Bab 13:

2 0 0
                                    

Tubuhku mengambang di atas air, terlentang melihat the Others yang ke sana kemari sembari bermain kejar tangkap Dengan kupu-kupu Nixie. Yang semakin situasi ini terasa aneh adalah, Zero berada di sampingku dan kami baik-baik saja walau beberpa saat lalu saling bunuh, dia juga mendorongku ke dalam sungai yang dingin ini. bulan purnama bulat sempurna berada tepat di atas, jika mengikuti kalender besok akan terjadi gerhana bulan.

"Bisakah kau mengentikan the Others itu?"

"Sebenarnya ... bukan aku yang mengendalikan mereka. Tapi dia...," dia enggan menyebut nama itu dengan jelaa, akupun juga.

"Kau juga berurusan dengannya ya?"

"Jika aku terlibat lagi, dia benar-benar membunuhku."

Secara alami tubuh kami menepi dengan sendiri, secara tidak terduga Zero mengulurkan tangan dan mbantuku untuk naik ke tanggul pembatasan sungai. Dia memegang tangga dan menarikku agar kami bisa naik ke atas. Aku tidak langsung naik ke jembatan, membantu 2 tamanku yang sedang sibuk di atas. Dengan cepat aku mengeluarkan borgol, dan memborgol Zero bersama dengan tanganku.

"Kau terlalu berlebihan," decaknya.

"Sudah cukup bermainnya, aku butuh penjelasanmu."

"Hmm ... itu terlalu panjang."

"Aku bisa menunggu."

Aku duduk di atas tanggul dan menikmati tontonan dari kedua orang yang akhirnya bisa akur saat ini, lebih baik kubiarkan saja mereka. Zero tidak ada pilihan lagi Selain duduk di sampingku, dan melihat pertunjukan ini bersama. Ada alasan lain aku tidak mau naik ke atas, berkat penjelasan Zero aku sadar, pria di dalam mobil tadi adalah Astaroth. Tubuhku tidak berhenti mengigil, di tambah dengan dinginnya air sungai dan angin malam, seperti aku akam demam panjang dan insomnia parah untuk seminggu ke depan.

Zero sudah membuatku sulit dengan mempertemukanku dengan 3 orang itu, dan hari ini yang membuat ketiganya mati sedang berada di detakku. Kufikir aku akan lebih kuat setelah cukup lama berada di BA, aku akan langsung berhadapan dengannya dengan percaya diri, namun nyatanya aku kabur seperti ini.

"Jika kau ketakutan, dia akan semakin senang," ujar Zero.

Aku menyengir. "Kau pasti tahu jelas hubunganku dengan dia. Tapi tidak adil aku tidak tahu apa hubunganmu dengannya. Apa kau ini anah buahnya?"

"Tidak mungkin," bantahnya.

"Tadi kau bilang the Others ini dia yang mengendalikannya."

"Tapi tidak bilang bahwa aku adalah anak buah atau pengikutnya. Sekilas kita sama, sama-sama dibiarkan hidup."

Rasanya aku ingin tertawa mendengarnya. "Aku tidak dibiarkan hidup, tapi aku yang tidak bisa mati. Jika bisa, aku lebih memilih mati hari itu daripada hidup dengan cara seperti ini."

Padahal satu tangannya sudah terborgol denganku, tapi dia masih sempat melipat kertas origami berwarna merah yang anehnya tidak bahas walaupun dia jatuh ke dalam air. "Kau butuh penjelasanku kan?" tanyanya.

"Tentu saja."

Dia terdiam, memilih kata yang singkat dan mudah untuk dijelaskan padaku. "Istilah multiverse diciptakan oleh filsuf Amerika William James pada tahun 1895. Jika seseorang memilih jalan ke kiri, di dunia lain orang yang sama akan berbelok ke kanan. Kau percaya itu?"

"Aah ... duniaku terlalu tidak masuk akal sampai membuatku harus mempercayainya segalanya," keluhku.

Hal yang harus kupercayai pertama adalah keberadaan the Others yang telah membunuh keluargaku. Lalu Dimensi Purwa, tempat BA berdiri, juga mengenal dimensi-dimensi lain yang tidak masuk akal. Dan dunia paralel, kurasa ada di materi fisika kuantum dan matematika, aku benci kedua pelajaran itu sehingga tidak terlalu banyak memperhatikan.

"Jika boleh jujur, aku bukan berasal dari dunia ini. Ada diriku yang lain tinggal di sini." Zero terdiam sejenak untuk menyelesaikan burung bangau yang ia buat. "Aku mengirim para pelangganku ke dunia lain, di mana mereka mendapat kebahagiaan yang diinginkan. Tentu saja dengan bayaran."

"Bayaran? Jangan bilang mereka," aku menujuk the Others yang berterbangan.

"Baiklah aku tidak akan bilang," dia kembali tersenyum dengan menyebalkan. Kenapa setiap kemungkinan tidak menyenangkan yang kubuat selalu benar.

"Jadi ... kau mengirim mereka dengan bantuan the Others?" aku mendengus keras di akhir kalimat.

"Tidak seperti itu juga," dia terdiam sejenak, melempar burung bangau merah ke atas air sungai. "Aku mengirim mereka ke sana sendiri. Lalu nasib kembaran yang akan mereka rebut hidupnya, diberikan ke the Others." Aku terteguk mendengar penjelasannya. "Mengerikan bukan? Tapi jangan khawatir, asal mereka bisa sadar bahwa itu bukan kehidupan sesungguhnya, semua akan kembali seperti semula." Mata merah yang menyala dan senyum itu, aku rasanya ingin segera menghabiskannya. "Jangan menatapku seolah kau akan membunuhku."

"Sebenarnya aku sangat ingin membunuhmu." aku menatapnya dengan tajam. "Apa kau mengirimku ke sana juga?"

"Tidak ... aku mendapat kemampuan baru. jadi aky mencobanya padamu. Kau hanya terjebak di dalam mimpi." Dia terdiam dengan tampang mencurigakan. "Atau kau ingin pergi ke sana? Ke tempat tidak ada the Others, dan keluargamu baik-baik saja. Kau mungkin baru saja selesai makan malam bersama mereka."

Ahhh ... aku sudah tidak tahan dengan dia. Satu tamparan mendarat di pipinya, membuatnya diam dengan membual hal-hal yang mengesalkan itu. "Apa bagusnya mendapat hal yang diinginkan jika nyatanya itu bukan kehidupan mu sendiri. Kau sendiri bahagia dengan itu?" ujarku dengan nada tinggi.

"Lalu apa bagusnya dengan hidup menyedihkan!" bentaknya. Air matanya berlinang dengan sengiran di bibirnya. "Aku punya keluarga yang buruk, orang-orang selalu mengejekku, aku bahkan tidak punya teman. Rasanya ini tidak adil." Zero meringkuk, memeluk lututnya sendiri. "Aku ingin hidup sebagai orang berbeda, di mana tidak ada yabg mengenaliku. Itu sebabnya, aku ke sini, dan memulai hidup baru tanpa memikirkan masa lalu. Tapi ini salah bukan?" mata merah itu berlinang air mata.

Aku tidak bisa menjawab, dan hanya menepuk-nepuk punggungnya. Aku juga ingin, sangat ingin, pergi ke tempat di mana tidak ada tangis dan penderitan seperti yang ditawarkan Zero, tapi dunia tidak berarti apa-apa tanpa semua itu.  Pasti sangat membosankan dan pasti sangat damai, dunia di mana aku bisa hidup bahagia dengan keluargaku tanpa harus terus berjuang seperti ini.

"Aku selalu berfikir bagaimana cara melampiaskan perasaan ini, mungkin menyayat tanganku. Tapi aku benci rasa sakit. Lalu tanpa sengaja aku malah melampiaskan dengan menyakiti orang lain. Dan saat itu, adalah pertemuan pertamaku dengan makhluk itu," lanjutnya, nada suaranya semakin berar di akhir kalimat.

Kesunyian yang beberapa saat lalu kami berduaan rasakan mendadaknya hilang, Suara raungan keras terdengar bersamaan dengan suara kereta. Aku melongok tidak percaya melihat the Others yang tadi berterbangan pergi ke satu titik dan bersatu membuat bentuk yang mengerikan. Lubang besar muncul di sudut pas aku melihat bulan, bulan yang tadinya bersinar terang dengan cahaya keperakan sekarang menjadi merah. Tidak hanya itu, mobil-mobil yang tadi lalu lalang di atas jalan berhenti, semuanya berhenti bahkan jarum jam kecuali kami, dan dua temanku di atas sana.

"Ini bukan ulahku," gumam Zero dengan ketakutan.

"Aku tahu," aku mengigit bibirku sendiri sampai berdarah. "Ini ulah Astaroth."

Bhagawanta Academy - Death Ending Amara (Tahap Revisi) Endजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें