Enza, kan?

156 24 2
                                    

Matahari memang belum muncul, tetapi bangun lebih pagi rasanya jauh lebih menyenangkan. Aku bisa melewatkan waktu lebih banyak bersama Geral mulai bekerja. Meski Geral masih belum membuka mata, tetapi mengajaknya berbicara setiap pagi selalu menyenangkan. Mungkin karena dia hanya bisa menyetujui apa pun yang kukatakan jadi merasa memiliki teman. Tentu saja kan, dia bahkan tidak bergerak, jadi jelas tidak mungkin bisa bicara untuk menyanggahku. Ya, kalau dipikir ulang aku benar-benar bodoh dan menyedihkan. Aku menggeleng beberapa kali lalu bergerak keluar kamar sembari merenggangkan badan. Namun, langkah kakiku terhenti ketika aku menghidu aroma kopi. Siapa memangnya yang menyeduh kopi pagi-pagi begini? Eh, aku kan tinggal sendirian dan kalau aku di sini maka tidak ada orang lain yang membuat kopi. Kecuali satu orang. Mungkinkah?

Selama bergerak keluar, aku terus-terusan menyentuh dada, takut kalau jantungku meletup kapan saja. Bisa saja kan Geral sudah bangun. Iya, benar. Semua itu bisa saja terjadi. Senyuman mengembang di bibirku dan aku mempercepat langkah.

"Ge—"

Kata-kata yang hendak kuucapkan mengambang di udara. Aku belum sempat menyelesaikannya kala melihat sosok yang kini berdiri di dapur. Tawaku lenyap dan aku hanya bisa melengos. Kekecewaan langsung menyergap hingga membuat kakiku lemas.

"Pagi, Enza!"

"Kakak kapan datang?" tanyaku sambil berjalan mendekati laki-lakiku yang kini masih sibuk berkuat di dapur.

"Aku sampai setengah jam lalu, tapi kamu masih tidur." Alex melirikku sekilas lalu kembali sibuk menyeduh dua cangkir kopi di meja. Pria itu memang memiliki kunci rumah ini jadi bisa keluar masuk kapan saja. Meski akses ini jarang dipakai karena pria ini sangat jarang datang ke rumah ini.

Alex mengulurkan satu mug berisi kopi hangat padaku. Aku menerima benda itu pemberiannya sementara pria itu menyesap minuman miliknya sambil duduk. Kami tidak langsung bicara karena aku sendiri mulai menikmati cairan hangat itu membasahi mulut dan masuk ke dalam tenggorokanku. Rasanya enak juga dan menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa.

"Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?" tanya Alex memecah keheningan.

"Baik."

"Oh." Pemuda itu menjawab pelan. Sepertinya dia juga bingung harus mengatakan apalagi untuk menyambung obrolan.

"Ngomong-ngomong, Kakak ada keperluan apa pagi-pagi begini?" tanyaku langsung.

"Aku mau ambil barang, tapi aku lihat kamarku dikunci," ucapnya sambil menunjuk kamar miliknya.

Ah, sial. Kamar itu kugunakan untuk menampung pemuda tak dikenal itu sejak kemarin. Lalu, sekarang Alex ingin masuk ke sana. Aku mulai menimbang-nimbang cara paling aman untuk menyembunyikan sesuatu yang kutaruh di sana atau aku harus mengeluarkan pemuda itu dulu sebelum dia memberondongku dengan sejuta pertanyaan. Tetapi, bagaimana caranya? Jasad itu jelas bukan barang yang bisa dilipat terus disembunyikan.

"Harus ambil sekarang?" tanyaku akhirnya.

Alex melirik arloji di pergelangan tangannya dan tersenyum. "Nanti sore juga tidak apa-apa."

"Oh, oke," kataku mencoba menyembunyikan embusan napas lega karena Alex tidak jadi meminta masuk sekarang. "Sudah mau pergi sekarang?" tanyaku saat pemuda itu berdiri.

"Iya."

"Kopimu belum habis," kataku sambil mengedikkan bahu.

"Iya. Aku buru-buru soalnya."

"Kalau begitu kenapa mampir kalau buru-buru pergi?"

Pria itu bergerak mendekatiku lalu menyentuhkan tangannya di puncak kepala. Dia tersenyum. "Aku hanya mampir sebentar. Aku sudah lega melihatmu baik-baik saja. Kalau sekarang, aku harus pergi kerja, kamu tahu kan jam masuknya lumayan pagi."

One Thousand DaysOù les histoires vivent. Découvrez maintenant