Bab 6

3.4K 307 5
                                    

Mereka duduk di bangku di pinggir danau buatan di tengah kota. Gendhis yang mengusulkan tempat ini sebab ia takut jika Emran berbuat yang macam-macam. Jadilah dipilihlah danau dengan para pengunjungnya yang ramai. Walau risih tapi Emran harus banyak bersabar, apalagi Gendhis memilih duduk dua meter jauhnya.

"Duduknya bisa agak ke sini. Abang mau ngomong, nanti gak kedengeran."

Mata Gendhis menatapnya seperti anak rusa minta diberi makan. Gendhis memainkan tali tasnya sembari menggeser duduknya beberapa centi. "Agak ke sini lagi." Gendhis geser perlahan-lahan dan membuat Emran berdiri karena tak sabar.

"Oke aku akan duduk deketan abang tapi jangan sentuh aku!" peringat gadis itu keras-keras menahan tangan Emran di udara. Jadilah Emran memilih mengambil duduk di dekat Gendhis. Biarkan ia saja yang mengalah.

"Kamu tahu apa yang kita lakukan kemarin itu resikonya apa?"

Gendhis mengangguk sembari berujar, "Aku baru aja datang bulan pagi ini." Satu kekhawatiran Emran musnah.

"Kita sudah melakukan hubungan intim."

"Abang perkosa aku. Itu bukan hubungan intim tapi pemaksaan."

Gendhis ada benarnya, maka Emran akan membahas hal yang terpenting saja. "Kamu melakukannya pertama kali. Kamu tahu artinya kalau anak gadis sudah kehilangan keperawanan?"

"Gak akan ada yang mau sama aku? Aku akan di pandang tercela karena sudah gak perawan sama suamiku nanti," ucapnya sepelan mungkin sembari memainkan kuku. Emran tahu kepedihan gadis ini namun yang dibilang Gendhis tak sepenuhnya benar.

"Gak semua laki-laki berpikiran sesempit itu," ungkapnya ketika merasa jika air mata akan jatuh.

"Tapi laki-laki baik mau istrinya masih perawan," jawab Gendhis dengan suara serak.

Emran semakin di dera rasa bersalah ketika melihat Gendhis mulai mengusap air mata. Gurat wajahnya kian muram. Nasi telah menjadi bubur dan ia bertanggung jawab akan itu. "Kalau begitu kamu nikah sama abang aja."

Mata Gendhis terbelalak ngeri. Rasa sukanya pada pria ini tak bisa mengalahkan ketakutannya. Gendhis ngeri memikirkan bahwa harus melayani pria pemabuk, tukang main perempuan dan petarung liar. "Gendhis masih kecil, gak mau nikah!"

Emran menghembuskan nafas lalu menatap Gendhis dengan sayang. "Abang sudah menodai kamu, abang harus bertanggung jawab."

Gendhis menjauhkan diri kembali dan langsung berbalik pergi.
"Gendhis...gendhis!!" panggil Emran sembari berlari untuk mengejar.

"Jangan sentuh aku! Aku gak mau nikah!" teriakan pertama saat Emran berhasil meraih lengannya. Mereka membuat orang-orang di sana memperhatikan keduanya.

"Ndhis...kita pulang sekarang. Kita bicarakan ini di rumah."

"Iya tapi lepas!" Emran melepas Gendhis kemudian tersenyum wajar pada semua orang yang sedang menatap mereka sambil menjelaskan kalau adiknya tengah merajuk. Untuk ke sekian kalinya Gendhis memilih pulang dengan kendaraan terpisah. Emran merasa putus asa membujuk gadis remaja itu. Tak di sangka jika Gendhis bisa membelot, keras kepala dan jijik akan sentuhannya.

🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊

Keduanya tak mencapai mufakat, maka tak ada cara lain selain melibatkan Munah sebagai ibu Gendhis. Tinggal Emran yang mengumpulkan nyali untuk bicara. Ia takut membuat hati Munah hancur, membuat sahabat ibunya itu menangis pilu. Emran telah menghancurkan masa depan putri semata wayang Munah.

Ketika bertemu Munah dan duduk di ruang tamu, Kaki Emran gemetar, nyalinya agak gentar namun ia harus menguatkan diri. Mnegutarakan maksudnya apa. Gendhis tak terlihat sama sekali, mungkin gadis itu memilih bersembunyi di dalam kamar. Rasanya tenggorokannya kering. Ia mengambil teh yang sudah munah suguhkan.
Ketika dirinya siap, Cerita tentang dirinya dan Gendhis meluncur begitu saja.

Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang