Bab 12

2.6K 303 1
                                    

Namun ketakutan terbesarnya terwujud. Saat ia datang Gendhis sedang duduk di depan ruang ICU. Sudah tiga hari Munah berada di sana tanpa kemajuan. Gadis kecilnya itu tak berhenti menangis dan memasang wajah iba. Ketika Emran datang, gendhis tanpa risih langsung mendekapnya sembari bercerita tentang kondisi ibunya,

“Seharusnya Gendhis bawa Ibu lebih awal. Ibu sakit gagal ginjal sama ashma.”

“Jangan salahkan kamu. Ibu pasti sembuh.”

“Bagaimana keadaan ibu saya Dok?” Tanya Emran yang melihat seorang dokter ke luar dari ruangan Munah sembari diikuti oleh seorang suster.

“Maaf. Kami sudah berusaha keras namun nyawa Bu Munah tidak tertolong.”

Gendhis menjerit histeris dan langsung menyerbu masuk ruangan. Emran yang mencegah istrinya membuat keributan namun gagal. Gendhis memeluk ibunya erat sambil menangis keras. Gadis itu tak mungkin mau dipisahkan dari mayat sang ibu.

“Ibu maafin Gendhis! Ibu jangan tinggalin Gendhis, Gendhis janji bakal jadi anak baik! Ibu bangun... maafin Gendhis. Jangan tinggalin Gendhis sendirian, Gendhis nanti sama siapa! Bangun Bu...Bangun...” Walau Tubuh Munah diguncang berkali-kali tapi tubuh itu tetap dingin dan tak bergerak. Emran meraih bahu Gendhis untuk diajak ke luar namun usahanya sia-sia. Istrinya semakin keras memegang tubuh sang ibu yang terbujur kaku.

“Ndhis, Ibu udah pergi.”

“Abang bohong, ibu Cuma tidur. Ibu bakal bangun dan pulang sama Gendhis.”

Emran mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik Gendhis yang mengamuk. Gadis itu  meronta minta dilepas walau akhirnya melemas karena pingsan. Emran juga sedih dan berduka tapi kalau dirinya lemah siapa yang akan menopang Gendhis agar tetap tegar.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Makam Munah letaknya bersebelahan dengan makam Ibu Emran, Marni. Emran sebagai keluarga mengurus pemakaman Munah dengan layak, sedang Gendhis tak bisa hadir ke pemakaman karena belum terima jika ibunya telah meninggal. Gadis itu pucat karena menangis terus dan tidak mau makan. Teman Gendhis banyak yang  datang, tapi keceriaan gadis itu tak mau muncul. Munah meninggal dengan tiba-tiba, sudah sewajarnya Gendhis syok dan masih belum ikhlas melepaskan kepergian sang ibu. Di samping itu Gendhis masih terlalu muda, jika harus kehilangan orang tua tunggalnya.

Emran menaruh nampan makanan di meja samping tempat tidur yang Gendhis duduki. Tangis gadis itu sudah surut namun mata bengkak dan wajah pucat masih begitu kentara. Kehilangan ibu adalah hal yang paling sulit, Emran pernah merasakannya dulu.

“Makan Ndhis nanti kamu bisa sakit.”
Gendhis menggeleng lemah, padahal wajahnya pucat seperti mayat. “Abang suapin kamu makan sedikit saja.”

Mohon Emran dengan sangat.
Gendhis Cuma diam tapi membuka mulut ketika disodrokan sendok berisi nasi dan lauk. Emran menunggu dengan sabar ketika Gendhis mulai mengunyah. Gadis itu hanya makan sebanyak tiga sendok lalu meminta diambilkan air. Gadis ini masih sulit menerima bahwa wanita yang paling dikasihinya pergi begitu cepat.

“Ibu kapan pulang ke rumah?”

Emran memejamkan mata lalu menarik tubuh kurus Gendhis ke dalam pelukannya. “Ibu sudah gak ada Ndhis. Ibu sudah meninggal dan tenang di sisinya.” Tangis gendhis pecah walau pahit tapi gadis ini perlu di sadarkan.

“Ibu...” panggil Gendhis sambil menangis. Suara tangis sungguh pilu dan membuat hati Emran tersayat-sayat.

“Ibu...” Emran menengadahkan wajah ke atas, menahan laju kesedihan. Hanya dia yang bisa menguatkan Gendhis dan Cuma dia yang gadis itu miliki.

Pengantin kelabu Where stories live. Discover now