Bab 11

2.7K 303 4
                                    

Gendhis kapok jika belajar bersama Emran tapi untunglah setelah mendekati ujian. Ia benar-benar diberi guru les beneran. Guru lesnya adalah seorang kepala tempat bimbel yang masih sangat muda dan cantik. Gurunya itu seorang wanita berhijab bernama Zahra yang punya sikap santun luar biasa, menundukkan pandangan jika berpapasan dengan Emran tapi menyembunyikan rona merah dan diam-diam tersenyum malu-malu. Apa akan ada satu orang wanita lagi yang bertekuk lutut pada suaminya, setelah para penghuni sekolahnya. Kalau Gendhis jangan ikut dihitung. Gendhis kebal pada pesona Emran malah sekarang tak jijik lagi jika disentuh. Mungkin perlahan hubungan mereka kembali seperti dulu seperti adik-kakak.
Gendhis mengamati suaminya ketika berdandan di depan cermin memakai kemeja, celana kain, sepatu mengkilat layaknya orang kantoran. Rambut pria itu di beri gel hingga bisa disisir rapi. Mata Gendhis yang buta kalau tidak terpesona, ditambah senyum cemerlang Emran ketika menyapanya.

“Abang kerja di kantor mana?”

“Kenapa tanya? Mau ikut abang kerja?”

Gendhis meringis tak enak, lalu melihat pakaiannya sendiri. Hari ini libur karena lusa akan di adakan ujian. Ia Cuma memakai kaos rumahan bergambar anak kucing serta celana kolor sedengkul. “Emah boleh anak di bawah umur main ke tempat kerja orang dewasa?”

“Boleh. Mau ikut?”

Gendhis menimbang lama lalu tapi pikirannya mengarah ke sang ibu yang terbaring sakit. Ibunya juga aneh, melarangnya memberitahu Emran keadaan Munah dan tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya Cuma masuk angin biasa dan akan sembuh diberi obat warung. “Enggak Bang, Gendhis di rumah saja. Rumah juga lagi kotor perlu dibersihkan.”

Dahi Emran mengerut dalam sebab rumahnya sudah ia sapu tadi pagi. Rumah Gendhis mustahil kotor karena Munah seorang yang sangat menjaga kebersihan. “Ya udah, abang berangkat.”

“Jangan lupa bekal abang Gendhis taruh di meja.”

Emran sebenarnya agak malu membawa rantang yang Gendhis beri tapi mau bagaimana lagi. Gadis itu pasti kecewa kalau tahu makanan masakannya selalu Emran serahkan ke anak buahnya.

**********

Emran hampir membalik meja yang ada di depannya setelah puas melempar semua barang yang ada di ruangannya. Gudang senjatanya di segel polisi karena melanggar hukum, gudang ganjanya terbakar semalam dan ijin arena gelanggangnya terancam dicabut karena pelaksanaannya mengalami timbang tindih dengan peraituran yang berlaku, belum lagi bisnis tukang pukulnya mengalami masalah karena perijinannya tak sesuai peraturan badan pengelolaan keuangan negara. Emran tahu bisnis yang dijalani mengandung banyak risiko dan juga kendala namun kenapa semuanya hancur secara bersamaan.

“Bos, ada surat panggilan dari polisi.”

Surat bersegel dan beramplop coklat itu ia buka kasar. Berurusan dengan polisi akan panjang dan menghabiskan banyak uang belum lagi ia harus menyewa pengacara yang handal. Emran menjatuhkan kepalanya di meja lalu membenturkannya berulang-ulang. Semua bisnisnya ia capai dengan kerja keras dan konsistensi semuanya raib dalam sekejab mata. Kalau tidak malu dan gengsi, Emran pasti akan menangis.
Ponselnya di ujung meja berbunyi, mungkin pengacara yang ditunjuknya menghubunginya.

“Hallo.”

Lawan bicaranya tak menjawab malah tertawa terbahak-bahak di ujung sana. Samar-samar Emran tahu suara siapa itu. Ia menggeram marah dan mengepalkan tangan ketika sadar sedang diejek.

“Bagaimana sekarang? Kau sudah mau menyerah ketika semuanya hancur.”
Itu suara milik Ferdinant Ang!

“Kau pasti berada di belakang semua ini!”

Ferdinant malah tertawa lagi sampai air matanya ke luar. “ Sudah ku bilang, batasi pencapaianmu. Jangan terlalu menonjol, jangan menjadi pusat perhatian hingga orang akan menghubungkan siapa kita. Kau keras kepala dan terpaksa aku menggunakan cara kotor untuk menghancurkanmu.”

“Kau benar-benar pria jahat! Pria tua bangka bangsat!!”

“Tapi aku masih berbaik hati, akan ku bantu bisnismu asal kau datang ke mari dan memohon. Kau juga harus berjanji puas dengan bisnismu sekarang.”

Emran berdiri mencoba memukul lemari yang terbuat kayu jati hingga buku tangannya berdarah. “Sampai mati pun aku tidak akan pernah tunduk padamu!Lihat saja kau akan membayar perbuatanmu ini hingga tak mau hidup lagi!”

Emran menutup panggilan itu lalu membanting ponselnya ke dinding. Ia bukan salah satu anak yang mewarisi gen pengecut Ferdinant Ang. Emran anak ibunya yang terlahir dari lumpur, yang memulai segalanya dai bawah. Emran seorang pejuang dan petarung, menyerah serta mengalah tak ada dalam kamusnya. Ferdinant sudah menabuh genderang perang maka Emran akan bangkit dan membuat sisa hidup Ferdinant seperti di neraka.

🐇🐇🐇🐇🐇🐇🐇🐇

Gendhis khawatir pada keadaan ibunya yang tak kunjung sembuh dan bila ditanya Munah selalu menjawab ia cuma batuk biasa dan kecapekan makanya membutuhkan istirahat yang banyak. Saat Gendhis menawarkan membawa Munah ke rumah sakit besar, ibunya dengan keras kepala menolak. Makanya di saat genting seperti ini Gendhis menelepon Emran, tapi ponsel pria itu tidak aktif. Suaminya itu juga sudah tiga hari tidak pulang. Ke mana Emran berada? Apa mungkin pria itu punya wanita lain, mengingat Gendhis juga tak mau memenuhi kebutuhan biologisnya. Gendhis menggeleng keras, gagasan tentang pelakor itu gila. Secara umum Gendhis Cuma istri siri, tak berhak marah apalagi cemburu. Mungkin di luar sana Emran bertemu wanita idaman yang cocok untuk dijadikan istri sah. Membayangkan masalah itu Gendhis rasanya ingin menangis tapi Munah memanggilnya untuk mengambilkannya air minum.

Emran tidak tidur beberapa hari ini, pikirannya lelah dan tubuhnya lelah. Panggilan kantor polisi bisa diselesaikan dengan mudah, ijin usahanya bisa dirundingkan tapi memulai bisnisnya dari awal membuat kepalanya hampir pecah. Mobilnya telah digadaikan, arena gelanggang juga telah ia jaminkan ke Bank. Kali ini apa yang tersisa darinya? Apakah rumah ibunya juga akan ikut dijual. Dia juga baru ingat meninggalkan Gendhis tanpa kabar.

“Hallo?” Emran berinisiatif menghubungi Gendhis melalui telepon kantor tapi bukannya Gendhis menjawabnya dengan nada ceria, istrinya itu malah menangis.

“Abang di mana? Abang ke mana saja, kok aku hubungi gak bisa.”

“Kamu kenapa?”

“Bang ibu ada di rumah sakit, ibu sakit parah.”

Emran memejamkan mata lalu memijit pelipisnya. Masalahnya datang secara bertubi-tubi. Usahanya terguncang dan sekarang mertuanya berada di rumah sakit. Di saat seperti ini ia jadi ingat Tuhan, Emran berharap Tuhan mau memberinya sedikit kasih sayang dan rahmatnya. Jangan tambah beban hidupnya tatkala ia sedang ebrada di titik terbawah.

🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒

Jangan lupa vote dan komentarnya

Pengantin kelabu Where stories live. Discover now