Bab 31

3.2K 292 4
                                    

Emran terluka, Gendhis sebagai istri wajib mengobati namun ia memilih mengunci mulut dan membiarkan tangannya yang bekerja. Emran tahu Gendhis murka melihat dari raut wajahnya yang memberengut serta mata yang tak mau langsung menatapnya. Sebenarnya jika Gendhis tak datang tadi, mungkin saat ini ia bisa menghabisi Juan namun bukannya menyenangkan melihat Juan kalah dan dipermalukan. Emran mau tersenyum namun ia mendapat sengatan sakit saat Gendhis menekan keras luka di pipi kanannya.

“Abang puas? “

“Puas kenapa? “

“Menganiaya Juan. “ Gendhis diam sambil menata obat pada tempatnya. Ia menunggu jawaban sang suami. Dari gelagatnya tadi Emran sepertinya bukan Cuma puas namun juga kesenangan. “Dia Juan kan? Adik abang. Abang kok setega itu! “

“Dia bukan adikku. Anak Ferdinant bukan keluargaku. Aku puas bisa menghabisinya, melihat wajahnya yang seperti pecundang itu tergeletak dan dipermalukan. Sama seperti aku yang dulu pernah dilemparkan ke jalanan. Aku yang serba kekurangannya sedang Juan menerima segala kemewahan. Aku makan dari piring yang mungkin di rumah Ferdinant digunakan untuk memberi makan anjingnya. Aku harus bertarung, menggadaikan nyawa sedang Juan dan saudaranya tidur nyenyak, bisa naik mobil mewah, mendapatkan pendidikan terbaik dan pakaian bagus. “

“Cukup! “ Gendhis berdiri, mengembalikan kotak obat ke tempatnya lalu duduk kembali untuk mengguncangkan bahu sang suami.

“Abang gak pernah bisa memaafkan kalau terus begini. Abang akan diliputi dendam sampai akhir. Abang tidak bersyukur bisa seperti sekarang ini karena abang berjuang bukan diberi atau di bawah belas kasihan orang. Abang boleh menyalahkan Ferdinant tapi tidak anaknya, yang gak tahu apa-apa. “

Emran membuang muka. Tahu apa Gendhis tentang masalah hatinya, penderitaannya. Tahu apa Gendhis arti berjuang jika selama ini yang gadis itu terima adalah pemberiannya.

“Bang tatap aku. “ Gendhis mencoba meraih wajah suaminya. “sampai kapan abang begini. Aku ingin hidup damai. Kita bangun keluarga, maafkan ayah abang. “ semua tak segampang yang diucapkan. Emran dari sini tahu jika sampai kapan pun Gendhis tak akan memahaminya. Jalan pikiran mereka berbeda, impian dan target hidup mereka berbeda. Bahwa Emran mulai berpikir bahwa sesuatu yang besar membutuhkan pengorbanan yang sepadan.

🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉

Hubungan Gendhis dan Emran merenggang karena kejadian di Makassar itu. Keduanya masih berkomunikasi walau tak sehangat dulu. Gendhis menyadari jika Emran lama kelamaan jauh dari jangkauan. Pria itu semakin berambisi untuk menjatuhkan Ferdinant melalui anaknya yang lemah. Gendhis sudah tak bisa mengontrolnya lagi bahkan ia sendiri takut suatu hari Emran juga akan meremukkan hatinya.

Tengah melamun, ia jadi tak menyadari sudah berjalan jauh. Ini sudah dekat dengan rumahnya yang dulu yang sekarang ia kontrakan untuk orang lain. Kalau saja sang pengontrak tidak cerewet menyangkut masalah Air, mana mau ia ke sini. Sempat berpikir mengirim Bima saja namun Gendhis tahu etika berbisnis walau bisnisnya juga dengan rakyat kecil.

Namun ketika sampai matanya menyipit mengawasi seorang perempuan yang datang ke kontrakannya. Perempuan itu terlihat familiar atau ingatan Gendhis yang agaknya bermasalah. Tapi saat ia memanggil-manggilnya eh malah perempuan berjalan cepat seperti pencopet.

🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓

Walau hubungan mereka tak sama namun Emran masih makan masakannya. Sambil mengaduk nasi Gendhis memikirkan perempuan yang ia temui kemarin. Ia baru ingat kalau itu tunangan adik Emran yang menutup mata saat Emran dan Juan bertarung. Mau apa perempuan itu menanyakan Ibu suaminya ketika membahas masalah ini dengan Emran. Suaminya itu malah marah dan meninggalkan meja makan.
Gendhis Cuma takut akan nasib tunangan Juan, semoga saja tak di apa-apa kan suaminya.

Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang