Bab 28

2.4K 288 10
                                    

Kapan kita akan punya anak? “ suara Gendhis memecahkan kesunyian malam yang sebelumnya keduanya isi dengan deru nafas memburu saat bercinta. Emran masih telanjang begitu pun Gendhis namun kenapa di saat mereka sedang memadu kasih hal ini mesti di bahas.

Emran menghela nafas panjang. Wajahnya yang awalnya menghadap Gendhis kini dipalingkan ke atas, menatap ternit putih yang dihiasi ornamen lukisan dewa eros. Mereka kini ada di atas ranjang rumah mereka yang baru.

Gendhis menunggu saat tangan Emran dinaikkan satu untuk disandarkan di dahi. Pertanyaannya membuat Emran pusing. “Nanti, setelah abang bisa mengurus perusahaan Ferdinant. Setelah hidup kita tenang. “

Semua masalah mereka berpusat pada satu pembahasan yang berhubungan dengan pembalasan dendam. Kalau saja mudah memuaskan Emran, andai Sang suami mau melepas kisah masa lalunya yang pahit pasti mereka kini sudah bisa hidup damai.
“Abang sudah berhasil menyusup ke perusahaan Ferdinant, memiliki sahamnya juga. Abang punya beberapa bisnis, kita juga punya rumah yang layak untuk membesarkan anak kecil. “

Emran menengok raut muka Gendhis yang memberengut walau Cuma sesaat. Menghadirkan buah hati di tengah mereka di saat hidup mereka saja masih terancam rasanya tidak tepat namun bagaimana menjelaskannya. Ada banyak hal yang Erman tengah rencanakan dan anak bukan termasuk di dalamnya. “Kamu lagi sibuk, apa anak tidak akan mengganggumu? “

“Tidak. Banyak wanita karier yang pekerjaan dan keluarganya tidak akan terganggu. Lagi pula kita bisa memperkerjakan pengasuh untuk membantu. “

Semua terasa mudah di mata Gendhis. Emran tahu istrinya merindukan sosok bayi di dalam pernikahan mereka yang hampir berusia 10 tahunan ini. “aku juga sangat menginginkan anak tapi bisakah kau bersabar beberapa tahun lagi? “

Jawaban Gendhis adalah memalingkan muka lalu menghempaskan selimut. Gendhis memungut pakaiannya yang berserakan layaknya yang hatinya rasakan sekarang. Air matanya tak terbendung. Entah kenapa ia harus kesal dengan jawaban Emran yang selalu begitu. Apa sulitnya mengabulkan keinginannya. Toh Gendhis tak meminta banyak.

“Pernikahan kita belum di sahkan secara hukum kalau ada anak itu akan menjadi masalah nanti. “

Pernikahan mereka bagai suatu permainan yang Cuma bermodalkan selembar kertas putih. “abang tinggal ke pengadilan agama. Kenapa abang gak mengesahkannya? “

Gendhis mempunyai ketakutan dengan ditunda-tundanya waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Surat itu penting dan juga bisa memberinya jaminan hukum apabila Emran tiba-tiba mendepaknya ketika bosan. Membayangkan hal itu terjadi air matanya meluncur semakin deras. Bukannya ia mau berprasangka buruk namun perkataan Ferdinant begitu terngiang-ngiang di otaknya. Karier Emran semakin tinggi maka pria itu butuh pendamping yang sepadan. “Abang gak akan mengesahkannya? “tanyanya mendesak lagi namun jawaban sang suami hanya kebisuan semata. Sampai ia menarik engsel pintu pun Emran masih berada di tempatnya semula dan tak bermaksud mengejarnya.

Sedang Emran punya ketakutannya sendiri. Monster di dalam dirinya bisa saja membuat Gendhis meninggalkannya apalagi kesulitan-kesulitan yang dia hadapi karena egonya semata. Gendhis lama kelamaan akan menyadari jika pria yang ia nikahi bertahun-tahun lalu tak ubahnya manusia tanpa perasaan. Emran tahu betul Gendhis mencintainya, salahkah ia jika memanfaatkan perasaan itu supaya Gendhis mau bertahan? Masalah hatinya itu sepenuhnya rahasia Emran namun yang ia sadari hatinya terlalu kelam untuk menciptakan rasa kasmaran sekali lagi.

🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓

“Ndis gue udah iteman belum? “ Pamela datang, membawa perubahan yang tidak terlalu signifikan. “gue udah kayak laki pengantar paket belum? “yang ditanya malah melamun.

Pengantin kelabu Where stories live. Discover now