Bab 24

2.6K 339 8
                                    


Emran memang banyak diam setelah pulang dari tempat Ferdinant namun Gendhis seakan tahu jika emosi sang suami sangat rentan dan tidak stabil. Gendhis mendengar Emran berteriak marah, beberapa bunyi barang juga dibanting juga membuatnya ter jingkat.

Gendhis tentu takut. Semakin lama ia semakin mengenal suaminya siapa. Dengan pelan Gendhis membuka pintu ruang kerja. Keadaan ruangan memang seperti yang ia bayangkan.
Sang suami duduk di kursi berputar sembari menundukkan wajah di meja. Perlahan dengan mengumpulkan keberanian, Gendhis mendekat meraih lengan suaminya untuk dibelai. Gerakan pelan dan penuh sayang itu mampu membuat emosi Emran sedikit mereda. Gendhis juga mendaratkan pelukan hangat sambil mengeratkan tubuh mereka. Ia merasakan nafas Emran yang mulai stabil, dan jantung pria itu kini perlahan berdetak normal.

"Amarahmu membuatku takut," ujar Gendhis sembari mengecup leher suaminya dari belakang. Emran sangat marah sampai tak menyadari jika Gendhis tadi melihat sisi monster dari dirinya. "Kau marah?"

"Aku marah pada tua bangka itu tapi lebih marah pada diriku sendiri. Aku gagal menjagamu."

Perlahan air mata Gendhis mulai luruh. "Itu juga salahku yang tidak waspada."

"Maaf," ucap Emran sembari merebahkan kepalanya pada lengan Gendhis. Ia menyerah dalam kelembutan sang istri. "Kau harus terlibat dengan dendam pribadiku."

"Untuk apa minta maaf? Kita suami istri. Kita berbagi apa pun, baik masalah maupun kesenangan."

"Aku juga lupa Ferdinant pria yang berbahaya."

"Bukannya dalam hidupmu bahaya akan selalu mengintai?"

Barulah senyum Emran timbul. Istrinya bukan lagi gadis polos nan naif yang ia kenal beberapa tahun lalu. Gendhis perlahan berubah atau sebenarnya Gendhis memaksa untuk menyesuaikan diri. Walau ucapan wanita ini begitu teduh namun Emran menangkap sorot mata ketakutan. Gendhis belajar dewasa dengan tidak mengungkapkan apa yang dirasakannya secara gamblang.

"Hidup yang ku ambil tidak mudah dan murah. Semakin aku berkuasa semakin musuhku banyak. Pekerjaanku berbahaya."

"Semakin tinggi pohon maka semakin besar anginnya kan?"

Perlahan Emran menarik tangan Gendhis, wanita ini ia dudukkan di pangkuannya. "Karena itu aku selalu menyuruhmu belajar kan?"

Gendhis menyipitkan mata berusaha menahan senyuman masam. "Pelajaran yang kemarin saja belum sempat aku pelajari."

"Sekarang akan banyak pelajaran tambahan. Kau harus bisa menjaga dirimu sendiri walau aku juga akan memberimu penjaga. Kau harus kuat dan tega supaya tidak mudah percaya pada orang dan dihormati. Mengerti?" Walau Nasehat Emran terasa ringan namun di nada terakhir mengandung tuntutan.

"Mengerti."

Ini adalah sebuah perintah yang Erman minta. Tak ada salahnya menuruti tapi Gendhis tetap merasakan was-was. Apa jalannya ke depannya menjadi istri Emran begitu sulit. Teringat ucapan Ferdinant Ang, jika Gendhis suatu hari nanti akan tergantikan. Pria yang menatapnya penuh damba ini akan menyingkirkannya apabila Gendhis tak memenuhi harapan. Begitukah? Tentu tidak. Omongan Ferdinant Cuma omong kosong belaka. Di hati Emran memang belum tumbuh cinta karena sering terlukai dan dikecewakan tapi Gendhis dapat memastikan jika hati Emran telah pulih maka namanya yang akan memenuhinya.

"Apa yang kau pikirkan?" Gendhis kaget saat Emran bertanya sambil menyentil jidatnya.

"Aduh. Aku bukan anak kecil!"

"Apa tua bangka itu mengatakan sesuatu padamu?"

"Tidak banyak, Hanya beberapa omong kosong dan dia mengungkapkan betapa dia membencimu."

Pengantin kelabu Where stories live. Discover now