Bab 4: Go!!

2 1 0
                                    

"Baiklah serahkan padaku!" sahut Nabil, tapi aku menghentikannya. Nabil menatapku yang memegang tangannya. "Ada apa Amara?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Aku punya rencana," cetusku dengan suara berat.

###

Gadis itu, dia berdiri di tepi atap gedung, tatapan kosongnya terarah pada martas keras tempat dia akan mendarat nanti. Ada sedikit ragu yang membuatnya masih gemetaran saat berdiri di sini, namun tekatnya untuk jatuh kembali ketika teringat apa yang sudah ia lalui sejauh ini. Dia bahkan tidak bisa menagis, atau berfikir dengan jernih, yang ia mau adalah semua penderitaan ini segera berakhir. Rambutnya berkibar di terpa angis sore, suara mesin kendaraan menjadi musik yang menemaninya di tepi sini.

"Hei, jangan lakukan itu!" teriakku. Dia melinguk ke belakang, menatapku yang terengah-engah setelah melompat dari Gedung ke gedung. Aku berdiri tegak dan berjalan ke arahnya, aku tersenyum dengan bawah mata menekuk. "Ayo lakukan bersama-sama," desisku.

"Kau gila!" gumamnya.

"Bukannya kita sama?" aku melebarkan senyumku. Aku melepas sepatu, dan berjalan ke sampingnya, dia hanya melongok melihatku yang percaya diri berdiri di sini sedangkan dia masih ragu. Dibandingkan melihat ke bawah, aku menghadap ke mega merah yang sedang membentang di langit. "Ayah Ibu, sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja. Ini sangat sakit dan melelahkan. Tapi jangan khawatir ...," aku memegang tangan gadis itu, air mataku menetes membasahi pipi. "Jika bisa, aku akan menyusul kalian." Senyum masih terbesit di bibirku.

Dia melongok, lalu ikut meneteskan air mata dengan deras, dia menutupi matanya dengan tangan satu lagi, lalu merengek keras. "Sebenarnya aku tidak ingin hidup seperti ini, menyedihkan ... aku tidak tahan. Aku juga ingin bahagia, seperti yang lain." suara isakan tangangisinya bergema di atas sini.

"Siapa namamu?"

"Dian, kau?"

"Amara," jawabku, aku menggengam tangannya dengan erat. "Dian ayo bertaruh, jika kita hidup nanti, mari kita jalani hidup yang keras ini dengan sangat menyengakan." Dia mengangguk, keraguannya beberapa saat lalu hilang.

Aku melangkah ke depan, tidak ada pijakan di sana, sehingga aku langsung terjatuh, begitupun Dian yang tangannya masih ku genggam. Gravitasi menarik kami ke bawah dengan cepat, aku sudah melihat beberapa orang menatap ke atas, 2 tubuh yang sebentar lagi akan terkapar ke jalan. Aku memutar badan, dan menarik Dian ke dekapnku, Dian bingung dengan apa yang kulakukan, terlebih saat aku mengeluarkan pistol dari balik rokku. Makhluk itu berhasil ku pancing, dia akhirnya menampakkan diri dengan wujud anak kecil yang memberi senyum tanpa dosa. Aku menekan pelatuk, dan peluru keluar dari moncong besi menembus kepalanya.

Sekali lagi, aku kembali memutar tubuhku, berkat kupu-kupu Nixie yang datang dan mengerumuniku, aku bisa mengarahkan tubuh masuk ke dalam gedung melalui jendela kaca. Pecahan kaca berhamburan ketika aku menerobosnya paksa masuk ke dalam, kupu-kupu Nixie juga melindungi Dian sehingga hanya aku yang tertusuk kaca-kaca itu.

Tubuhku terkapar ke atas lantai keramik dingin, sambil terus mendekap Dian, pendaratan yang sangat tidak mulus, aku bergerak cepat sehingga menghantam lantai ini dengan keras, suara tulang retak juga terdengar bersamaan dengan pecahannya kaca. Ugh ... sial, sakit. Setidaknya Dian selamat.

"Amara kau tidak apa-apa?" tanya Dian dengan panik, dia berada di atasku, posisi seperti ini terlalu ambigu dan membuaku tidak nyaman.

"A-aku tidak apa-apa. Kita sudah bertaruh, jadi jangan lupakan itu," rintihku. Sulit bagiku berbicara sambil kesakitan seperti ini.

Air matanya mengenaiku. "Ta- tapi, hiks kau ... Argh!" Nabil muncul dan memukul punggung Dian, membuat Dian langsung pingsan dalam sekali serangan. Dia juga berhasil memegang tubuh Dian, sebelum menjatuhiku, Nabil membawa Dian ke tempat berbaring yang lebih nyaman.

"Memukul wanita Perbutan yang tidak baik," dengusku. Nabil terkekeh mendengar celotehan itu, dia mendekatiku, dan membantuku bangun.

"Maaf aku bukan pria baik untukmu." sahutnya. Dia menatapku ngeri saat aku mencabuti pecahan kaca yang menancap padaku. "Apa itu sakit?"

Aku merengut, kenapa dia menanyakan hal yang sudah pasti. "Jangan khawatir, sebentar lagi lukanya akan sembuh." Tapi sakitnya masih terasa. "Kenapa tidak kau kejar itu?" The others tadi, satu tembakan di kepala tidak akan membunuhnya.

"Temanmu sedang mengejarnya." Kata yang Lebih pas adalah peliharaanya sedang mengejarnya, Nixie saat ini pasti sedang duduk di suatu tempat paling nyaman untuk melihat senja.

"Mari kita kejar juga dia." Aku berusaha berdiri walau sedikit sempoyongan, Nabil memegangiku saat aku hampir terjatuh, sungguh perhatian. Aku menatap ke belakang, aku kehilangan banyak darah, dan Hoodie putih yang kukenakan berubah sebagian menjadi warna merah, sungguh menyebalkan.

"Bagaimana dengan dia?" Nabil menunjuk Dian.

"Intel BA akan mengurusnya. Kuharap dia punya hidup yang lebih baik, walau memang kehidupan panjang sangat menyusahkan."

Nabil terkekeh. "Kau mengucapakan itu seolah merasakannya."

"Aku hanya anak biasa berumur 15 tahun dan akan mati ketika umur 80 tahun." Dari ekpresinya dia tidak mengartikan ucapanku dengan benar. Aku membalik badan, dan mengarah pada jendela pecah tempatku masuk tadi. "Ngomong-ngomong kau masuk lewat mana?"

"Dengan normal, pintu bukan menerobos dari jendela."

Aku memasang wajah datar. "Hahaha lucu, ayo kita pergi."

Ku angkat sebuah kursi di ruangan itu, dan melemparkannya ke jendala, membuat lubang di jendala itu lebih besar dari tadi. Nabil menepuk jidat ketika aku lebih memilih lompat dari jendela, dari pada pintu yang sudah ia bukakan untukku. Menurutku ini jalan pintas, dari pada harus berlarian di anak tangga. Kali ini Nixie berpihak padaku, kupu-kupunya mengerumuniku dan membuat pendaratan yang mulus, andai ia melakukannya ini juga tadi, lukaku tidak akan sebanyak ini.

Tubuh ini masih terasa sakit, regenerasiku tidak terlalu bagus di luka kecil, semakin kecil lukanya maka semakin lama tertutup, begipula sebaliknya. Di saat seperti ini sulit bagiku melompat ke sana kemari. Aku merogoh kantong, dan mengambil sebuah suntikan berisi cairan bius, tanpa ragu aku menusukkan ke paha. Satu suntikan saja, seluruh sakit di tubuhku perlahan menghilang, walau hanya berdurasi sejam persuntikan, dengan kata lain misi ini harus selesai sebelum efek bius habis.

Anak perempuan kecil dengan kepala bocor berlari cepat di lorong sempit, dia the Others level 4, namun di mataku terlihat seperti uang berjalan, canda. Nabil mengejarnya, begipun rombongan kupu-kupu Nixie, tapi the Others itu 2 kali lebih cepat dari mereka. Aku rindu dengan senapan radius jauhku, haruskah aku pulang ke asrama dan mengambilnya, tunggu... itu ide yang bagus.

"Jangan pergi." Aku terkejut dengan kemunculan Nixie di belakangku tiba-tiba. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku. "Aku ada rencana, bersiaplah di sini," lanjutnya.

Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ

Bhagawanta Academy - Death Ending Amara (Tahap Revisi) EndWhere stories live. Discover now