Bab 1

14.8K 572 9
                                    

Fajar belum juga menyingsing namun adzan subuh sudah berkumandang. Gendhis akan bangun dengan malas-malasan jam segini, itu pun bangun karena guncangan, cubitan bahkan teriakan dari sang ibu. Ibunya selalu bilang anak gadis harus bangun sebelum ayam berkokok, anak gadis bangun salat langsung bantu ibu di dapur. Lalu bagaimana kalau di dapur tak ada apa pun untuk di masak. Hanya ada singkong, ubi, pisang yang dikelilingi ngengat dan tepung terigu.

"Ndhis, kamu siapin adonan buat goreng ubi dan pisang."

Gendhis menguap, sebelum berdiri di depan kompor. Inilah rutinitas ibunya sebelum pergi bekerja sebagai pembantu di perumahan depan. Walau sarapan hanya terisi menu sederhana, Gendhis bisa kenyang dan bahagia. Minyak sudah panas tinggal ubi dan pisangnya yang masuk ke wajan, untuk singkong biasanya Munah hanya mengukusnya bersama nasi. Kalau nasi sudah matang, biasanya Gendhis akan goreng telur atau bikin mie goreng saat pulang sekolah nanti. Untuk hari ini ibunya kebetulan tak masak, maklum tanggal tua.
"Nanti jangan lupa Emran dikasih."
"Siap." Jawabnya semangat. Untuk Emran ia akan memilihkan gorengan terbaik yang renyah sekaligus tak gosong. Pisangnya di kasih banyak karena calon suami masa depannya itu suka sekali pisang goreng. Munah selalu memikirkan perut Emran, tetangga sebelah mereka sekaligus anak sahabatnya.

Gorengan telah matang Gendhis taruh di meja, tinggal menunggu dingin dan Gendhis bisa mandi dulu. Sebelum masuk ke kamar mandi, tak lupa ia membawa seragam putih merahnya.
Setelah dia siap dengan pakaian rapi, minyak wangi dan juga muka yang sudah diberi bedak bayi. Gendhis melangkah ke kediaman Emran sembari membawa piring. Gendhis masuk melalui pintu belakang yang kebetulan pintunya sudah lama rusak dan tak bisa dikunci. Piring ia letakkan di meja dapur kemudian Gendhis mulai mencari Emran. Biasanya pemuda itu sudah bangun, mengingat ini juga hari pertama Emran mengikuti ujian masuk universitas.

Pintu depan belum terbuka, sebagian lampu rumah masih menyala. Gendhis tebak kakak tetangga rasa pacarnya itu masih enak bergelung dengan selimut. Ia mendorong pintu kamar Emran yang berbahan triplek itu pelan. Memang benar, manusia yang ia cari sedang tidur nyenyak di atas ranjang dipan. Kapan lagi si manis Gendhis bisa melihat sang pujaan hati tertidur lelap. Kata orang, wajah asli pria terlihat ketika tidur dan wajah Emran masih tampan tak berubah jadi joker tapi ketampanan Emran berkurang sedikit karena ada beberapa lebam menghiasi wajahnya.

"Kak..." panggil Gendhis lirih sembari mengguncang tubuhnya pelan. Emran melenguh lirih sebagai jawaban. "Kak Emran bangun. Hari ini kakak ujian kan?" barulah perlahan mata Emran mau membuka.

"Jam berapa ini?"

"Jam enam seperempat." Emran langsung duduk lalu mengusap wajahnya. Sadar telah bangun kesiangan. "Aku anter sarapan buat kakak. Hari ini kakak ujian masuk universitas, Kakak ada baiknya mandi tapi lukanya juga perlu di obati. Aku ambilin kotak obat di rumah dan aku gak akan ngadu ke ibu kalau kakak berantem."

Gendhis sudah melesat pergi sebelum Emran sempat menjelaskan. Luka ini diperoleh bukan dari berkelahi. Ia meraba luka di sudut bibirnya, pipi dan juga ujung alisnya. Rasanya sakit memang tapi ada yang lebih sakit. Tanpa sadar ia meraba dadanya, di sini tak dilukai namun rasanya lebih nyeri seperti tertusuk pisau.

Emran tahu impian melanjutkan sekolah hanya angan yang tak bisa diwujudkan. Biaya kuliah tidaklah murah, tabungannya belumlah cukup. Maka ia beranikan diri datang ke rumah ayahnya. Ferdinant Ang. Namun nampaknya hasilnya masih sama. Ayah kandungnya menolaknya bahkan kali ini lebih menyakitkan. Ferdinant menyebutnya anak pelacur, menendangnya keluar dari kantornya tanpa mau mendengar apa yang Emran minta. Dulu sekali saat ia berumur 10 tahun, di saat ia sering menanyakan siapa ayahnya pada sang ibu. Emran diajak almarhum ibunya ke rumah Ferdinant Ang untuk pertama kali, bukannya sambutan ramah yang mereka dapat tapi penolakan. Ferdinant mengancam mereka lalu melemparkan beberapa lembar uang sebelum mengusir mereka pergi. Dari sana Juan tahu kalau dia anak yang tidak diinginkan. Ferdinant sudah punya dua putra dari istri sahnya, mengakui Juan atau sekedar menanggung beban hidupnya adalah hal yang tak mungkin dilakukan Ferdinant karena dapat menodai nama baiknya. Tapi rupanya Emran tak punya kaca di rumahnya, saat ibunya sakit keras dan butuh biaya, Emran datang lagi meminta bantuan Ferdinant. Ia memang mendapatkan uang setelah di caci dan dihina habis-habisan, namun pengorbanannya terlambat. Nyawa ibunya tak dapat diselamatkan. Terakhir ia datang kemarin demi mengemis rasa perhatian dan juga uang, sayang ayahnya semakin berumur bukannya semakin dewasa malah semakin kejam. Ferdinant tidak memberinya uang malah menyuruh keamanan kantornya memukulinya dan melemparkan ke jalan seperti anjing.
Tak terasa air matanya jatuh dan langsung dihapus ketika mendengar derap langkah kaki kecil yang memijak lantai semen kasar rumahnya. "Untung aku tadi gak ketahuan ibu waktu ngambil kotak obat." Ucap gadis kecil itu sembari tersenyum.

Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang