Bab 18

3.6K 383 8
                                    

Gendhis tak bisa tidur walau jam dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. Bohong kalau ia tak memikirkan pertemuan Emran dan juga Fiona di kantor tadi. Ia menghembuskan nafas lalu memandang ternit rumah. Setelah ini Gendhis harus menguatkan hati jika Emran mengucapkan talak. Mungkin ia akan mendapatkan rumah, ruko, dan mobil sebagai harta gono-gini. Bayangan itu begitu indah dan melegakan tapi kenapa ia malah menangis lagi padahal seharian saja ia sudah menangis di salon Pamela dan Pamela malah memberinya pakaian tidur kurang bahan yang katanya dapat menaklukan suami. Gendhis mengenakan  karena malam ini begitu panas tapi sekarang ranjangnya begitu sepi karena Cuma dia yang menempati.

Telinganya menajam ketika mendengar suara engsel pintu yang dibuka. Jam segini siapa yang berdantang? Malingkah? Tapi maling mana punya kunci rumah. Gendhis sudah bersiap-siap memegang galah kayu tapi terkesiap ketika melihat Emran yang membuka pintu.

“Ku kira siapa.” Walau seharian didera kesal tetap saja ia tak bisa bersikap kasar pada sang suami. Hatinya nyeri dan bertanya-tanya. Kenapa Emran mesti datang setelah bersama dengan Fiona. Apa pria ini kira Gendhis anak kecil yang butuh dihibur.

“Abang sudah makan?” 

Yang ditanya Cuma diam sambil mengawasi Gendhis. Gendhis bukan lagi anak kecil setelah memakai gaun sialan itu. Payudara yang diingat Emran berukuran kecil itu kini seukuran telapak tangan. Kulit gadis ini tak lagi kusam malah semakin indah ketika diterpa cahaya lampu. Emran meneguk ludah kasar dan mati-matian menahan keinginannya merobek baju tak senonoh yang Gendhis pakai. Beli dimana baju itu? Apa toko ibu Mitha menjualnya.

“Ada makanan di kulkas. Abang angetin sendiri, aku mau tidur. Abang pulangnya kemalaman.”

Tak ada jawaban tapi Gendhis mengikuti langkah kaki yang mengikutinya masuk kamar. Emran masih ingin bersamanya setelah menghabiskan waktu dengan Fiona. Dasar suami laknat! Ia siap berbalik dan memasang wajah kesal namun mulutnya hanya menganga ketika melihat Emran malah melepas kancing kemejanya. Pilihan di otaknya Cuma ada dua, berbalik atau menikmati saja. Tapi darahnya berdesir hebat ketika Emran akan menanggalkan celana panjangnya. Mereka bisa tidur satu ranjang dengan pakaian lengkap tidak dengan pakaian minim atau tanpa busana.

“Aku minta hakku sebagai suami malam ini.”

Eh tunggu apa yang Emran kata? Meminta haknya? Bukannya itu yang Gendhis tunggu sejak lama namun ia tak bisa menduga ketika lengannya di pegang dan tubuhnya di jatuhkan ke ranjang. Emran terlihat begitu besar dan perkasa ketika mencumbunya namun seperti ada yang terlewat. Rupanya gairah mereka mampu menarik kesadaran Gendhis dan mengambil paksa otaknya tapi untungnya kesadarannya akan sesuatu yang ganjil lebih cepat pulih.

Gendhis menahan dada Emran keras, berusaha menolak dan lepas dari pergulatan mereka.

“Abang mau tidur sama aku setelah sama Fiona?” ucapnya keras sembari mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Gendhis murka tapi Emran malah tertawa.

“Kamu cemburu melihat aku sama Fiona?” pertanyaan tak bermutu. Seorang istri berhak marah ketika suaminya dirayu pelakor.

“Abang pikir saja sendiri! Abang gak bisa tidurin Fiona jadinya milih aku sebagai pelampiasan.”

Tawa Emran berhenti, digantikan raut cemberut. Apa dikira Fiona lebih berharga dari Gendhis. Istrinya lebih segalanya. “Aku gak pernah menyentuh Fiona. Kami hanya membicarakan urusan bisnis.” Tentang perbudakan Fiona, sebaiknya tidak diceritakan.

Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang