Bab 21:

2 0 0
                                    

Aku menghunus pisau yang ada di ujung senapan, menutupi mataku yang normal dengan poni, dan hanya memamerkan mata baruku juga senyum mengerikan ini. Sayap tulangku berkibar pelan, menjagaku agar tetap melayang di atas sini, menjadikan bianglala dengan lampu kelap-kelip sebagai bagroud. Andai Ryan di sini, pasti ini akan jadi foto yang sangat menarik.

Dia menjulurkan ular ke arahku, membuat banyak tulang melayang di belakangnya. Di ujung tulang itu terdapat kobaran api berwarna merah, api yang panasnya sama dengan Semburun Komodo. Satu ayunan dari tangannya membuat tulang-tulang itu menyengku. Dia juga membuat tulang kecil sebesar ruas jari yang di hujankan dari langit untukku.

Kutepis selurug tulang yang berkorban api, tapi tidak dengan hujan tulang, mereka menancap ke tubuhku, namun langsung lepas dan memperbesar sayap di pungguku. Sekali lagi aku melepas tembakan ke Astaroth, peluru yang keluar sama dengan tulang-tulang miliknya. Tanpa perasaan aku melepas ratusan peluru serbu ke arahnya, lagi-lagi aku tertawa tanpa sadar.

Dia berhasil melindungi dirinya dengan sayap kanan yang tersisa padanya. Tapi dia tidak sadar, bahwa itu hanya pengalihan belaka. Ketika dia menutupi matanya untuk menghindari peluru, aku bergerak cepat ke arahnya, menebasnya dengan benda tajam di ujung senapanku tempat ke pinggangnya. Darah busuk berwarna hitam muncrat darinya.

Tanpa buang waktu dia langsung membalasaku, dia melakukan hal sama dengan di awal tadi, mengeluarkan tulang dari tanah, dan kali ini kubiarkan tubuhku tertusuk oleh tulangnya. Lubang besar kini terbentuk di perutku, dan dia kembali menyengir, walau hilang lagi karena tidak sesuai harapan, aku sama sekali tidak merasa sakit.

Dengan mudah aku melepaskan diri dari sama, lubang di perutku mulai tertutup dengan cepat. Tidak lagi kupamerkan organ di dalam yang kuanggap sebatas hiasan belaka. Aku berusaha berdiri tegap walau agak goyah karena beratnya sayap ini. Dia benar-benar kesal karena tidak menduka aku bisa bertahan seperti ini tanpa rasa sakit.

"Ini sudah waktunya kau mati!"

Aku menghentakkan kaki dan menyenrangnya dengan jarak dekat, dia menangkis seranganku dengan sayapnya sendiri. Kugunakan senapan seperti pedang dan ku besitkan ke tulang-tulang sayap miliknya. Dia menatapku dengan raut kesal yang terlihat sengat menyengakan. Aku tak henti menahan gelak tawa melihat wajahnya sekarang, padahal biasanya dia suka tersenyum ketika menghabis keluargaku dan Nixie.

"Kau benar-benar monster," gumamnya.

"Terima kasih, kau yang membuaku seperti ini."

Kulempar sebuah bom dan meledakan sayapnya, ketika asap bom menghilang. Tulang di sayap mulai retak, dan buir-buirnya jatuh ke bawah. Dia kembali menyerangku dengan tulang-tulang itu, membuaku menguap karena bosan, dia tidak lebih menarik dibandingkan tadi. Apa mungkin karena dia takut sekarang, ahahahah... ini menyengakan, menyiksa makhluk pendosa seperti ini.

"Bukan Amara, bukan aku yang membutamu seperti ini," ujarnya. Dia membuaku diam dan berhadapan dengannya, menunggu dia melanjutkan ucapannya.

"Haaa... lalu siapa?"

"Apa kau tidak penasaran kenapa aku menyerangmu, dan kau yang tidak mati?"

Aku Menyengir lebar. "Tidak, tapi lebih baik kau katakan sebelum mati."

Dua bom meledak di samping kanan kirinya, lalu serbuan peluru menghujaninya denhan deras. Dia mulai kelelahan, tentu saja dia sudah mengusar banyak energi untuk melawan, membuka portal, dan mengentikan waktu. Astaroth terjatuh karena sayapnya yang hancur, dia masih bisa berdiri walau goyah.

"Ramalan tentang 4 anak yang bisa membunuh 4 penjaga neraka, dan mereka juga akan mengalahkan Hades. Kau adalah salah satunya dan yang akan membunuhku," jelasnya dengan nada yang semakin menurun.

"Jadi kau menyerah?"

"Anak sialan itu, Rashya, dia mencuri setengah kekuatanku dan memberiaknnya padamu. Sungguh hal yang tak terduga untuk anak seegois dia." Dia merentangkan tangannya ke arahku, senyum kembali menghiasi wajahnya. "Bunuhlah aku Amara!" serunya.

"Dengan senang hati."

Aku bergerak cepat lurus ke depan, menancapkan ujung senapan ke jantung Astaroth. Ku tekan terus, hingga senapanku menembus tubuhnya. Semburan darah hitam mengenaiku, bercampur dengan darah merah milikku, ini yang membedaknku dengan makhluk pendosa sepertinya. Sayap kanannya yang tersisa pelan-pelan terkikis, melebur menjadi asap hitam berbau busuk.

Satu hal yang kulupakan, dia masih memiliki ular. Ular tadi bersembunyi di balik baju yang dikenakan Astaroth, dia muncul ketika Astaroth meletakan tangan ke bahaku. Ular itu menggeliat keluar, dia membuka mulutnya lebar-lebar dan mengigit leherku dengan sangat dalam. Racun berwarna ungu keluar dan bercampur dengan darahku yang ada di dalam. Tubuhku berdenyut, dan walaupun tidak Sakit, tapi rasanya cukup menganggu. Setelah mengigitku, ular tadi mengecil, dan berubah menjadi kulit ular kosong tanpa isi.

"Yang membuatmu seperti ini adalah yang Mulia Raja Neraka, Hades. Apakah kau lupa itu Amara? Dia bertemu dengamu duluan sebelum aku menghabisi seluruh keluargamu," bisiknya pelan tempat di telingaku. "Hanya dia yang bisa memberimu garis keabadian seperti ini. Salahkan dia."

Ucapan tidak masuk akal yang anehnya aku percaya, aku menarik senapan yang menusuknya. Mendorong tubuhnya hingga terjatuh ke tanah. Dia benar-benar sudah tidak lagi punya tenaga, sehingga terbawa gravitasi ke belakang. Aku menatapnya dingin, di mataku yang berwarna hitam ini, semua nampak berwarna abu-abu.

Rasa nyeri mulai terasa di dua lubang bekas gigitan ular tadi, dia mengembalikan ingatanku yang sempat hilang. Ketika seseorang memegang tanganku, membawaku ke tempat yang aneh dan mengerikan. Dia terus berusaha menyakinkanku yang masih kecil agar tidak ketakutan. Pertemuan pertamaku dengan Hades, dia yang memberiku garis perbatasan keabadian ini, dia yang membuat kemalanganku berjajar hingga saat ini.

Aku tersenyum lebar, kali ini mata kananku meneteskan air mata. "Setelahmu, aku akan membunuhnya juga."

Astaroth, bangsawan Neraka jatuh ke tanah, tubuhnya menguap menjadi gas hitam yang menyelimuti seluruh taman hiburan ini. Sisa-sisa pilar dan tulang-tulang juga berubah menjadi gas hitam pekat yang berbau busuk. Waktu kembali bergerak, burung tadi kembali mengepak sayap dan pergi menjauh. Tidak ada yang berubah selain taman hiburan ini yang hancur lebur setelah pertarungan.

Aku mengambil Mahkota milik Astaroth, dan memakainya di ata kepala. Perasaan luar biasa atas kemenangan mutlak tidak bisa di gambarkan dengan kata-kata. Pantulan bayangan di kaca jendela sebuah kios menampakan ku sebagai gadis yang memakai mahkota dengan seragam SMA koyak-koyak yabg berlumur darah dan debu. Mataku Kembali Normal, dan sayap di punggungku juga menghilang.

Aku jatuh dan berlutut dengan kedua kaki, air mata keluar deras dari kedua mataku. Rasa sakit yang sepanjang pertarungan ku dapatkan baru sekarang terasa. Walau tidak lebih sakit mengingat fakta aku baru saja membalaskan dendam, sekaligus kehilangan seorang teman begitu saja. Andai aku bisa lebih cepat menjadi kuat, pasti Nixie tidak mati sekarang. Benar kata Astaroth, mereka semua mati karena aku, aku yang salah karena berada di dekat mereka.

Suara tangis keras menggema di tengah taman hiburan yang hancur. Orang-orang berjubah hitam muncul dari segala arah. Mengerumuniku tapi tidak melakukan apapun. Mereka membiarkanku yang merintih sakit, sedih, juga senang bercampur aduk dengan amarah juga perasaan lega dan bersalah yang menjadi satu. Semua tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kehilangan seorang sahabat, aku bahkan tidak bisa menerima ini adalah sebuah kemenangan. Mahkota di kepalaku ini akan terus membuatku ingat dengan hari panjang yang mengubah segalanya dalam hidupku setelahnya.

Bhagawanta Academy - Death Ending Amara (Tahap Revisi) EndWhere stories live. Discover now