Bab 4

3.3K 303 3
                                    

Gendhis mengucek mata lalu melihat jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Ia ketiduran di atas meja karena terlalu rajin belajar. Sekeras apa pun usahanya, angka nilai ulangannya tak lebih dari tujuh. Gendhis sadar diri jika otaknya tidak pintar. Belajar belum sampai sejam, kepalanya sudah berat dan minta di istirahatkan.

Sepertinya ia juga melupakan sesuatu. Oh iya makan malam untuk Emran belum di antarkan. Semoga saja pria itu belum pulang. Gendhis bergegas ke ruang makan menata piring lalu mengantarkannya lewat pintu belakang.
Pintu Belakang rumah Emran jarang di kunci. Sekali putar, pintu itu terbuka. Gendhis akan meletakkan makanan ini di meja dapur lalu pergi namun niatnya terhenti ketika mendengar tawa cekikikan perempuan dan laki-laki.

Apakah Emran menyewakan rumahnya ini? Dengan mengumpulkan tekad, Gendhis berjalan mengendap-ngendap ke ruang tamu. Ternyata Emran sedang duduk di sofa sembari memangku perempuan. Di meja terdapat beberapa botol minuman dan ada seorang perempuan lagi yang mengelus kaki Emran.

Pemandangan macam apa ini? Gendhis hampir muntah. Ia masih mentolerir jika Emran mabuk tapi tidak dengan membawa pelacur. Maka ia berdiri di depan mereka sembari berkacak pinggang tapi tingkahnya itu malah membuat para orang dewasa di depannya tertawa terbahak-bahak.

“Apa gadis kecil ini akan bergabung dengan kami?”

Gendhis memelototkan mata sembari memasang wajah garang, tapi sepertinya tiga orang dewasa ini menganggapnya Cuma badut dan berhak untuk di tatap geli. Gendhis naik darah, boleh saja umurnya kecil namun nyalinya tidak. Ia mengambil beberapa botol alkohol lalu membuangnya isinya ke dapur. Seorang pelacur berteriak panik sembari mengejarnya namun Gendhis yang marah lebih menakutkan. Ia memukulkan salah satu botol dengan wastafel.

“Kalau kamu berani maju. Pecahan botol ini akan menggores perutmu!”
Sebuah ancaman nyatanya ampuh. Pelacur itu mundur dan segera mengajak kawannya pergi dari sana. Tinggal membereskan satu lagi biang masalah tapi setelah membuang semua minuman alkohol ini.

“Apa hakmu melarangku minum alkohol dan menikmati pelacur!”

Gendhis tetap diam di tempat ketika Emran menghampirinya sambil membawa sebotol minuman. “Jawab aku sialan!”

Gendhis kaget karena lengannya di renggut kasar. Pria yang wajahnya hanya beberapa centi ini menatapnya murka. Ia menangkap nafas berbau alkohol dan mata Emran yang sangat tajam hendak mengulitinya. “Abang harusnya gak mabuk-mabukan! Cuma karena perempuan abang menghancurkan diri sendiri!”

Diingatkan tentang Fiona membuatnya hilang kendali. “Jangan ikut campur urusanku! Tahu apa dirimu tentang patah hati? Jatuh cinta?”

Mata Gendhis bergerak gelisah. Ia tahu semua itu karena menyukai Emran namun ia sadar yang di hadapinya ini adalah seorang pria mabuk yang telah disakiti hatinya. “Kamu tidak tahu rasanya di campakkan. Kamu tidak tahu rasanya di buang karena uang. Kamu tidak tahu rasanya tidak di akui lalu di usir oleh ayahmu sendiri!”

Emran menekan jemarinya terlalu kencang, hingga mungkin membuat tulang lengan Gendhis remuk. Ia memahami penderitaan Emran yang mengubah pria ini sekarang jadi monster. Gendhis harus segera lari karena Emran bukan lagi abang kebanggaannya yang akan memanggilnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Susah payah, ia keluar dari cengkeram Emran. Namun tenaga lelaki itu tidak sebanding dengan tubuhnya yang kecil. Emran menangkapnya dengan sangat mudah. “Kamu telah mengusir kesenanganku. Pelacurku semua pergi karena dirimu. Impas jika kamu menggantikan mereka.”

Gendhis yang ketakutan semakin memberontak. Belum sempat ia berteriak, mulutnya di bekap Emran. Tubuhnya di seret masuk ke kamar yang berada di lantai bawah.

Sampai di sana, Emran membantingnya ke ranjang lalu mengunci kamar. Kaki Gendhis mencoba menendang namun dengan mudah Emran tangkap. Emran menindih tubuhnya yang kecil di atas kasur. Gendhis memberontak apalagi ketika Emran memaksakan ciumannya yang kasar. Bibir pria itu terasa getir dan berbau alkohol yang sangat menyengat.
“Apa hanya segitu perlawananmu?”
Gendhis mendorong Emran tapi naas saat dapat kabur, kaosnya di tarik pria itu hingga robek. Gendhis malu sekali, sebab sekarang dalamannya yang bewarna putih gading terpampang nyata.

Emran dengan sigap menangkap pinggangnya lalu mengembalikan Gendhis ke tempat semula. Awalnya ia meremehkan gadis ini, meremehkan kekuatannya. Kali ini Emran tak akan memiliki belas kasihan. Ia menarik paksa celana kolor kain yang Gendhis kenakan. Hingga terpampang jelas tubuh Gendhis yang Cuma di balut dalaman murahan. Emran yang tidak peduli lagi dan tengah di kuasai alkohol, mencium setiap bagian tubuh Gendhis dengan membabi buta.

Gendhis Cuma menangis, tenggorokannya terlalu tersekat untuk berteriak meminta tolong. Hatinya hancur, ketika menyaksikan jika orang yang dia kagumi dan sukai bisa melakukan hal sekeji ini. Emran seperti binantang kelaparan, melucuti pakaiannya sendiri dengan tergesa-gesa lalu mulai menelajangi penutup terakhir Gendhis. Gadis itu bak hidangan nikmat yang siap di santap.

Gendhis terlalu buta dengan lawan jenis. Sentuhan Emran pada semua bagian tubuhnya yang sensitif menimbuilkan perasaan ganjil serta asing hingga tak sadar jika Emran mulai membuka kedua pahanya dan memasukkan benda asing di sana. Gendhis tahu jika seorang gadis punya himen untuk menandai dirinya masih perawan tapi tidak tahu jika rasanya akan perih jika himen itu robek. Hubungan intim yang di bilang nikmat rasanya menyakitkan apalagi ketika melihat Emran menjulang di atasnya dan menggeram rendah seperti orang kesakitan. Gendhis Cuma dapat melanjutkan tangis sebab sadar jika masa depannya akan berubah, apa lagi di tambah berat badan Emran yang jatuh tepat di atasnya.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang