Bab 15

3K 318 4
                                    


Gendhis merasa luar biasa ketika menata sendiri lalu menentukan harga barang yang ada di tokonya. Gendhis dengan semangat ketika para kurir penyetok barang datang dan beberapa anak buah Emran datang membantunya. Pekerjaan terasa lebih ringan walau ia agak kecewa karena Emran tak kemari. Pria itu seperti biasanya sibuk dengan pekerjaannya apa lagi menjelang weekend akan ada pertarungan yang disiarkan di televisi secara langsung.

Ruko ini Cuma ada satu dapur dan satu kamar mandi sebagai pelengkap, ada juga satu kursi panjang untuk beristirahat di belakang namun hampir seluruh bangunan yang semula dua jadi satu ini diisi layaknya mini market yang menjualan segala kebutuhan sehari-hari. CCtv juga di pasang di bagian dalam dan juga parkiran kecuali kamar mandi. Gendhis sendiri sudah meminta salah satu temannya Mitha untuk bekerja padanya dan karena toko Ibunya juga sedang sepi, kawannya itu bersedia.

“Wah ada mini market. Senneg kalau belanja gak perlu jauh-jauh.”

Pelanggan pertama datang, yang membuat Gendhis menelan ludah adalah pelanggannya adalah seorang waria. Tapi waria ini berpenampilan sopan dan juga bermake up natural. Jarang-jarang kan waria tapi cantik sekali. Mitha dan Gendhis saling melihat dalam hati juga merasa iri.

“Ini Mbak belanjaan saya.” Gendhis melayaninya dengan ramah dan baik. Semua barang ditotal menggunakan mesin dan sebagai bukti, struknya dicetak dan diserahkan. “kenalin nama saya Pamela. Saya pemilik salon di sebelah.”

“Saya Gendhis dan teman saya Mitha. Saya pemilik toko ini.”

“Wow...” Pamela takjub pasalnya gadis ini terlalu mudah jika memiliki mini market sebesar ini. Apa gadis ini adalah pewaris kaya raya atau tuan tanah di kampung yang berhasil menjual tanahnya dengan harga tinggi.

“Kapan-kapan main ke salon ya? Pumpung lagi ada promo.”

“Iya.” Pamela melambai kepadanya sebagai ucapan selamat tinggal. Gendhis dan Mitha dengan kompak membalasnya dengan melakukan hal yang sama.

🐀🐀🐀🐀🐀🐀🐀🐀

Pertarungan yang disiarkan secara langsung mendapatkan popularitas dan rating yang tinggi, walau pertandingannya disiarkan pada pukul dua belas malam lebih namun penonton sangat antusias karena menunggu acaranya. Dampaknya Emran mendapatkan sponsor banyak dan popularitasnya juga tak diragukan lagi. Desas-desus tetang siapa dirinya terdengar di belakang layar. Ia adalah putra haram Ferdinant Ang, seorang pengusaha sukses. Tentu saja tua bangka itu murka namun apa yang bisa dilakukannya pada Emran yang namanya sedang naik daun.

Bisnis senjata api berjalan lagi bahkan ia bisa memasok senjata yang langka peredarannya. Senjatanya juga fleksibel, bisa ada surat ijin ada juga tidak tergantung permintaan pembeli namun Emran lebih terkenal sebagai suplier senjata terpercaya. Bisnis keamanannya naik kelas sebab sebagian anak buahnya juga ikut dalam turnamen. Emran punya rencana lain, ia ingin membeli saham Ang corp walau ia yakin hal itu mendekati mustahil.

“Saya bisa kan bertemu Tuan Emran?”
Suara seorang perempuan mengalun lembut terdengar sampai ke telinganya walau berbatasan dengan pintu kayu. “katakan saja Fiona sedang mencarinya.”

Emran mengetatkan rahang, tangannya terkepal di depan laptop. Perempuan masa lalunya datang. Ada baiknya ia menendangnya langsung ke luar seperti yang dilakukan Fiona dulu. Emran menggeleng pelan sembari berpikir lebih dalam. Ia punya rencana lain untuk perempuan itu.

Pintu dibuka oleh Emran sendiri. Di luar anak buahnya sedang berdebat dengan wanita tak tahu malu.

“Emran!” teriak Fiona kegirangan.

“Suruh dia masuk.”

Diberi kesempatan sedikit saja. Fiona langsung mendongakkan dagu lalu berjalan seperti kucing peliharaan yang telah diberi bandul berlian.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Gendhis seperti biasa, jika hari senin tiba ia akan masak banyak lalu mengirim makanan untuk anak buah Emran yang berada arena gelanggang. Kali ini masakannya terasa berbeda ketika Mitha ikut membantu.

“Biar aku ikut kamu ngunjungin Bang Emran ya?”

“Terus toko yang jaga siapa?”

Mitha langsung cemberut karena ditolak secara terang-terngan. Gendhis mencurigakan, dari dulu selalu tidak setuju jika ada gadis yang mendekati Emran. Katanya dulu Emran mau menikah tapi sampai sekarang pria itu tetap melajang.

Gendhis akan berangkat naik mobil yang Emran berikan, selain toko Gendhis juga dapat mobil namun ia masih dalam proses belajar menyetir. Tak apa memberi kejutan sedikit. Gendhis yakin akan selamat sampai tujuan walau jalannya akan seperti siput.

Gluduk

Perjalanan dari toko ke gelanggang berjalan aman. Untungnya jalanan hari ini lenggang tapi naas memang saat Gendhis memarkirkan mobil, ia menabrak bak sampah dan sedikit membuat pagar besi bengkok. Si penjaga parkiran sempat berkacak pinggang dan mau marah namun tak jadi ketika melihat siapa yang turun dari mobil picanto silver itu.

“Mbak Gendhis?”

“Iya pak. Maaf Gendhis bikin rusuh. Ini.” Ia memberikan sebungkus nasi dan juga sebotol teh. “Ini dimakan ya Pak. Nanti biar Gendhis sendiri yang bilang sama Bang Emran.”

“Iya gak apa-apa Mbak Gendhis. Mbak lagi belajar naik mobil ya?”

Gendhis mengangguk sembari tersenyum tak enak. Ia mengisyaratkan agar si tukang parkir mau mengerti. Emran tak akan marah padanya kan Cuma karena masalah sekecil ini.
Namun ketika masuk kekhawatirannya hilang. Anak buah Emran menyambutnya dengan tangan terbuka, lebih tepatnya menyambut berkresek-kresek makanan yang dibawanya. “Air minumnya ada di mobil. Salah satu dari kalian ambil ya?”

“Mbak Gendhis beli mobil?”

“Iya. Oh mobilku picanto silver ya?”

Beban di tangan Gendhis hilang sudah tapi ia masih menyisakan makanan dalam wadah tuperware untuk sang suami dan juga kopi panas dalam tumbler. Tempat ini seperti keluarga kedua untuknya. Ketika Gendhis menjelajahi tempat ini pun tak ada yang berani menegur. Ia naik ke lantai dua dengan ceria. Gendhis berpikir emran sudah terlalu banyak memberinya, tak apa jika Gendhis mulai menerima pria itu, melakukan kewajibannya sebagai istri. Memikirkannya saja sudah membuat pipi Gendhis memanas.

Ceklek

Kebodohannya adalah masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Gendhis terpaku karena melihat wanita masa lalu Emran sedang duduk bersama suaminya. Walau mereka berbeda kursi, tapi kedekatan mereka dapat membuat  Gendhis kaget sampai menjatuhkan tumbler.

“Maaf, aku ganggu kalian ya?”

Fiona menatapnya dengan kerutan di dahi. Emran menatapnya tajam seolah gendhis adalah tamu yang tidak diundang. Gendhis dengan panik memungut tumbler serta bergegas pergi.

“Dia Gendhis kan? Gendhis tetangga kamu. Dia dulu masih kecil, sekarang sudah besar ya?”

Tak disangka Fiona mengenalnya juga. Bagaimana reaksi perempuan itu jika tahu kalau Gendhis adalah istri Emran atau mereka sekarang berencana menjalin hubungan kembali? Gendhis tak tahu sekarang harus bagaimana.

“Aku ke sini Cuma mau ngasih makanan ke Abang.” Semoga saja Emran mau pun Fiona tak mendengar suaranya yang bergetar. Tenggorokannya tersekat karena menahan luapan emosi dan air mata.

“Taruh saja di situ.” Tunjuk Emran ke meja kerjanya. “Kamu tunggu abang di bawah ya? Abang mau bicara sama Fiona dulu.”

Gendhis menurut, tapi begitu pintu tertutup. Hati Gendhis hancur ketika mengetahui fakta yang harus diterimanya. Fiona datang di antara mereka, Fiona gadis yang Emran sukai, gadis cantik yang selalu menjadi pemilik hati Emran. Lantas Gendhis harus apa sekarang? Pernikahannya tak mungkin dilanjutkan, perasaannya bertepuk sebelah tangan, Emran selalu menganggapnya sebagai adik dan tak bisa menjadi lebih. Gendhis harus tahu diri, perannya sebagai istri akan berakhir. Sebelum itu terjadi, ia harus menguatkan hati. Sekarang lebih baik pergi dan bersembunyi untuk menenangkan hati.

🐀🐀🐀🐀🐀🐀🐀🐀



Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang