmu saja, lebih aman. Apalagi untuk anak gadis rawan jika tinggal sendirian. Wajar kalau kamu diincar gerombolan perampok. Untung kamu enggak diperkosa, masih bersyukur itu," katanya lagi.

Kan menyebalkan. Aku mendengkus pelan. Wanita ini mungkin mencoba bersimpati, tetapi sayangnya suaranya menusuk dengan nada menyindir yang kentara. Kalimat itu dipoles dengan nada yang lembut, hanya saja tetap menyebalkan. Aku paling kesal dengan orang yang pura-pura bertanya padahal dia tahu serta orang yang sibuk memberi solusi untuk hidup orang lain sedangkan dia tidak mau tahu apa yang dialami orang tersebut. Dan orang ini masuk kedua-duanya, orang yang terlalu sibuk mencampuri hidup orang lain dan sok-sok memberikan solusi sambil menyindir. Jemariku mengepal erat, rasanya ingin menonjok wajah bergelambir yang kini terlihat sibuk mengamati rumahku.

"Kok tidak dijawab, Enza?" Salah satu alisnya naik ke atas.

"Iya, Tante."

Mungkin memang aku harus memanggil Geral untuk menonjok orang ini tepat di wajahnya.

"Pacarmu juga meninggal beberapa hari lalu, ya? Tante turut berduka ya, Za."

Kamu tidak berduka! Berhentilah berpura-pura!

Sungguh aku ingin mengatakannya, tetapi aku menahan diri sekuat tenaga. Tidak ada baiknya bertengkar dengan tetangga. Apalagi sekarang aku benar-benar sendirian jadi menambah jumlah musuh sepertinya bukan keputusan yang bijak.

"Terima kasih, Tan," sahutku berusaha menekan semua hal yang ingin kukatakan sebelumnya.

"Kalau Geral ada di rumahmu seperti bisa seharusnya kau tidak sampai kerampokan semalam," ucapnya ringan dan sedatar aspal. "Meski ya, kedatangan Geral ke rumahmu itu meresahkan warga, tapi setidaknya kamu aman."

"Iya, Tan."

Wanita itu terus berbicara seolah-olah dirinya adalah seseorang yang super bijak dan tahu banyak hal. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman tipis dan sesekali mengiyakan. Ketka ada kesempatan, aku langsung berpamitan untuk mengakhiri obrolan. Menanggapi wanita itu hanya akan menambah beban pikiran. Dia terlalu banyak tahu dan menyebalkan sejak lama. Hanya satu dari sekian banyak orang menyebalkan di muka bumi. Inilah yang membuatku sulit sekali nyaman bersama orang lain, selama ini Geral lah yang paling baik padaku. Hanya Geral seorang dan aku hanya menginginkan pemuda itu. Mungkin aku memang harus memanggil pemuda itu kembali. Tidak ada yang dirugikan dari keputusan ini.

One Thousand DaysWhere stories live. Discover now