Bab 13

2.6K 316 9
                                    


Hari itu tepat setahun Emran tak pulang. Rutinitas Gendhis seperti biasa, berangkat kerja sesuai sift lalu saat libur ia akan main ke tempat Mitha, Nur atau Sonya. Kesepian jelas mendera namun Gendhis masih diberi untung sebab uang bulanannya dari Emran tak pernah putus. Menurut agama ia masih sah istri Emran, Gendhis tak disentuh itu pun karena ia sendiri juga belum mau. Namun ketika melihat sepasang muda-mudi pacaran, ia merasa iri.
Gendhis juga ingin ada di posisi mereka, berboncengan naik motor dan makan di arung pinggir jalan lalu jalan-jalan menyusuri trotoar Cuma untuk bergandengan tangan. Terus terang ada kawannya, karyawan supermarket menaruh hati dan terang-terangan mendekatinya. Gendhis enggan berhubungan lebih lanjut. Statusnya yang tidak jelas menjadi penghalang. Janda bukan, seorang istri apalagi.

Pagi itu Gendhis hampir menjerit, ketika terbangun dengan orang asing di sampingnya. Namun nafasnya mulai teratur ketika melihat wajah siapa yang sedang tidur dengan damai sembari memeluk pinggangnya itu. Ternyata Si abang toyip telah pulang, yang Gendhis heran adalah bagaimana cara Emran masuk tanpa membangunkannya? Apa lelaki ini memiliki kunci cadangan? Jelas punya kan ini rumahnya.

Gendhis menarik nafas supaya tak marah-marah ketika adzan tubuh berkumandang. Ia Ingin mengguncang tubuh suaminya atau menendangnya hingga jatuh ke lantai. Tindakan bar-bar itu dilakukan agar lelaki itu segera bangun lalu Gendhis akan meminta penjelasan ke mana saja Emran pergi selama ini? Tapi Gendhis tak tega ketika melihat wajah Emran yang kusut, persi seperti muka orang yang merasakan kelelahan yang amat sangat. Ada baiknya Gendhis ke dapur lalu menyiapkan sarapan sambil menunggu Emran bangun.

Suaminya bangun setelah jam sembilan lebih seperempat. Emran bergegas ke kamar mandi, mengacuhkan Gendhis yang duduk sembari menyilangkan tangan di bawah payudara.
"Abang pulang jam berapa?" tanyanya membuka percakapan ketika Emran telah selesai mencuci muka. Wajah Emran sudah segar siap untuk dicecar dan mendengar cacian.

"Jam sebelas. Kamu udah tidur waktu abang datang."

Gendhis memejamkan mata sambil mengatur nafas. Ia berusaha bersabar, tidak baik sepasang suami istri bertengkar setelah lama LDR namun pantaskah mereka diberi label LDR kalau yang satu tidak memberi kabar. "Terus abang selama ini dimana? Kok gak pernah pulang."

"Kamu khawatir?" ditanya hal serius malah tertawa, Gendhis ingin sekali mencacah wajah Emran yang tak punya gurat rasa bersalah itu. Gendhis tidak khawatir Cuma kesal karena merasa diacuhkan padahal sebelumnya Emran selalu ada full untuknya.

"Pernah gak abang mikirin gimana nasibku ketika abang tinggal?"

Emran tidak bodoh, ia meninggalkan Gendhis karena yakin hidup gadis itu berjalan cukup baik. Mereka tidak punya perasaan romantis hingga harus sedih ketika berjauhan. Lalu mata Emran menyipitkan padangan. Gendhis nampak murka saat pertama kali melihatnya.

"Kamu kerja di tempat bagus dan punya motor juga. Uang bulananmu tak pernah telat aku kirimkan. Aku memikirkan segala kebutuhanmu." Dan mengawasi Gendhis dari jarak jauh juga.

Gendhis siap memukul meja, namun tak dilakukannya. Meja peninggalan Munah bisa rusak sekali gebrak. "Abang, nasibku terkatung-katung. Orang pada ngertinya aku single, gak punya suami tapi aku nyatanya punya suami. Suami yang ninggalin aku tanpa status yang jelas. Surat nikah gak punya juga. Aku itu bingung kalau ada yang deketin, kalau ada yang ngajakin nikah aku harus bilang apa. Aku gak perawan karena diperkosa? Mana ada yang percaya!"

Itu juga yang menjadi kekhawatirannya, Emran mengelap wajahnya dengan kasar menggunakan handuk kecil. Surat nikah mereka memang belum di urus, karena ia takut jika surat nikah mereka ada Gendhis tak akan berpikir dua kali untuk membawanya ke pengadilan agama dan meminta cerai. Emran memegang janjinya pada Munah. Kalau pada akhirnya mereka berpisah, ia akan membantu mencarikan pria yang cocok dengan gadis ini. Anak buahnya juga tak bilang, kalau ada yang mendekati Gendhis.

"Apa ada lelaki yang mendekatimu? Apa ada pria yang memintamu untuk jadi kekasihnya."

Gendhis tersenyum pahit, itu jelas ada. "Abang kira aku gak laku? Ada pria yang mendekatiku, tapi abang gak perlu tahu."

"Intinya status kita mengganggu?"

"lah Abang pikir aja sendiri."

Gendhis cemberut lalu memalingkan muka ke jendela. Beberapa saat lalu emosinya merambat naik namun mendengar ucapan Emran yang lembut dan hangat, hatinya tak tega mau marah-marah. Dasar Gendhis labil.

"Kalau ada cowok yang deketin kamu, suruh temuin abang dulu. Kamu berhak pacaran atau punya suami lagi, biar abang teliti dulu cowoknya baik apa gak."

Kenapa jawaban itu membuat Gendhis kesal setengah mati. Apa yang diharapkan dari Emran? Pria itu akan marah dan mengakui kalau Gendhis miliknya. Ia mengerutkan hidung lalu menggeleng pelan. Pikiran macam apa itu? Dikira mereka saling mencinta dan punya kisah layaknya kisah dongeng asmara.

"Kenapa gak dibikin simpel aja. Abang bisa menceraikanku biar kita sama-sama bebas."

Andai bisa begitu, Gendhis sudah menjadi tanggung jawabnya ketika mereka menikah. Suka tidak suka nasib gadis ini ada di tangannya, siapa yang Gendhis suka juga akan jadi urusannya. Apa pun yang menyangkut Gendhis, ia akan ikut campur termasuk mencari pasangan.

Di mata gendhis suaminya suka memperumit keadaan. Apa untungnya Emran dengan pernikahan ini. Gendhis juga menyimpan luka dan kecewa, seolah diperlakukan sebagai wanita yang tidak penting. Emran layaknya jalangkung yang datang tak diundang dan pergi semaunya. Gendhis dengan gejolak mudanya, tak tahan diperlakukan begini. Ia berkeinginan bebas, punya kehendak dan pasti punya pria idaman juga.

"Kamu akan bebas tapi bukan sekarang."

"Abang kira bisa ngatur hidup aku. Abang gak pernah menjelaskan ke mana saja selama ini. Abang datang setelah ingat pernah meninggalkan seorang istri di suatu tempat seolah aku itu Cuma barang di lemari tua yang akan kelihatan kalau abang lagi bersih-bersih."

Mendengar keluh kesah Gendhis, Emran hanya bisa diam. Yang Gendhis katakan benar namun Emran sendiri tak mau membagi masalahnya pada gadis muda ini. Di jelaskan detil perkerjaannya pun, Gendhis tidak akan tahu atau yang paling parah tidak terima.

"Abang kerja. Abang akan ajak kamu ke tempat abang kerja kalau kamu libur."
Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Emran mengatakannya seolah pergi ke tempat lelaki itu bekerja sangatlah mudah, Seperti tempat kerjanya adalah milik Emran sendiri. Tak apa menerima tawara suaminya. "Oke aku mau ke sana."

Setelah lama tak bertemu mereka melepas rindu dengan saling duduk dan sarapan tanpa suara. Emran menyimpan banyak hal yang Gendhis korek tapi harga dirinya selalu bilang bahwa apa hak Gendhis? Istri tanpa surat nikah tak punya kewenangan dan kekuasaan atas hidup suaminya. "Abang belum punya pacar lagi? Kok diajakin cerai susah amat."

"Kenapa kamu mau tahu?"

"Abang gak pulang, mungkin kan punya wanita lain." Pancingan bodoh. Lihat saja Emran sudah mengembangkan bibir, tersenyum menggoda ke arahnya.

"Abang kerja, gak sempat mikirin wanita mana pun." Gendhis juga ikut dihitung? Pantas saja hilang tanpa kabar.

"Memang kamu ke ganggu kalau abang punya pacar?"

"Enggak." Emran saja malah mengusulkan menjadi bapaknya ketika ia punya pasangan. Gendhis pun juga bisa begitu. "Tapi kalau abang punya, tolong kasih tahu Gendhis."

"Buat apa?" Gendhis melotot tak terima. Ia berhak diberi tahu agar bisa menyiapkan hati. Suami punya pacar masak harus senang dan mengucapkan selamat. Cuma Emran yang bisa berlagak sok peduli sekaligus menyakiti. Ingin menyeleksi lelaki untuk Gendhis, layaknya menyatakan mencari pria yang tepat untuk mantan istri. Hati Gendhis tak sekuat itu!

"Aku mau nanti kita cerai baik-baik."

Suapan nasi uduk Emran berhenti tepat di depan mulut. Gendhis selalu bilang cerai...cerai..cerai sampai telinganya bosan. Ada baiknya memang pernikahan mereka tidak perlu diresmikan.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang