Bab 8

3K 318 4
                                    

Emran masuk ke arena gelanggang lewat pintu utama. Sudah lama ia mengambil alih tempat ini sejak pemiliknya terserang stroke. Tempat ini di kelolanya dengan sistem bagi hasil namun ia punya rencana untuk memilikinya secara penuh nanti setelah pemiliknya meninggal. Tak Cuma bisnis arena tarung yang ia jalankan tapi juga bisnis keamanan. Emran menyediakan jasa tukang pukul penagih utang, jasa penarik barang kreditan, jasa keamanan barang pribadi dan juga jasa pengawalan untuk urusan bisnis. Suatu bidang yang sesuai dengan keahliannya.

“Bang, barangnya sudah tiba.”
Emran berjalan masuk ke ruang kerja diikuti dua anak buahnya yang berbadan kekar.

“Barangnya bagus,” ujarnya ketika menyentuh dua kilo ganja kering yang ada di meja. “Tapi sebungkus kokain dan beberapa pil ekstaksi ini dikembalikan saja.”

“Kenapa Bos?”

“Aku tidak suka berbisnis obat-obatan dan narkotika.” Ganja dalam bungkus kecil masih bisa ditolerir, di edarkan juga tak sulit. Obat-obatan terlalu berbahaya, efek merusaknya lebih besar.

Pengedarannya juga dicurigai. Walau harganya mahal tapi risiko tertangkapnya jauh lebih besar.
“Bagaimana dengan senjata di gudang?”

“Akan ku cek nanti.”

Emran juga menjual senjata yang tidak ada surat ijinnya namun pembelinya bukan orang sembarang. Tak mudah mendapatkan akses untuk bisa membeli senjata pada Emran. Emran kadang juga bisa membuat surat ijin palsu tapi dengan harga yang cukup mahal. Gerbangnya masuk ke dunia penyelundupan terbuka selebar-lebarnya ketika sering memenangkan pertandingan dan juga memiliki tempat ini.

🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐

Hujan deras mengguyur tanah ketika Gendhis pulang sekolah. Untungnya ia sudah tiba di depan rumah. Yang membuatnya kesal setengah mati dan juga terpaksa melempar tasnya adalah jemuran Emran yang belum di ambili. Ke mana suaminya itu? Emran kerjanya tak tentu waktunya, hingga Gendhis tak tahu pria itu sudah pulang atau sedang bekerja sekarang.

Gendhis memasukkan cucian Emran melalui pintu dapur. Pakaian pria itu terpaksa di angin-anginkan di dekat kamar mandi karena basah kembali.
Ia tersentak ketika mendengar pintu kamar Emran terbuka. Rupanya lelaki itu baru saja bangun. Emran ketiduran sampai lupa mengangkat jemuran.

“Abang ada di rumah? Abang gak denger suara hujan sampai jemurannya lupa di ambili.”

Emran menguap malas. Matanya yang sayu menatap Gendhis sesaat, perlahan kesadarannya mulai pulih diikuti dengan matanya yang terjaga sempurna. Gendhis bergerak menata pakaian tanpa peduli jika rambutnya lepek karena basah, seragam putihnya tembus pandang karena terguyur air hujan, memperlihatkan lekuk tubuh rampingnya dan bra renda yang membungkus payudara kecilnya.

Emran menggeram rendah karena ingat pada tubuh telanjang Gendhis yang ia gagahi saat malam naas itu. Ia memilih mengalihkan pandangan tapi telambat karena bagian bawah tubuhnya sudah bereaksi.

“Abang sudah makan belum?” Celakanya Gendhis tak beranjak pergi, malah membuka tudung saji. Gadis itu begitu sensual ketika menggerakkan tubuhnya untuk berjalan menuju kulkas.

Emran ragu mau maju atau undur. Gendhis sudah halal untuknya, tak ada salahnya jika meminta haknya sebagai suami kan?

“Di kulkas adanya Cuma ayam, nanti aku buatin sambal.”

Gendhis tak menyangka jika pintu kulkas tertutup dengan tiba-tiba. Hampir saja tangannya terjepit. Emran berdiri menjulang sambil menatapnya intens. Apa yang salah? Apa suaminya tak doyan ayam goreng. Setahu Gendhis, Emran bukan pria yang suka memilih-milih makanan.

“Aku tidak perlu makan.”

Mata Gelap Emran semakin pekat, pandangan pria itu dipenuhi kabur hasrat ketika melihat Gendhis Cuma melongo bodoh membalas tatapannya. Ia perlahan menyentuh bahu Gendhis, mengelusnya pelan. Gendhis menolehkan kepala karena merasa aneh dengan sentuhan suaminya. Barulah ia sadar kalau Emran menginginkannya begitu lengannya direnggut kasar hingga tubuh mereka saling betubrukan. Emran menciumnya dengan perlahan. Ia merasakan syok dan juga kenikmatan yang tidak pernah di rasakannya. Sang suami tidak memaksanya. Dengan sabar Emran membelai bibir Gendhis, mengajarinya cara membalas ciuman. Gendhis merasa di puja, di tuntun dan juga bergairah. Perlahan Emran memasukkan lidahnya. Itu pun tak membuat Gendhis jijik. Yang membuat Gendhis melompa mundur dan menatap Ngeri adalah ketika tangan Pria itu mulai menangkup dada dan meremasnya. Tak perlu mengumpulkan pikiran waras, ia tahu saat itu juga harus lari tunggang langgang ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat.

Emran mengumpat keras namun membiarkan istrinya kabur. Tak baik memaksa Gendhis, tak bijak juga menciumnya tiba-tiba. Ada baiknya hubungan mereka di mulai dengan perlahan, pendekatan wajar dan tentunya Emran harus punya kesabaran ekstra.

🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒

Pendekatan yang dimaksud Emran adalah menjemput istrinya dari sekolah, maunya mengantar tadi pagi tapi bangunnya kesiangan. Gendhis harus membiasakan bersama dengannya, terbiasa dengan sentuhannya. Cepat atau lambat Gendhis harus melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Kalau begini terus kapan pernikahan mereka bisa mengalami kemajuan.

Di depan sekolah Gendhis, semua anak yang pulang terlihat sama. Memakai seragam putih abu-abu dan berjajar di tempat pedagang makanan ringan. Emran tidak tahu makanan kesukaan Gendhis. Anak itu jajan apa kalau di sekolah dan sekarang bagaimana cara menemukan Gendhis di tengah-tengah anak sebegini banyaknya.

Melihat-lihat beberapa menit, Emran menangkap siluet anak laki-laki bertubuh kerempeng yang mengajak Gendhis ke pasar malam malam minggu lalu. Anak itu berdiri di dekat pedagang siomay. Di sampingnya ada gadis berseragam SMA, memakai tas ransel biru tua dan rambutnya dikuncir sembarangan. Gadis itu terlihat menyerupai Gendhis. Emran menajamkan matanya ketika melihat gadis itu menepuk bahu teman prianya lalu tertawa.

“Gendhis!”

Gendhis yang terpanggil balik badan, matanya yang punya kornea bewarna hitam itu membelalak saking kagetnya, ingin lari tak bisa karena Yudhi sedang mengajaknya ngobrol. Emran alias suaminya menjemputnya untuk pulang. Apalagi yang pria itu tengah lakukan sekarang. Ingin berdamai dengannya gara-gara insiden kemarin atau berusaha mendekatinya dengan memberi perhatian. Gendhis jelas tak butuh.

“Abang mau jemput aku?” Tak baik menunjukkan pemberontakan. Setakut apa pun, Gendhis menyadari jika Emran suaminya. Lebih baik menurut. Setelah kencannya dengan Yudhi ketahuan, Bisa saja kan Emran mengincar pemuda itu untuk dipukul.

“Iya. Ayo kita pulang.”

Gendhis menengok kanan kiri sebelum menuruti permintaan Emran. “Motor abang mana?”

“Abang gak bawa motor, abang bawa mobil.”

Gendhis tercengang, Mobil siapa? Apa Emran meminjam pada teman. Bayangan kendaraan yang tertutup dan beroda empat itu seketika membuatnya ngeri. Apalagi berada di sana Cuma berdua kalau pun berteriak saat di apa-apakah tidak akan ketahuan orang.

“Ndis, dia abangmu?” Yudhi memperkeruh keadaan. Gendhis Cuma bisa mengangguk sambil cemberut. Tak mungkin bilang suami, bisa diejek satu sekolahan. “Dia juara tarung kan? Aku pernah lihat.” Dan Emran ingin sekali menguji kekuatan pukulannya pada pemuda ini.

“Iya, aku mau pulang duluan ya.”

“Iya hati-hati di jalan nanti aku telepon. Kamu kalau balas sms ku suka lama.”
Emran ingin menyahut tapi keburu ditarik Gendhis untuk pergi. Dalam keadaaan darurat, Istrinya tak jijik jika menyentuhnya. Emran mendiamkan kelakuan Gendhis sampai mereka berada di pinggir jalan raya.

“Kamu sering di berhubungan sama teman kamu yang tadi itu?”

“Ya namanya juga teman, kadang tanya PR.”

“Kadang juga ngajak main, kencan berdua.” Emran melanjutkannya dengan ucapan tajam serta penuh sindiran.

“ Ah sudah. Aku lagi males dinasehatin.” Gendhis mengibaskan tangan lalu mempererat pegangan pada tali tas ranselnya. “Mobil abang mana?” Dan gadis ini pintar mengalihkan pembicaraan.

“Sebentar Abang ambil.”
Gendhis menunggu tak dengan pikiran kosong. Ia punya sendiri cara agar nyaman pulang bersama Emran. Tangannya melambai ke arah beberapa temannya yang sedang jajan cilok, membawa bala bantuan sepertinya perlu. Tak berapa lama mobil Avanza hitam terparkir tepat di hadapannya dengan Emran yang berperan sebagai sopir. Gendhis kira suaminya akan membawa mobil butut yang penuh dengan dempulan seperti milik tetangga sebelah mereka.

“Kak, aku ngajak Mitha, Sonya sama Nur pulang bareng. Boleh kan?”

Mau menolak juga bagaimana, kalau ketiga anak gadis itu sudah berdiri rapi menunggunya membukakan pintu. Gendhis tersenyum licik sambil mengambil tempat di depan. Anak ini sengaja mengajak temannya agar merasa aman. Emran tersenyum sembari menggeleng kecil, ia lupa jika Gendhis banyak akal

🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅






Pengantin kelabu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang