Bab 25

2.8K 345 8
                                    

Gendhis tertidur saat dipijat, rasanya badannya mau patah saat datang tadi. Rasanya menyenangkan Spa tanpa di pungut bayaran, lain dengan Pamela yang menggerutu karena badan Gendhis terlalu banyak menyimpan daki.

“Ini minuman buat lo,” ujar Pamela sambil menyodorkan segelas teh hangat. “kebo banget sih lo, tidur lama banget.” Di antara mereka kini tak ada batas. Komunikasi keduanya pun sudah tak menggunakan bahasa formal lagi.

“Jam berapa sih ini?”

“Jam delapan lebih. Pak Bima saja mungkin sekarang sudah bobok di toko.”

“Penjaga gue di mana?”

“Di depan Salon lah. Habis ini lo mandi terus kita makan malem. Ini tagihan lo.”

Kening Gendhis berkerut. “Masak gue juga bayar?”

“Lo pikir tenaga gue gratisan. Kita bisnis bukan buka panti pijat gratis.” Gendhis memberengut namun akhirnya juga mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. “Salon juga rame banget sampai badan gue gempor. Suami lo dapat pelanggan dari mana sih. kayaknya gue perlu tambah kapster satu.”

“Mana Gue tahu. Usaha gue aja juga kocar-kacir, gue cari karyawan tambahan susah.”

“Kalau gue capek. Biasanya gue minum. Gimana kalau kita makan terus minum.”

“Lo gila ya? Bisa diciduk gue sama Bang Emran. Penjaga gue juga mau ditaruh di mana?”

“Ah itu gampang. Kita bisa lewat jalan belakang sekalian kita ajak Mitha.”

“Sebenarnya sih gue penasaran rasanya minum dan ke luar malam tapi...” Gendhis memikirkan konsekuensi jika tertangkap oleh suaminya sendiri. Emran akan marah atau paling buruk mengamuk tapi selama ini pria itu tak pernah kan memukulnya.

“Jangan pikirin apa pun. Risiko nanti biar terjadi nanti. Cepetan mandi. Gue mau telepon Mitha.”

Pada akhirnya mereka bertiga pergi ke sebuah Klub malam yang tak jauh dari salon. Mitha dan Gendhis seperti dua gadis udik, bergandengan tangan ketika memasuki Klub. Pamela memutar bolanya dengan malas namun segera mengubah ekspresi jengkelnya ketika berhadapan dengan dua penjaga berbadan kekar. Penjaga itu membiarkan mereka masuk, mungkin karena tak tahan dengan rayuan Pamela.

“Kita kayak berada di tempat yang salah,” ujar Gendhis sembari menundukkan kepala. Ia mengamati pakaiannya sendiri. Kaos putih yang bergambar beruang coklat di padukan celana panjang robek bewarna biru muda. Mita tak kalah sederhananya, karena sahabat Gendhis itu memakai pakaian serupa, kaos lengan panjang dengan celana jeans hitam. Pamela sendiri memilih memakai dress lengan balon yang bermotif bunga ungu. Panjang gaunnya Cuma selutut tapi Pamela tertolong dengan make upnya yang tebal.

“Gue gak tahu bakal diajak ke sini setelah makan makanya gue gak siap-siap, ” Ujar Mita beralasan. Dia sendiri tak tahu harus mempersiapkan apa karena baru ke sini sekali.

“Kalian berdua jangan kelihatan udik. Kalau kalian gak cepet menyesuaikan diri, kalian akan jadi mangsa yang empuk buat pria hidung belang.” Keduanya bergidik saling menatap. Mita dan Gendhis lebih suka mengikuti Pamela dari belakang. Pamela memilih mengambil tempat duduk di bar, lalu memesan minuman. Dari tempat ini Pamela bisa melihat lautan manusia secara leluasa.

“Lo pesen minuman apa buat kita?”

“Tenang, Cuma fruit punch. Gue tahu kalian gak bisa minum.”

Mitha bisa bernafas lega, perlahan ia mengambil tempat duduk dan langsung mengambil minuman yang Pamela pesankan. Gendhis melakukan hal yang serupa sembari melihat kanan kiri, mencoba menikmati pemandangan tempat ini namun lama kelamaan ia malah bergidik.
.
Banyak pasangan bermesraan, banyak wanita yang memakai pakaian yang tak pantas dan dia juga ditatap aneh oleh orang-orang. Gendhis menaikkan dagu, memang apa yang salah dari penampilannya. Pelajaran yang Emran nasehatkan jangan tundukan kepalamu atau menganggap dirimu rendah, walau kau berbeda bukan berarti orang berhak memandangmu aneh tapi kalau dipikir Gendhis memang salah tempat.

Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang